Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Agutus 2010 11:25 wib
17.090 views
Mengasah Sikap Kritis Anak
Jangan langsung "dibantai" kala si kecil bawel bertanya, karena bisa mematikan sikap kritisnya. Ia justru harus diberi banyak rangsangan.
Bila dibandingkan teman-teman sebayanya yang cenderung banyak tanya dan kritis, Boby kebalikannya. Kala bermain pun ia lebih banyak mengekor apa kata teman-temannya. Tentu saja hal ini membuat Ny. Hani cemas. Nah, bila si kecil Anda juga seperti Boby, berarti Anda harus introspeksi, apakah dulu Anda merangsang si kecil atau tidak?
Seperti dikatakan Hera L. Mikarsa, Ph.D., seringkali orang tua menganggap semuanya sudah oke apabila anaknya tak rewel, sehingga tak merasa perlu untuk memberi rangsangan sama sekali. Selain itu, yang kerap tak disadari orang tua ialah menganggap anaknya masih kecil dan merekalah yang paling tahu, sehingga mereka cenderung mengatur, menggurui, dan mengkritik. "Anak tak diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat atau mendapat hak suara. Yang harus didengar dan dipatuhi hanyalah omongan ayah atau ibunya saja."
Kalau sudah begitu, akhirnya si anak tentu jadi sebal dan takut untuk bersikap kritis. Habis, setiap kali berpendapat selalu dipotong, "Anak kecil tahu apa? Sudah, diam saja, jangan turut campur!" Begitu, kan, yang sering terjadi? Orang tua "lupa", dengan bersikap demikian, anak akhirnya jadi cenderung diam dan mengekor apa pendapat orang lain demi agar ia aman. Tapi coba kalau ia diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat tanpa merasa takut akan "dibantai" oleh orang tuanya, maka ia akan menggali segala potensinya untuk berpikir. Makin hari ia pun akan makin terampil mengelola pikirannya.
JAWABAN SINGKAT
Pada anak normal, artinya tak terbelakang, terang Hera, pola penalarannya akan melalui tahapan-tahapan tertentu. Mula-mula ia akan bertanya tentang fakta-fakta, yaitu bertanya tentang "apa". Seiring dengan bertambahnya umur, ia makin memahami kenyataan yang ada di lingkungannya, sehingga ia pun mengembangkan rasa ingin tahunya dengan pertanyaan "mengapa". Nah, "mengapa" ini tentunya butuh penjelasan, butuh nalar. "Biasanya orang tua langsung panik duluan ketika ditanya macam-macam oleh anak. Apalagi kalau pertanyaannya sulit," tutur psikolog dari Fakultas Psikologi UI ini.
Yang terjadi kemudian, karena tak bisa menjawab, orang tua lantas memotong pertanyaan anaknya atau malah menjawab secara ngawur. "Mereka juga jadi tak suka kalau anaknya berbicara," lanjutnya. Padahal, terang Hera, anak sebenarnya tak butuh jawaban yang panjang-panjang dari orang tua. "Yang diperlukan anak adalah jawaban simpel, sesuai dengan kemampuan berpikirnya." Tapi itulah, orang tua cenderung berpikir sebagai orang dewasa, tak masuk ke jalan pikiran anak.
Pernah, ungkap Hera, keponakannya saat melihat acara Dunia Dalam Berita di TVRI yang menayangkan tentang kelaparan di Ethiopia tiba-tiba berkata, "Tante, kok, Tuhan sekarang jahat, ya?" "Saya pun kaget mendengarnya," aku Hera. "Lantas saya tanya, 'Kenapa kamu bilang begitu? Dia jawab, 'Lo, itu, Tuhan membiarkan banyak orang mati dan kelaparan.' Nah, berarti nalarnya jalan, kan? Kalau Tuhan baik, kenapa banyak orang mati dan kelaparan?" Jadi, tandas Hera, orang tua jangan hanya menangkap omongan anak, tapi juga mencari tahu penalarannya seperti apa. "Dari situ kita bisa masuk untuk mengarahkan jika ternyata penalarannya salah."
...Dengan selalu menanyai anak tentang alasan anak berkomentar, bukan hanya akan melatih kemampuan berbahasanya saat mengemukakan pendapatnya, tapi juga membuatnya merasa dihargai...
Sayangnya, banyak orang tua yang tak punya waktu untuk bertanya dan langsung bilang, "Eh, kamu enggak boleh bilang begitu. Tuhan nggak boleh dibilang jahat. Dosa!" Akhirnya, anak pun diam. Ya, matilah daya kritisnya. Dia akan berpikir, "Nanti aku akan dimarahi Mama (Papa) kalau bilang Tuhan jahat." Padahal logika si anak sedang jalan. Lagi pula, tambah Hera, dengan selalu menanyai anak tentang alasan ia berkomentar demikian, bukan hanya akan melatih kemampuan berbahasanya saat mengemukakan pendapatnya, tapi juga membuatnya merasa dihargai.
LEWAT INTERAKSI DALAM KELUARGA
Anak prasekolah, lanjut Hera, tengah berkembang pesat rasa ingin tahunya. "Ia akan banyak tanya, bahkan terkesan bawel. Saat itulah sebenarnya orang tua mengasah sikap kritisnya. Semakin dini anak diasah sikap kritisnya akan semakin baik. Pokoknya, sejak anak mengenal komunikasi sudah bisa diasah." Adapun caranya, sama seperti pengembangan sikap yang lain, yaitu diasah lewat interaksi dalam keluarga. Pada waktu makan, misalnya, tumbuhkan diskusi antar keluarga.
