Di Akhir Desember Harus Semakin Khawatir Bencana, Kenapa?Kamis, 26 Dec 2024 12:03 |
|
Feminisme dan Delusi Kesetaraan GenderRabu, 25 Dec 2024 20:55 |
Oleh: Ustadz Abu Bakar Ba'asyir
Bismillahirrahmanirrahim.
Segala puji bagi Alloh Subhanahu Wa Ta’ala, Pemilik, Penguasa, Pengatur dan pemelihara alam semesta, Shalawat dan salam semoga dilimpahkan atas utusan-Nya yang terpecaya Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, atas semua keluarganya, semua sahabatnya dan semua hamba Allah yang mengikuti sunnahnya sampai hari qiyamat. Aamin.. ‘Amma ba’du… :
Allah SWT berfirman :
”Sesungguhnya, mereka (orang kafir) merencanakan tipu daya yang jahat, dan Aku pun membuat rencana (tipu daya) yang jitu. Karena itu berilah penangguhan kepada orang-orang kafir. Berilah mereka kesempatan untuk sementara waktu” (Ath Thoriq : 15-16-17).
Dalam ayat-ayat ini Allah SWT menegaskan bahwa orang-orang kafir selalu membuat makar (tipu daya) untuk menyesatkan dan memurtadkan ummat Islam, tetapi Allah akhirnya mengagalkan makar mereka. Di antara makar mereka yang dahsyat terutama di akhir zaman ini adalah menggerakkan thaghut-thaghut agar menguasai negara-negara ummat Islam, bahkan negara ummat Islam Indonesia.
Sejak merdeka terkena makarnya orang-orang kafir sehingga dikuasai kaum Nasionalis, Sosialis, Demokrat, sekuler.
Mereka mengatur Indonesia dengan hukum jahiliyah dan membuang hukum Allah, maka mereka adalah Thaghut kafir yang menjerumuskan ummat Islam kepada kegelapan hidup (syirik, munkar, kekafiran) seperti diterangkan oleh Allah dalam firman-Nya :
“Dan orang-orang kafir, para pemimpin mereka adalah thaghut….” (Q.S Al-Baqarah : 257).
Thaghut-thaghut penguasa N.K.R.I menampakan diri sebagai muslim dengan mengamalkan sholat, shiyam, zakat, haji dan lain-lain agar ummat Islam bersedia menerimanya sebagai Ulil Amri yang ditaati, bahkan untuk tujuan ini thaghut-thaghut menyewa ulama-ulama suu’, ustadz-ustadz, mubaligh yang berakidah Murji’ah Ekstrim untuk meyakinkan ummat Islam bahwa mereka bukan Thaghut.
Di antara makar Thaghut Indonesia akhir-akhir ini adalah terbitnya buku yang berjudul: “MEREKA BUKAN THAGHUT” yang ditulis oleh Khairul Ghazali untuk mengelabui ummat islam agar meyakini bahwa rezim N.K.R.I adalah benar-benar muslim bukan thaghut.
Untuk melawan makar yang sangat membahayakan tauhid ini, seorang hamba Allah pengikut ulama salaf, yaitu Ustadz Amman Abdurrahman menulis buku: “Yaa… Mereka Memang Thaghut!”.
Di dalam buku tersebut beliau membongkar kecurangan Kahirul Ghazali dalam menerangkan definisi Thaghut. Tampaknya Khairul Ghazali diperalat oleh thaghut untuk mensukseskan makarnya. Maka buku: “Mereka Bukan Thaghut” adalah bentuk makar thaghut yang merusak tauhid dan iman kaum muslimin. Maka kepada Khairul Ghazali saya ‘Peringatkan’ bahwa posisi Anda sekarang adalah termasuk golongan “Ansharuth Thaghut”, makanya segeralah bertaubat !! dan berusahalah menjadi golongan “Anshorullah” seperti yang diperintahkan oleh Allah dalam firman-Nya :
”Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu anshorullah….” (Q.S Ash Shaf : 14).
Semoga Ustadz Amman Abdurrahman selalu ditolong oleh Allah SWT dalam usaha-usahanya menegakkan tauhid dan semoga buku yang beliau tulis ini diterima sebagai amal sholeh di sisi Allah SWT. Amin
Wassalam.
Bareskrim Mabes Polri :
11 Shofar 1433H / 5-1-2012.
Al Fakiir Ilaallah.
