Ahad, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 19 Juli 2020 21:10 wib
3.373 views
Gaji Guru Tembus 60 Juta, Bisakah?
Oleh: Alfiyah Kharomah
Guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Harusnya, frase itu dihapus dari benak. Karena frase itu telah memberikan pemahaman bahwa meski guru pekerjaannya sangat mulia, namun tak perlu jasanya diberi tanda. Padahal apa yang mereka lakukan adalah untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa. Terbukti saat ini, tunjangan guru dihapus melalui Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2020 yang dinilai merugikan para guru di satuan pendidikan kerja sama (SPK). Di dalam pasal itu disebutkan, tunjangan profesi dikecualikan bagi para guru bukan PNS yang bertugas di SPK.
Satuan Pendidikan Kerja Sama (SPK) adalah satuan pendidikan yang diselenggarakan atau dikelola atas dasar kerja sama antara Lembaga Pendidikan Asing yang terakreditasi/ diakui di negaranya dengan Lembaga Pendidikan di Indonesia baik berbentuk formal maupun non formal yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Mereka beralasan beleid Peraturan tersebut adalah karena sekolah SPK SPP-nya bisa jutaan, bahkan uang masuknya ratusan juta. Hal itu dianggap memungkinkan kesejahteraan guru SPK jauh lebih sejahtera dibanding guru-guru di sekolah nasional. Standar yang dimiliki SPK termasuk dari sisi kesejahteraan di atas standar nasional.
Apakah benar demikian, guru di satuan SPK sudah mendapatkan kesejahteraan?
Terbukti forum guru yang tergabung dalam Delegasi Forum Komunikasi Guru SPK Indonesia mengeluhkan penghentian tunjangan profesi yang diatur Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Mereka mengadu langsung ke Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Mereka menilai bahwa peraturan Sekjen Kemendikbud Nomor 6 Tahun 2020 bertentangan dengan UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Dalam rapat dengar pendapat umum yang dipimpin Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih, di Senayan, Rabu (15/7/2020) lalu, forum guru ini mengungkapkan bahwa mereka mendesak Menteri Nadiem Makarim membatalkan Peraturan Sekjen tersebut. Kemudian mereka meminta agar mengembalikan hak para guru untuk mendapatkan tunjangan profesi. (CNBC, 16/07/2020)
Wakil ketua Komisi X DPR RI, Fikri mengatakan dalam PP Nomor 41/ 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosesn serta tunjangan kehormatan profesor pada ayat 1 disebutkan, guru dan dosen yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan memenuhi persyaratan dengan ketentuan perundang-undangan diberi tunjangan profesi setiap bulan.
Sebelumnya, melalui Perpres nomor 54 Tahun 2020 yang baru diterbitkan oleh Presiden Joko Widodo, pemerintah memangkas anggaran pendidikan. Dalam lampirannya tunjangan guru dipangkas dalam tiga komponen yakni, tunjangan profesi guru PNS daerah, tunjangan khusus guru PNS Daerah di daerah khusus, tambahan penghasilan guru PNS Daerah. Sehingga total pemangkasan angggaran mencapai Rp. 3,3 T.
Tentu saja peraturan Sekjen Kemedikbud ini telah mencederai Undang-Undang yang lain yaitu, PP No. 41/ 2009. Saling tumpang tindihnya dan pertentangan aturan-aturan di Indonesia tak bisa dipungkiri sering terjadi di negara ini. Sistem yang diadopsi oleh pemerintah adalah sistem yang menjadikan aturan manusia sebagai pengatur manusia. Padahal manusia terbukti lemah dan banyak melakukan kesalahan. Apalagi dengan rezim yang berganti-ganti, maka peraturan akan berganti pula menyesuaikan kepentingan-kepentingan politik di antara mereka.
Negara sedikit demi sedikit menghilangkan fungsinya dalam menjamin kesejahteraan para guru, baik guru PNS, honorer maupun guru SPK. Kebijakan yang beberapa kali memangkas tunjangan profesi guru diperlihatkan dengan telanjang, khas watak sejati rezim. Akibatnya, kesejahteraan guru yang menjadi komitmen pemerintah hanya mimpi di siang bolong.
