Rabu, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 28 September 2011 10:22 wib
9.733 views
Sinansari Ecip: Media Islam Bukan Provokator, Tapi sebagai Penyeimbang
JAKARTA (voa-islam) – Ketua Komisi bidang Informasi dan Komunikasi (Infokom) Majelis Ulama Indonesia (MUI) S.Sinansari Encip menyesalkan, adanya ketidakseimbangan informasi oleh media massa dalam memberitakan sesuatu yang menyangkut kepentingan umat Islam. Sebagai contoh, tewasnya tukang ojek di Ambon, tidak pernah diungkap oleh media, apakah murni kecelakaan atau dibunuh. Padahal ini harus diungkap secara jelas. Inilah yang menyebabkan umat Islam diperlakukan tidak adil untuk mendapatkan informasi secara utuh dan benar.
Pemberitaan di Ambon kurang mendapat perhatian. Jika dikatakan kondusif, tentu harus sesuai dengan faktanya. Jangan malah membiarkan api dalam sekam. “Yang saya dengar, umat Islam di Ambon kurang puas dengan follow up perjanjian Malino,” kata Sinansari kepada voa-islam usai menerima laporan Forum Umat Islam (FUI) terkait kerusuhan di Ambon.
Dalam jurnalistik, wartawan senior itu melihat ada dualisme, antara fakta yang harus diberitakan dengan yang fakta yang tak perlu diberitakan. “Memang tidak semua fakta layak diberitakan, pertimbangannya apakah situasinya bisa memanas atau tidak. Keberpihakan sebuah media itu juga harus sesuai kenyataan. Tapi sebaiknya, jangan memberitakan sepihak saja, seharusnya berimbang.”
Ketika ditanya, apakah media massa itu bisa dikatakan berbohong, jika ada fakta yang sesungguhnya terjadi, namun justru tidak diberitakan? Dikatakan Sinansari Encip yang juga mantan Pemimpin Redaksi Majalah Panjimas, bahwa tidak mengatakan semua apa yang terjadi, tidak bisa dikatakan sebagai kebohongan, selama ada alasan dan pertimbangan yang masuk akal. Kecuali ada peristiwa A lalu dikatakan B, itu baru bohong.
“Disaat genting, keputusan dimuat atau tidaknya berita, ada di tingkat pimpinan, dalam hal ini pemimpi redaksi. Pemred tentu punya tanggung jawab sosial, sehingga ada pertimbangan tertentu untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, “ tandasnya.
Yang jelas, seorang reporter wajib menulis dan menyampaikan semua fakta yang terjadi di lapangan. Lalu keputusan dimuat atau tidaknya berita, merupakan wewenang redaktur ataupun Pemred. Biasanya hal itu kembali pada kepentingan media yang bersangkutan.
Kenapa berita tidak berimbang? “Itu disebabkan, sang reporternya tidak tahu, atau memang ada kepentingan tertentu. Untuk kasus Ambon, polemik apakah tukang ojek yang tewas itu dikarenakan kecelakaan murni atau dibunuh, maka media atau jurnalis harus mengungkap apa yang sesungguhnya terjadi. Masyarakat berhak mendapatkan informasi secara benar, tak perlu ditutup-tutupi, sehingga tidak meruncingkan masalah. Kasus ini harus diperjelas. Itu termasuk fakta yang perlu perlu dipublikasikan kepada khalayak.”
Ketika media umum tidak memberitakan secara seimbang, terutama yang menyangkut kepentingan umat Islam, maka media Islam seyogianya tampil sebagai penyeimbang. “Media Islam tentu punya misinya sendiri untuk membela kepentingan umat Islam. Karena itu, media Islam harus berpihak pada sesuatu kebenaran yang bermutu, tidak ngawur, tidak kasar, dan tidak mencampurkan opini dalam pemberitaan.”
Media nasional seperti Tempo atau Kompas misalnya, mereka mengklaim sebagai media yang independen, tapi kenyataannya, pada peristiwa-peristiwa tertentu justru tidak berimbang. Kalau pun dimuat, sekedar menempatkan halaman yang tidak strategis. Tidak dijadikan headline, juga tidak dijadikan Tajuk Rencana sebagai bentuk pembelaan resmi dari media yang bersangkutan. Bahkan Harian Republika yang katanya corong umat Islam, belum sepenuhnya maksimal. (desastian)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!