Abu Bakar Ba’asyir
Oleh:
Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Segala puji hanya milik Allah Rabbul ‘alamin, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad, keluarganya dan para shahabat.
Allah berfirman:
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 112)
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap nabi itu memiliki musuh dakwah yang menyebarkan bisikan-bisikan kesesatan yang dipoles dalam bentuk yang indah dalam rangka menipu umat. Dan begitu juga para pelanjut dakwah para nabi memiliki banyak lawan dan musuh yang melontarkan kesesatan yang dikemas dalam kemasan yang menarik sehingga menipu umat.
Itulah kiranya apa yang dilakukan penulis buku “Mereka Bukan Thaghut” yang bernama Khairul Ghazali yang merelakan dirinya untuk menjadi corong para thaghut dalam rangka menutupi kekafiran dan kedzaliman mereka yang nampak jelas dan dalam rangka memfitnah dakwah tauhid dengan fitnah yang busuk.
Tulisan saya ini akan menyoroti dua hal:
Pertama, Menyoroti Pengkaburan Makna Thaghut
Khairul Ghazali membela pemerintah thaghut dengan cara mencampur-adukan makna thaghut secara lughawiy (bahasa) dengan makna syar’iy (istilah), dan saat menyimpulkan tulisannya ini dia berpegang terhadap makna lughawiy dan mencampakkan makna syar’iy. Sehingga dia memasukan dalam rengrengan thaghut itu para ahli maksiat yang tidak sampai pada tahap kekafiran seperti koruptor, ahli maksiat, perampas hutan dan alam rakyat dan yang lainnya, dimana dia berkata dalam bukunya itu, “Pada saat sekarang, aktifitas perang dengan thaghut –setan, pengumbar nafsu, pengobral narkoba, koruptor, tukang sihir, ahli maksiat, dukun/tukang santet, mafia peradilan, penguasa yang menyalah gunakan kekuasaan, polisi/TNI yang menganiaya dan menindas rakyat, parampas hutan dan alam rakyat, dan yang lainnya– tidak boleh dilakukan dengan kekerasan…” (hal. 70-71).
Padahal Islam itu datang dengan membawa perubahan makna lughawiy kepada makna syar’iy, umpamanya kata sholat secara lughawi adalah do’a sedangkan makna syar’i adalah ucapan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Begitu juga shaum, secara bahasa adalah al imsak (menahan diri) sedangkan makna syar’iy adalah menahan diri dari makan, minum dan hubungan badan sejak terbit fajar sampai terbenam matahari dengan disertai niat. Maka begitu (pula istilah) thaghut secara bahasa maknanya adalah melampaui batas, sedangkan makna syar’iy adalah segala yang dilampaui batasnya oleh si hamba baik itu yang diibadati ataupun yang diikuti ataupun yang ditaati.
Imam Ibnu Jarir Ath Thabari rahimahullah berkata : “Dan yang benar menurut saya tentang (makna) thaghut adalah segala yang menentang terhadap Allah dimana dia diibadati selain-Nya, baik dengan paksaan darinya terhadap yang mengibadatinya maupun dengan ketaatan kepadanya dari yang mengibadatinya, sama saja baik yang diibadati itu adalah manusia, atau syaitan, atau berhala, atau patung atau apa saja.” (Tafsir Ath Thabari 3/21, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 66).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Thaghut adalah wazan fa’alut dari thughyan, sedangkan thugyan itu adalah melampaui batas, yaitu kedzaliman dan aniaya. Maka yang diibadati selain Allah bila dia itu tidak membenci peribadatan tersebut adalah thaghut, oleh sebab itu nabi shallallahu’alaihi wa sallam menamakan patung-patung sebagai thaghut di dalam hadits shahih tatkala beliau berkata: “Dan orang yang menyembah para thaghut dia mengikuti para thaghut itu.” Dan yang ditaati dalam maksiat kepada Allah, juga yang ditaati dalam mengikuti kesesatan dan dalam selain dienul haq, baik dia itu diterima beritanya yang menyelisihi kitabullah atau ditaati perintahnya yang menyelisihi perintah Allah maka ia itu adalah thaghut, oleh sebab itu orang yang dirujuk hukum yang memutuskan dengan selain kitabullah adalah dinamakan thaghut,…” (Majmu’ Al Fatawa: 28/200, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 66).