Salah satu kelemahan sistem demokrasi adala bahwa sistem pemerintahan ini bersandar pada prinsip-prinsip yang lemah yang bersumber dari akal dan hawa nafsu manusia. Sistem ini lahir dari rahim ideologi sekularisme yang telah menegasikan hak prerorgatif Allah SWT untuk mengatur seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali pendidikan. Sehingga pada titik tertentu, sistem ini mampu menghasilkan negara korporasi yang mengabaikan kepentingan rakyat (dalam hal ini guru). Kepentingan itulah yang menjadikan pemangku kebijakan merubah-ubah peraturan, mana yang sekiranya menguntungkan.
Lalu, bagaimana nasib pendidikan bangsa yang bahkan penggerak pendidikannya saja tak diperhatikan?
Berharap pada sistem kapitalisme sekular yang hanya menjadikan timbangan ekonomi sebagai dasar kebijakannya, bagaikan pungguk merindukan bulan. Jauh panggang dari api. Guru tak akan pernah bertemu dengan kesejahteraan. Untuk menenangkan hati, guru cukup diberi diksi pahlawan tanpa tanda jasa. Oleh karena itu, pahlawan harus ikhlas menerima apapun resiko profesi yang dipilihnya. Sungguh sampai kapanpun nasib guru hanya akan menjadi bulan-bulanan sistem yang tak memanusiakan manusia ini.
Sangat berbeda dengan Islam, tenaga pendidik mendapatkan hak kesejahteraan yang layak. Tak ada status guru PNS atau honorer. Islam akan memperhatikan nasib para tenaga pendidik di jenjang manapun. Karena bagi Islam guru adalah pengubah kaum muslimin menjadi cendekiawan dan kaum terpelajar. Guru adalah penopang sistem pendidikan Islam yang akan melahirkan generasi mujahid dan mujtahid.
Mari tengok sejarah bagaimana Islam memuliakan seorang guru. Guru sejahtera di bawah naungan Islam. Sistem Islam tercatat dalam tinta emas, pernah menorehkan sejarah gemilang dalam hal pengelolaan sumber daya manusia pendidik generasinya yang berkualitas. Pendidikan Islam mampu melahirkan para ilmuwan yang telah berjasa bagi kehidupan dunia, bahkan di tengah belahan eropa yang mengalami masa kegelapannya. Sebut saja Ibn Al-Haytam, Maryam Asturlabi, Abbas Ibn Firnas, Ibnu Sina, Al-khawarizmi dan banyak lagi nama yang tertulis dengan tinta emas sejarah dunia.
Pertanyaannya, sistem seperti apa dan pendidik seperti apa yang mampu melahirkan para ilmuwan, filsuf dan ulama yang luar biasa seperti mereka? Maka, layak jika Islam panen para generasi cemerlang. Karena sistem Islam sangat memperhatikan kesejahteraan para tenaga pendidiknya. Sangat masyhur bagaimana pada masa Khalifah Umar bin Khattab, gaji pengajar adalah 15 dinar/bulan atau sekitar Rp 59.542.500,- ( 1 dinar = 4,25 gram. Dan jika 1 gram = Rp 934.000, periode Juli 2020) atau jika dibulatkan bisa mencapai 60 juta rupiah perbulan.
Atau kita akan lebih tercengang dengan gaji guru di masa Shalahuddin al Ayyubi. Di dua madrasah yang didirikan beliau yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar! Angka yang sangat fantastik. Gaji guru jika dikurskan pada harga emas saat ini, bisa mencapai 158.780.000 rupiah.
Tentu kita bertanya-tanya, bagaimana mungkin bisa? Sangat bisa, karena Islam begitu sempurna mengatur seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali sistem pendidikannya. Bahkan dari hulu hingga hilir. Islam dapat mencapai kegemilangan pendidikan seperti itu, karena Islam juga menerapkan sisstem ekonomi Islam.
Sistem ekonomi Islam memaksa negara untuk mengelola kekayaan alamnya dengan basis syariat. Dimana, kekayaan alam tidak boleh dimiliki oleh swasta. Pengelolaan kekayaan yang dimiliki oleh negara ini, sudah sangat mampu untuk membiayai pendidikan bahkan pendidikan dalam sistem Islam akan diperoleh secara gratis dengan kualitas sundul langit.
Siapa yang tak ingin masuk ke dalam sistem ini? Yang pasti sistem tersebut pernah terealisasi dan jika ketika kita menginginkan sistem ini, tentu bukanlah sebuah utopi. Islam akan tegak pasti. Wallahu ‘alam bisshawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!