Kakak dan adik bercerita, sementara orang tua memberikan masukan dan menanggapi. Bisa juga lewat buku cerita bergambar. "Dengan memperlihatkan buku bergambar atau cerita pada anak, maka anak akan banyak bertanya, entah tentang gambar atau cerita tersebut." Atau, lewat permainan seperti permainan balok. "Minta anak mengklasifikasikan ke bentuk yang sama, lalu tanyakan kenapa ia mengelompokkannya demikian. Dengan begitu, penalaran anak berjalan dan anak pun jadi kritis mengembangkan daya nalarnya."
...Dalam kehidupan sehari-hari pun orang tua bisa mengasah daya nalar anak.Tentunya, rangsangan yang diberikan pada anak harus disesuaikan dengan kemampuannya...
Dalam kehidupan sehari-hari pun orang tua bisa mengasah daya nalar anak. Misalnya, saat ibu memakaikan diapers pada celana sang adik, ibu bisa bilang, "Adik harus pakai diapers supaya celananya tak basah." Dengan memberikan penjelasan dan pengetahuan, daya nalar anak pun berkembang. Yang tak boleh dilupakan, terang Hera, rangsangan dari luar ikut menentukan kekritisan anak. "Itulah pentingnya kesadaran orang tua untuk selalu memberi pengetahuan sebanyak mungkin pada anak. Cobalah kalau hari libur, ajak anak berjalan-jalan ke kebun binatang, ke pantai atau ke tempat-tempat yang dapat menambah wawasan anak. Dengan pengetahuan yang banyak, maka akan mempertajam daya pikir anak."
Tentunya, rangsangan yang diberikan pada anak harus disesuaikan dengan kemampuannya. "Orang tua, kan, pasti tahu kemampuan anaknya sudah seberapa jauh. Dengan demikian ia tahu, anaknya bisa memahami pada tahap yang bagaimana. Kalau anaknya cuma baru bisa bicara sepatah dua patah kata, tentunya tak perlu menuntut anak menjelaskan secara panjang lebar. Yang singkat dan sederhana saja pun oke." Selain itu, jangan lupa memberi kesempatan pada anak untuk bersosialisasi dengan teman sebayanya. "Dalam suasana yang egaliter dengan teman sebayanya, biasanya anak terasah sikap kritisnya. Coba saja dengarkan obrolan antar anak, bagaimana mereka saling mengunggulkan dan menyangkal pendapat teman-temannya."
CONTOH DARI ORANG TUA
Tapi jangan salah, lo, mengembangkan sikap kritis bukan berarti anak boleh seenaknya mengkritik orang lain. Misalnya, si kecil keceplosan, "Ih, Tante, kok, gendut sekali, sih!" Orang tua harus mengingatkan, "Kamu enggak boleh bilang begitu di depan orangnya." Bila ia bertanya, "Mengapa?", jawablah, "Karena omonganmu itu akan melukai hatinya. Kamu juga enggak suka, kan, kalau disakiti?"
...Tapi mengembangkan sikap kritis bukan berarti anak boleh seenaknya mengkritik orang lain...
Jadi, ada nalarnya, bahwa sesuatu itu tak boleh dilakukan karena ada nalarnya. Tentunya, anak juga harus diajarkan melihat hal-hal positif dari dirinya sendiri dan orang lain. "Ajarkan juga bahwa mengkritik orang boleh-boleh saja, tapi ada caranya. Ada yang dengan cara manis dan ada pula dengan cara agresif," tutur Hera. Untuk anak kecil, contoh dari orang tua sangat diperlukan, bagaimana orang tua mempraktekkan sikap kritis dalam kehidupan sehari-hari. "Kritis tapi tetap ada rambu-rambunya, lo." Karena itu, Hera berpendapat, tak ada salahnya bila ayah dan ibu berdebat di depan anak, karena dapat memberi contoh secara langsung pada anak. "Tentunya pilih perdebatan yang layak untuk didengar anak. Kalau perdebatan itu tak baik didengar anak, ya, jangan lakukan di depan anak."
MUDAH BERADAPTASI
Nah, sudah paham, kan, Bu-Pak? Tapi tak perlu berkecil hati bila sang buah hati tak seperti teman-teman sebayanya yang kritis, karena tak selamanya ia akan demikian. "Bukankah anak selalu berubah? Perubahan ini bisa terjadi karena terbawa lingkungannya," tutur Hera. Misalnya, lingkungannya atau teman-temannya terdiri dari orang-orang yang kritis, banyak omong, banyak tanya, maka ia pun bisa jadi terbawa dan akhirnya ikut berpikir kritis pula. Tapi jangan lupa, belum tentu anak akan mendapatkan lingkungan yang kritis.
Itulah mengapa Hera menekankan, "alangkah baiknya jika sikap kritis diasah dari rumah." Apalagi, tambahnya, pengajaran di sekolah semakin tinggi, semakin menuntut pikiran yang kritis dari siswanya. Memang, aku Hera, di SD hingga SMU banyak pelajaran yang tak mendukung anak berpikir kritis. "Anak diberi hapalan melulu. Namun di perguruan tinggi, anak dituntut untuk berpikir kristis." Nah, kalau ia tak diasah sejak kecil, bagaimana ia bisa berpikir analitik dan kritis? (rps/tn)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!