Imam Ibnu Qayyim rahimahullah berkata : “Thaghut adalah segala yang dilampaui batasnya oleh si hamba, baik itu yang diibadati ataupun yang diikuti ataupun yang ditaati, maka thaghut setiap kaum adalah orang yang mana mereka merujuk hukum kepadanya selain Allah dan Rasul-Nya, atau yang mereka ibadati selain Allah, atau yang mereka ikuti di atas selain petunjuk dari Allah, atau yang mereka taati di dalam apa yang mereka tidak ketahui bahwa itu adalah ketaatan kepada Allah; ini adalah thaghut-thaghut di dunia, jika memperhatikannya dan memperhatikan keadaan manusia bersamanya tentu engkau melihat mayoritas mereka telah berpaling dari peribadatan kepada Allah (ibadatullah) terhadap peribadatan kepada thaghut (ibadatuththaghut), dan dari ketaatan kepada-Nya serta ittiba kepada Rasul-Nya terhadap ketaatan dan ittiba kepada thaghut.” (A’lamul Muwaqqi’in: 1/50, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 67).
Imam Al Qurthubiy rahimahullah berkata: “Thaghut adalah dukun, setan, dan setiap tokoh dalam kesesatan.” (Al Jami Li Ahkamil Qur’an: 3/282, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 67).
Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Al Laits, Abu Ubaidah, Al Kisa-iy dan jumhur ahli bahasa berkata: Thaghut adalah segala yang diibadati selain Allah ta’ala.” (Syarh Shahih Muslim: 3/18, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 67).
Perlu diingat bahwa yang namanya ibadah itu bukan hanya ritual sholat, do’a, istighatsah, sujud dan hal-hal yang serupa itu yang sudah diketahui olah banyak orang, akan tetapi penyandaran hak pembuatan hukum atau ketaatan kepada hukum buatan itu adalah peribadatan kepada si pembuat hukum tersebut sebagaimana penjelasan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam. Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah menjadi musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Jadi bentuk peribadatan di sini adalah ketika alim ulama itu membuat hukum di samping hukum Allah, kemudian hukum tersebut diikuti dan ditaati oleh para pengikutnya, maka si alim ulama atau pendeta tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala cap mereka sebagai Arbab atau sebagai orang yang memposisikan dirinya sebagai tuhan selain Allah, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagi pembuat hukum atau sebagai tuhan selain Allah, maka dia itu adalah orang kafir. Dan dalil yang lain adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang menetapkan bagi mereka dari dien (hukum/ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan?” (QS. Asy Syuura: 21)
Dalam ayat ini Allah mencap para pembuat hukum selain Allah sebagai syuraka’ (sekutu-sekutu) yang diangkat oleh para pendukungnya sebagai sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah adalah orang kafir.
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata: “Thaghut adalah umum mencakup segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedang dia itu rela dengan peribadatan tersebut, baik yang disembah, atau yang diikuti, atau yang ditaati dalam bukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, ini adalah thaghut.
Thaghut-thaghut itu banyak sekali, sedangkan tokoh-tokohnya ada lima:
Pertama: Syaitan yang mengajak untuk beribadah kepada selain Allah, sedangkan dalilnya adalah firman Allah:
“Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu.” (QS. Yaasiin: 60).
