Senin, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 18 Februari 2019 14:02 wib
9.111 views
Optimalisasi Bonus Demografi
Oleh:
Ifa Mufida, Praktisi kesehatan dan pemerhati masalah sosial
INDONESIA adalah negara kaya dengan sumber daya alam yang sangat istimewa. Indonesia juga memiliki potensi Sumber Daya Manusia (SDM) yang luar biasa jika dilihat dari jumlah penduduknya. Negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini juga disinyalir oleh banyak kalangan bisa menjadi titik awal kebangkitan Islam. Terlebih Indonesia telah diperhitungkan akan mendapat anugerah bonus demografi selama rentang waktu 2020-2035. Puncaknya akan terjadi pada 2030. Pada saat itu, jumlah kelompok usia produktif (umur 15-64 tahun) jauh melebihi kelompok usia tidak produktif (anak-anak usia 14 tahun ke bawah dan orang tua berusia 65 ke atas)(KumparanNews,15/11/17).
Deputi Lalitbang BKKBN Pusat menjelaskan, bonus demografi apabila dimanfaatkan secara optimal dapat memacu pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan bangsa. Namun, jika tidak mampu memanfaatkannya dengan meningkatkan kualitas masyarakat, bonus demografi bisa menjadi bencana kependudukan yang membawa berbagai dampak terhadap kehidupan sosial, ekonomi, politik dan budaya. Kalau usia produktif ini gagal berkompetisi, siap-siap jadi penonton (Prokal.com, 13/12/18).
Pemerintah dalam rangka menyambut peluang ini telah menetapkan beberapa konsep yang akan mengintegrasikan 3 elemen utama, yaitu (1)mengembangkan potensi ekonomi; (2)memperkuat konektivitas nasional yang terintegrasi secara lokal dan terhubung secara global; (3) memperkuat kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan IPTEK nasional untuk mendukung pengembangan program utama di setiap koridor ekonomi.
Selain itu, Pemerintah juga telah menetapkan strategi “Full Participation” dalam rangka meningkatkan produktivitas penduduk usia produktif. Maka yang paling berperan besar dalam mengendalikan negeri ini pada puncak demografi adalah anak-anak yang saat ini masih berusia belasan tahun. Lalu, apakah mereka sudah dipersiapkan untuk menjadi generasi hebat selama 15 tahun kedepan dalam memanfaatkan celah kesempatan dari bonus demografi? Hingga saat ini belum ada urgensi nyata untuk mempersiapkan manusia-manusia hebat guna menghadapi tantangan ”tahun-tahun emas” tersebut.
Bahkan faktanya, remaja kita sedang dirundung berbagai macam problematika. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh KPAI dan Kemenkes pada Oktober 2013 didapatkan bahwa sekitar 62,7% remaja di Indonesia telah melakukan hubungan seks di luar nikah. 20% dari 94.270 perempuan yang mengalami hamil di luar nikah juga berasal dari kelompok usia remaja dan 21% diantaranya pernah melakukan aborsi. Lalu pada kasus terinfeksi HIV dalam rentang 3 bulan sebanyak 10.203 kasus, 30% penderitanya berusia remaja. Dan prosentase ini sudah dipastikan naik dari tahun ke tahun.
Selain itu, ancaman miras dan narkoba yang menyerang remaja juga tidak bisa dipandang remeh. Menurut laporan yang dimuat Republika.co.id, berdasarkan hasil penelitian Badan Narkotika Nasional (BNN), terdapat sekitar 1,1 juta pelajar dan mahasiswa Indonesia terlibat penyalahgunaan narkoba. Remaja pun, cenderung memiliki gaya hidup yang tidak sehat, seperti ketagihan game online dan merokok. Berdasarkan data dari Kemenkes RI, hampir 80% dari total perokok di Indonesia mulai merokok ketika usianya belum mencapai 19 tahun. Kelompok usia yang paling banyak merokok di Indonesia adalah usia 15-19 tahun. Padahal merokok, meski hukumnya tidak haram namun terbukti memiliki efek yang buruk terhadap kesehatan. Terlebih jika kebiasaan merokok ini menjadi kronis, maka bisa diprediksi bagaimana kondisi kesehatan remaja perokok beberapa tahun ke depan.
