Senin, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 17 Januari 2022 14:47 wib
5.646 views
Perpres Bank Tanah Penuh Pelanggaran
Oleh: R. Raraswati
Peraturan Presiden (Perpres) 113/2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah telah ditandatangani pada 30/12/2021. Perpres ini diduga melanggar amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang vonis inkonstitusional bersyarat Undang-Undang Cipta Kerja pada 25 November 2021, (Kompas.com, 6/1/2022). Ini namanya membuat peraturan dengan melanggar aturan.
Larangan menerbitkan peraturan pelaksanaan baru berkaitan UU Cipta Kerja yang bersifat strategis dan berdampak tercantum dalam putusan MK 91/PUU XVII/2021 butir 7. Putusan MK tersebut berlaku per 25 November 2021, tapi Jokowi justru teken Perpres tentang bank tanah pada bulan Desember. Mungkin Presiden lupa, pura-pura lupa, pura-pura tidak tahu atau benar-benar tidak tahu tentang putusan MK tersebut. Namun yang jelas Perpres tersebut telah melanggarnya. Ini namanya membuat aturan untuk dilanggar. Ironisnya, pelanggarnya adalah pihak yang memiliki wewenang membuat peraturan.
Peraturan yang diteken setelah adanya larangan, diduga karena ada desakan suatu kepentingan. Di era kapitalis seperti sekarang ini, pasti tidak jauh dari masalah cuan alias dolar atau rupiah untuk mempertebal dompet korporat. Jika dilihat dari UU Cipta Kerja Bab VIII tentang pengadaan tanah, pasal 125 ayat 1 yaitu pemerintah pusat membentuk badan Bank Tanah.
Sementara pasal 4 menjelaskan fungsi Bank Tanah guna melaksanakan perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian tanah. Sedangkan pada pasal 173 ayat 2 membahas tentang klaster kemudahan Proyek Strategis Nasional (PSN) sehingga pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional dapat dilakukan oleh badan usaha. Semua pasal tersebut saling berhubungan dan memicu persepsi Perpres tersebut hanya untuk memudahkan perolehan lahan PSN yang kemungkinan besar dikuasai oleh swasta asing.
Jika Perpres tersebut lebih mengutamakan sebagian elit, maka ini bukan hanya melanggar amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, juga melanggar sila ke-5 dari Pancasila. Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia tidak terpenuhi dalam kepemilikan dan pengelolaan tanah. Masyarakat bahkan harus melepaskan tanah miliknya dengan harga murah ketika ada proyek strategis nasional. Belum lagi syariat Islam yang jelas juga dilanggar. Karena pada dasarnya Islam membagi kepemilikan lahan menjadi tiga bagian.
Pertama, lahan pribadi yang dapat dimiliki secara individu seperti kebun, ladang, lahan pertanian, tempat parkir dan sebagainya.
Kedua, lahan kepemilikan umum seperti hutan, tanah lapang, taman hijau dan lainnya.
Ketiga, lahan milik negara yaitu lahan tanpa tuan. Lahan yang di atasnya terdapat harta milik negara seperti bangunan pemerintahan.
Dari pembagian ini maka, individu tidak boleh memiliki lahan milik umum meski sudah mendapat izin dari negara. Begitu pula kelompok yang tidak boleh memiliki lahan semaunya sendiri meski dengan alasan yang seolah baik, ternyata justru menyengsarakan rakyat. Ibarat racun berbalut madu.
Kepemilikan lahan secara individu juga memiliki batasan luas. Istilahnya, tidak boleh seseorang menjadi tuan tanah sampai orang lain kesulitan mendapatkan lahan dengan harga terjangkau. Kalau secara individu saja diatur sedemikian rupa, apalagi oligarki yang hanya untuk kepentingan elit, sekelompok orang. Jangan sampai oligarki menguasai tanah rakyat dengan semena-mena sementara banyak masyarakat yang tidur di kolong jembatan maupun di pinggir jalan.
Dari paparan di atas, bisa dilihat bahwa Perpres Bank Tanah penuh dengan pelanggaran. Sehingga tidak layak untuk diterapkan dan harus segera dihapus. Kalau saja pemerintah ingin mengatur perencanaan, perolehan, pengadaan, pengelolaan, pemanfaatan, dan pendistribusian lahan, bisa dengan cara membuat proyek strategis nasional yang memang dapat dinikmati rakyat.
Misalnya, memanfaatkan lahan tidak produktif untuk pembangunan perumahan gratis bagi warga miskin. Membuka lapangan kerja bagi para laki-laki dewasa dengan menghidupkan kembali lahan kosong tanpa pemilik sebagai tempat usaha ataupun lahan pertanian. Memanfaatkan lahan strategis untuk kepentingan umum tanpa melibatkan pihak asing dan sebagainya. Dengan demikian, distribusi tanah kepada warga bisa merata, pencari nafkah memiliki pekerjaan layak dan pada akhirnya rakyat makmur sejahtera. Allahu a’lam. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!