Kedua: Pemerintah yang dhalim yang merubah hukum-hukum Allah[1], sedangkan dalilnya adalah firman-Nya:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya. (QS. An-Nisaa: 60)
Ketiga: Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah[2], sedangkan dalilnya adalah firman Allah:
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang kafir.” (QS. Al-Maidah: 44)
Keempat: Orang yang mengklaim mengetahui hal yang ghaib padahal itu adalah hak khusus Allah, sedangkan dalilnya adalah firman-Nya:
“(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang ghaib itu, kecuali kepada rasul yang diridlai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (Malaikat) di muka dan di belakangnya.” (QS. Al Jinn: 26-27)
Dan firman-Nya:
”Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di daratan dan apa yang ada di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudz)” (QS. Al An’am: 59)
Kelima: Segala sesuatu yang disembah selain Allah, sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut, dan adapun dalilnya adalah firman Allah:
“Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: “Sesungguhnya aku adalah Tuhan selain daripada Allah,” maka orang itu Kami beri balasan dengan jahannam, demikian Kami memberikan balasan kepada orang-orang dhalim.” (QS. Al Anbiyaa: 29)
Ketahuilah bahwa orang itu tidak bisa dianggap sebagai orang yang beriman kepada Allah kecuali dengan kufur terhadap thaghut, dan adapun dalilnya adalah firman Allah:
”Telah jelas kebenaran dari kesesatan, karena itu barangsiapa ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah: 256)
Ar Rusydu adalah agama Muhammad dan Al Ghayy adalah agama Abu Jahal, sedangkan Al ‘Urwah Al Wutsqaa adalah kesaksian Laa Ilaaha Illallaah, di mana hal ini mengandung penafian dan penetapan. Menafikan semua macam ibadah dari selain Allah, dan menetapkan seluruh ibadah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” (Majmu’atut Tauhid)
Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata: “Dan yang disimpulkan dari pernyataan salaf radliyallahu’anhum: Bahwa thaghut adalah segala yang memalingkan si hamba dan menghalanginya dari peribadatan kepada Allah dan (dari) pemurnian ketundukan dan ketaatan bagi Allah dan Rasul-Nya, baik dalam hal itu adalah syaitan dari kalangan jin dan syaitan dari kalangan manusia, maupun pepohonan, bebatuan dan yang lainnya. Dan tidak diragukan lagi masuk dalam hal itu adalah pemutusan hukum dengan undang-undang di luar Islam dan diluar ajarannya serta hal lainnya yang dibuat oleh manusia untuk dijadikan bahan pemutusan hukum dalam perkara darah, kemaluan, dan harta, dan dengannya dia menggugurkan syari’at Allah berupa penegakkan hudud, pengharaman riba, zina, khamr, dan yang lainnya, yang mana undang-undang buatan itu telah menghalalkannya dan melindunginya dengan pemberlakuannya dan penerapan para aparatnya. Sedangkan undang-undang buatan itu sendiri adalah thaghut dan orang yang membuatnya serta yang mensosialisasikannya adalah thaghut juga. Dan begitu juga segala kitab yang dibuat oleh akal manusia dalam rangka memalingkan dari kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu’aihi wa sallam, baik secara sengaja ataupun tanpa kesengajaan dari pembuatnya, maka ia adalah thaghut.” (Hasyiyah Kitah Fathil Majid: 282 cetakan Darul Kutub Al Ilmiyyah, lihat kitab Ath Thaghut milik Abu Bashir halaman 70).
Dan ucapan-ucapan ulama lainnya tentang makna thaghut secara syar’iy dan contoh-contohnya yang mana di antara thaghut yang disebutkan adalah para penguasa yang memberlakukan hukum buatan lagi meninggalkan hukum Allah. Adapun penekanan banyak para penulis tentang thaghut terhadap pembahasan kethaghutan para penguasa semacam yang tadi sudah disebutkan bukanlah dalam rangka menganggap tunggal makna thaghut terhadap mereka saja, akan tetapi pemberian porsi yang lebih banyak karena kondisi menuntut hal itu, dimana thaghut-thaghut yang lain pun seperti dukun dan tukang santet adalah berlindung atau mendapat perlindungan dari thaghut hukum.
Dan bahkan secara sentimen gaya BNPT Khairul Ghazali menyebutkan bahwa para da’i tauhid yang menentang ideologi pemerintah thaghut ini adalah thaghut pula, dimana dia berkata dalam hal 61 : “Pada tataran ini, para ideologi yang memompakan agitasi dan semangat jihad yang meluap-luap, akhirnya mereka telah resmi menjadi “thaghut” tanpa disadari –merujuk kepada makna thaghut, tindakan yang melampaui batas dan ekstrem di dalam memahami sesuatu dan bertindak radikal yang menimbulkan gangguan ketentraman dan keamanan bagi orang lain”
Tapi lucunya, dia menganggap pemerintah yang berhukum dengan hukum thaghut lagi memerangi pemberlakuan syari’at Islam adalah bahwa mereka itu bukan thaghut dan tidak kafir dengan merujuk kepada Syaikh Al Albani yang dalam permasalahan ini terjatuh dalam kesesatan paham Ghulatul Murjiah dimana menganggap tindakan pemerintah thaghut ini hanya kufrun duna kufrin (kekafiran kecil yang tidak mengeluarkan dari islam). Padahal itu adalah paham yang sesat yang menyelisihi aqidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah yang meyakini bahwa berhukum dengan undang-undang buatan itu adalah kekafiran yang mengeluarkan dari Islam tanpa melihat keyakinan hatinya.