Segala problematika kerusakan remaja di atas tidak bisa dipungkiri terjadi justru karena sistem informasi dan teknologi yang tidak bisa membendung liberalisasi. Konten pornografi dan pornoaksi menjadi konten yang diperbolehkan. Bahkan jaringan telekomunikasi telah dimanfaatkan untuk tersebarnya virus LGBT, tak sedikit kita menemui grup-grup remaja yang terjaring kelompok LGBT ini. Begitu juga prostitusi online juga menyerang life style dari remaja kita. Gaya hidup materialistis menjadikan mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai kebahagiaan materi. Astaghfirullah!
Maka untuk menyambut bonus demografi dan menjadikannya anugerah, tidak akan mungkin dilakukan hanya dengan mengembangkan potensi ekonomi dan memanfaatkan kemajuan IPTEK. Karena jika hal ini tidak didukung oleh arah pandang yang benar tentang kehidupan maka akan menjadi sia-sia dan justru akan menjadi senjata mematikan bagi pemuda milenial. Sistem pendidikan juga sangat menentukan pembentukan karakter pemuda bangsa. Nyatanya, justru siswa didik kita saat ini miskin dengan nilai moral, bahkan untuk sekedar memberikan penghormatan kepada guru mereka. Siswa didik di Indonesia hanya dituntut untuk sukses secara akademik, tetapi mereka tidak dipersiapkan untuk menjadi insan yang berkepribadian sehingga bisa mengembangkan potensi diri untuk sebaik-baiknya bermanfaat bagi umat dan negara.
Insan yang berkepribadian ini sejatinya lahir dari pondasi aqidah dan keimanan yang tertancap secara kokoh. Terkhusus untuk remaja muslim, mereka harus dibekali dengan arah pandang kehidupan secara benar. Arah pandang aqidah Islam akan mengantarkan mereka untuk memahami bahwa hakikat hidup mereka di dunia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT, karena setiap perbuatan kita di dunia pasti akan dimintai pertanggungjawaban nanti di akhirat. Hal ini akan menjadi benteng pertahanan yang akan menangkal segara virus mematikan mulai dari LGBT, seks bebas, miras, narkoba dan berbagai macam gaya hidup liberal yang melingkupi masyarakat saat ini.
Pembentukan karakter remaja dengan landasan aqidah ini sangat sulit untuk diwujudkan tanpa ada dukungan dari keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan dari negara. Keluarga adalah madrasah pertama pembentuk karakter seorang anak. Maka optimalisasi peran orang tua sangat penting di sini. Namun kebanyakan keluarga muslim saat ini telah melupakan peran strategis ini, karena tantangan ekonomi telah menjadikan mereka tersibukkan dengan urusan ekonomi keluarga. Bahkan tak sedikit ibu-ibu yang terpaksa menjadi pejuang devisa negara dengan menjadi buruh di luar negeri.
Di dalam hal ini, negara memiliki peran sentral. Kebijakan pemerintah di berbagai bidang akan sangat menentukan tata kehidupan di masyarakat. Dalam sistem pendidikan, sangat perlu tata kelola pendidikan yang mengedepankan pembentukan kepribadian siswa didik. Kebijakan sistem ekonomi harus dijauhkan dari kebijakan neoliberal, agar Indonesia bisa mengelola kekayaan alam ini untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pun juga kebijakan politik dan hukum, hendaknya bisa menindak tegas perilaku yang merusak seperti zina, LGBT, miras dan narkoba sehingga memberikan efek jera kepada masyarakat. Sistem media dan informasi harus bersih dari konten yang merusak termasuk pornografi dan pornoaksi. Pemberlakuan kebijakan inilah yang akan membentuk Indonesia menjadi Baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur.
Perwujudan kebijakan tersebut hanya akan tercapai jika kita mencampakkan sistem kapitalis-liberal yang merusak dan kembali kepada pangkuan Islam. Bonus demografi, akan benar-benar memajukan negeri ini jika dilandasi oleh keimanan kepada sang pencipta manusia. Ini lah yang akan segera mengobati kerusakan generasi, sehingga menjadikan mereka generasi bertakwa yang produktif. Bukan sekedar dorongan materi, tetapi atas dorongan untuk menjadi umat yang terbaik. Ya, generasi Khoiru Ummah.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!