Sabtu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 22 April 2017 23:23 wib
14.046 views
Kartini dan Letsy Detmar, Percakapan Pemantik Cita-cita Perempuan Indonesia (Bagian 2)
Letsy Detmar adalah salah satu teman Belanda Kartini yang menginspirasinya untuk berani bertanya tentang cita-cita perempuan. Saat itu, perempuan Belanda sudah memunyai cita-cita selain menjadi istri dan ibu bagi anak-anaknya. Letsy bahkan dengan bangga dan yakin menyebut guru sebagai profesi yang ia inginkan kelak. Saaat ditanya balik, Kartini muda tidak bisa menjawab cita-cita apa yang ia inginkan nanti.
Pertanyaan Letsy menghantui benak Kartini hingga ia berusaha mencari jawabannya. Sesampai di rumah, dicarilah ayahnya.
“Akan jadi apakah saya kelak?”
Ayahnya tertawa dan mencubit pipinya tanpa memberi jawaban. Kartini terus saja bertanya hingga kakaknya yang bernama R.M. Slamet mendengarnya.
“Anak gadis mau menjadi apa? Tentu saja menjadi Raden Ayu!”
Raden Ayu? Untuk sesaat, benak Kartini puas. Diulanginya kata-kata tersebut sebagai jawaban apabila ada lagi yang bertanya padanya, ‘Mau jadi apa kau kelak?’
Detik berikutnya, jawaban ini menimbulkan pertanyaan baru. Raden Ayu, apakah itu? Kartini pun memperhatikan sosok-sosok yang menjadi Raden Ayu di sekelilingnya. Dari sinilah semangat memberontak itu muncul. Kartini tidak mau menjadi Raden Ayu. Kartini mulai belajar menggugat tradisi adat yang selama berabad-abad dijunjung tinggi oleh bangsanya. Sempat terbersit dalam pikiran yang tertuang dalam salah satu isi suratnya bahwa kenapa gadis harus kawin, harus menjadi milik seorang laki-laki tanpa memunyai hak untuk bertanya apa, siapa dan bagaimana.
Pemberontakan Kartini bukan semata menolak pernikahan. Ia hanya sedih karena di usia yang masih sangat belia, adat mengharuskan perempuan untuk dipingit. Itu artinya kesempatan untuk bersekolah dan mendapat pendidikan lebih baik menjadi tertutup. Tugas perempuan hanya menunggu laki-laki yang akan meminang dirinya untuk menjadi istri tanpa bisa berbuat apa-apa.
Kartini yang lincah dengan jiwa mudanya yang selalu berjalan melompat, harus berusaha berubah saat usia pingitan dimulai. Sitisoemandari Soeroto menulis 12,5 tahun, sedangkan di buku R.A Kartini Emansipasi Surat-surat kepada Bangsanya 1899-1904 menyebut 15 tahun. Kartini merasa usianya masih kanak-kanak yang dipaksa menjadi dewasa oleh adat. Ditulisnya dalam suratnya betapa sedih hatinya hingga berlinang airmata karena masa kanak-kanak yang terenggut. Ia masih ingin menjadi kanak yang lincah di saat adat menuntutnya untuk berjalan pelan, bersuara nyaris tak terdengar dan berjalan pun dengan bersimpuh.
...Pemberontakan Kartini bukan semata menolak pernikahan. Ia hanya sedih karena di usia yang masih sangat belia, adat mengharuskan perempuan untuk dipingit...
Hal-hal tersebut membuat Kartini memberontak terhadap apa yang disebut kakaknya sebagai ‘menjadi Raden Ayu’. Kartini hanya ingin sekolah dan banyak membaca sehingga wawasannya luas. Keinginan yang saat itu hampir mustahil terwujud. Itulah mengapa kemudian Kartini berusaha untuk memperjuangkan hak perempuan untuk bisa terus bersekolah dan menuntut ilmu. Bukan semata demi gengsi apalagi bersaing dengan laki-laki, tapi semata demi kebahagiaan dirinya. Satu cita-cita yang diyakini Kartini sangat dibutuhkan perempuan karena ia nantinya akan menjadi ibu bagi anak-anaknya.
Ibu yang menjadi pendidik pertama sang anak seharusnya adalah ibu yang cerdas dan mendapat pendidikan yang layak. Bukan untuk siapa-siapa pendidikan ini ia perjuangkan, tapi demi generasi yang tercipta lebih baik di tangan ibu-ibu yang terdidik.
Percakapan sederhana dari seorang kawan masa kecil, memantik jiwa pemberontak di dalam diri Kartini. Semangat berjuang dan memperjuangkan nasib perempuan bangsanya agar mendapat pendidikan selayaknya laki-laki menjadi cita-citanya. Alangkah jauh cita-cita mulia ini dibandingkan dengan seremonial semu di zaman ini. Anak-anak, remaja dan orang berusia tua pun berlomba memakai baju kebaya dan jarit. Andai Kartini bisa menyaksikan perjuangannya dimaknai hanya sedemikian, kira-kira apa yang akan dikatakannya?
Berat nian Kartini berjuang untuk sesuatu yang telah dijamin oleh Islam hak tersebut. Memperoleh pendidikan setara selayaknya laki-laki telah ada sejak mula Islam diturunkan. Di episode berikutnya surat-surat Kartini, tertulis jelas bahwa apa yang selama ini menjadi kiblat cita-citanya yaitu keberhasilan perempuan barat ternyata tak ada apa-apanya dengan apa yang diketahuinya ada dalam Islam.
Poin bahwa Kartini cukup banyak berubah setelah mengaji dengan Kyai Soleh Darat, tidak banyak buku yang membahasnya. Di titik inilah, jiwa meledak-ledak Kartini mulai menemukan ketenangan. Antara idealisme untuk bersekolah tinggi, menikah sesuai kodrat, dan memahami Islam dengan cara yang baik yaitu memahami makna dari tulisan Arab yang sering dibacanya, memberikan Kartini satu pemahaman baru.
Habis gelap terbitlah terang, menjadi topik bahasan yang sering diulang-ulang Kartini dalam surat-suratnya. Tanpa diketahui oleh penyusun surat tersebut yaitu Nyonya Abendanon, kata-kata ini Kartini dapatkan dari kutipan Al Quran.
Akhir kata, jangan remehkan pertanyaan dan diskusi sederhana dengan gadis kecil. Bisa jadi itu menjadi pemicu baginya untuk terinspirasi melakukan langkah besar di kemudian hari. Wallahu alam. (riafariana/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!