Kamis, 28 Rabiul Akhir 1446 H / 24 Januari 2013 13:45 wib
27.137 views
Sekali Lagi, Mengungkap Kebohongan Gereja dan Gerakan Pemurtadan
JAKARTA (VoA-Islam) – Tahukah? Paus Benecditus XVI pernah mengatakan, Natal itu bukan 25 Desember. Tapi anehnya, setiap tahun sebagian umat Islam malah mengucapkan selamat Natal kepada kaum Kristiani. Umat Islam seolah lupa dengan perjuangan Buya Hamka yang melarang umat Islam melalui fatwa MUI tentang larangan mengucapkan selamat Natal.
“Sejak awal, penanggalan Kristen itu sudah salah. Seorang ahli astronomi bernama Denisius ternyata salah hitung soal penanggalan Kristen perihal tahun pertama kelahiran Yesus. Pihak gereja menemukan kejanggalan, dan mengakui ahli astronomi itu salah hitung. Intinya, Yesus tidak lahir pada tanggal 25 Desember.”
Demikian dikatakan Kristolog Hj. Irena Handono dalam Kajian Bulanan yang diadakan oleh Badan Kerjasama Seluruh Pondok Pesantren Indonesia (BKsPPI) yang diketuai oleh KH. Cholil Ridwan di Gedung DDII, Jakarta, Selasa lalu.
Dikatakan Irena, Gereja punya jejak rekam panjang tentang kelahiran Yesus. Gereja bahkan sempat melakukan secara acak saat perayaan hari kelahiran tersebut. Ada yang merayakan pada bulan November, Desember, Januari, bahkan Februari. Tapi kemudian gereja membuat kesepaktan, 25 Desember sebagai hari kelahiran Yesus.
Perdebatan pun terjadi tentang dimana kelahiran Yesus. Ada yang mengatakan di kandang domba, di dalam goa, bahkan di bawah pohon cemara yang kemudian digunakan sebagai pohon Natal. Yang ada disana adalah pohon kurma, bukan cemara. “Itulah kebohongan gereja. Kita tahu, di Yerusalem tidak satupun tumbuh pohon cemara, apalagi salju.”
Dalam al Kitab (Matius dan Lukas) dikatakan, malam itu bintang gemerlap, gembala menggembalakan ternak di padang rumput. Jadi tidak mungkin ada salju. Banyak kebohongan yang diciptakan, tapi anehnya sebagian umat Islam itu sendiri malah menikmati kebohongan.
Gerakan Pemurtadan
Dalam kajian Kristologi itu, Irena kembali menyegarkan ingatan mengenai upaya pengikisan iman dan akidah yang terjadi Tanah Air. Salah satunya adalah aksi pemurtadan yang dilakukan oleh Yayasan Mahanaim. Bermula, 17 Mei 2008 yang lampau, Mahanaim menyelenggarakan pemurtadan berkedok peringatan Hari Kebangkitan Nasionaldi Monas, Jakarta, dengan tema "Indonesia Bangkit Jadi Berkat", diikuti peserta kurang lebih 2000 orang. Mereka terdiri dari anak-anak dan ibu-ibu yang datang dari penjuru Jabodetabek yang diangkut bis-bis carteran dari Mahanaim.
Sukses di Jakarta, aksi Mahanaim merambah Bekasi dengan tagline "Bekasi Berbagi Bahagia" (B3). Aksi yang mereka lakukan adalah “ada udang dibalik batu”. Mereka tidak peduli apakah misinya sah atau tidak. Yang penting, dari kegiatan pemurtadan berkedok social ini sudah mendapat fotokopi KTP, atau setidaknya nama, alamat, dan tanda tangan peserya yang dihadirkan. Data itu kemudian dijadikan lampiran proposal untuk mencarikan dana dari negeri donor, pendapatannya bisa diatas 10 kali lipat.
“Mereka itu kerja sehari untuk setahun. Bukan hanya itu, daftar hadir peserta dimanipulasi, dipakai untuk lampiran pendirian gereja,” tandas Irena.
Ketika ditanya, soal HKBP yang menjadi persolan di Bekasi, Irena menilai, HKBP telah menjual Indonesia ke Luar Negeri. Itulah sebabnya, cara menghadapi mereka, harus dimbangi dengan perang pemikiran dan budaya. “Fisik kita jangan dihabiskan dilapangan . Kita harus perang media, pemikdan, budata, dan peradaban.”
Mengenai gerakan Save Maryam, Irena tahu betul siapa pentolannya. Dia bernama Saefudin, seorang aktivis liberal pengikut JIL. Irena mengaku pernah berbicara dengannya, dan tahu nama aslinya, sampe nomor handphone-nya.
Suatu ketika Irena Handono pernah berdakwah di Papua Barat. Saat itu ia mendapat undangan untuk mengisi materi di sebuah masjid di Monokwari. Sebelumnya, Irena sengaja memfoto dirinya bersama staf Irena Center lalu dishare ke Facebook. Begitu tahu, Irena berada di Monokwari yang konon disebut Kota Injil, tak sedikit para misionaris yang terkejut dengan kedatangan dirinya.
“Mereka heboh saat saya difoto di depan patung selamat datang dengan spanduk Monokwari Kota Injil. Ketika saya sudah berada di masjid untuk memberi materi, rupanya ada pihak TNI yang memakai baju sipil, termasuk dari AL, polisi yang dating. Dari pihak Kristen juga ada yang memata-matai kehadiran saya di masjid tersebut, susana pun sempat panas,” kisah Irena yang kini mengembangkan dakwah melalui VCD dan DVD. Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!