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya terhadap ajaran Allah, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin.” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jenggis Khan raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Qur’an dan ajaran ahli bid’ah ditambah dengan hasil buah fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq. Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk kepada kitab seperti hukum ini, maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin. Maka demikian pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHP-nya), dan ada juga dari Islam seperti masalah pernikahan.
Lagi pula sesungguhnya kekafiran pemerintah ini bukan hanya dari sisi karena tidak memberlakukan (syariat) Islam dan menggantinya dengan hukum buatan saja, akan tetapi telah kafir dari banyak sisi yang di antaranya:
A. Mereka Menjadi Thaghut
Kenapa demikian?, ini karena mereka dengan dewan legislatifnya dan sebagian eksekutifnya mengklaim sebagai pembuat hukum, mengklaim yang berhak membuat hukum dan perundang-undangan, bahkan mereka telah membuat dan memutuskan, maka mereka adalah thaghut itu sendiri. Mereka menjadi pembuat hukum yang hukumnya diikuti (baca: diibadati) oleh ansharnya.
1. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa: 60)
Banyak masyarakat atau anshar thaghut atau siapa saja di antara mereka, ketika memiliki kasus di negeri ini, apakah mereka mengajukan kasusnya kepada hukum Allah ataukah kepada hukum selaim hukum Allah? Tentu mereka mengajukannya kepada hukum selain hukum Allah, yang mana hukum itu dibuat oleh para thaghut tadi di gedung Palemen, baik yang ada di lembaga legislatif atau lembaga eksekutif maupun para pemutusnya di dewan yudikatif.
Mereka adalah thaghut, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah dalan Risalah Fie Ma’na Thaghut, bahwa pentolan thaghut yang kedua adalah “Penguasa Dzalim Yang Merubah Ketentuan Allah”. Sedangkan di negeri ini, semua hukum Allah dirubah… mulai dari hukum pidana, perdata, ekonomi, dan lain-lain. Semua dicampakkan dan mereka sepakat tidak memakai hukum yang Allah turunkan, sedangkan sesorang tidak bisa dikatakan sebagai orang muslim kecuali bila kafir kepada thaghut. Dan bagaimana mereka bisa dikatakan muslim dan mereka berlepas diri dari thaghut sedangkan dalam hal ini mereka sendiri adalah thaghutnya…??!
2. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31)
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi rabb.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Ketika mereka menyandarkan hak hukum dan pembuatan hukum (tasyri’) kepada selain Allah, maka yang mengaku memiliki hak membuat hukum ini disebut arbab, yaitu yang memposisikan dirinya sebagau tuhan pengatur selain Allah. Saat hukum itu digulirkan dan diikuti, maka itu adalah arbab yang disembah. Orang yang sepakat di atas hukum ini atau yang mengacu atau yang merujuk pada hukum yang mereka gulirkan itu adalah orang yang Allah vonis sebagai orang musyrik yang menyembah atau mengibadati atau mempertuhankan mereka serta telah melanggar Laa ilaaha illallaah.
3. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’am: 121)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan tentang keharaman bangkai, dan Allah juga menjelaskan tentang tipu daya syaitan. Kita mengetahui bahwa bangkai adalah haram, namun dalam ajaran orang musyrik Quraisy mereka menyebutnya sebagai sembelihan Allah.
Dalam hadits dengan sanad yang shahih yang diriwayatkan oleh Imam Al Hakim rahimahullah dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu: Orang musyrikin datang kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata: “Hai Muhammad, kambing mati siapa yang membunuhnya?”, Rasulullah yang mengatakan: “Allah membunuhnya (mematikannya)”, kemudian orang-orang musyrik itu mengatakan: “Kambing yang kalian sembelih dengan tangan kalian, maka kalian katakan halal, sedangkan kambing yang disembelih Allah dengan Tangan-Nya yang Mulia dengan pisau dari emas kalian katakan haram, berarti sembelihan kalian lebih baik daripada sembelihan Allah.”
Ini adalah ucapan kaum musyrikin kepada kaum muslimin, dan Allah katakan bahwa itu adalah bisikan syaitan terhadap mereka (Dan sesungguhnya syaitan itu membisikkan (mewahyukan) kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu) untuk mendebat kaum muslimin agar setuju atas penghalalan bangkai, lalu setelah itu Allah peringatkan kepada kaum muslimin jika menyetujui dan mentaati mereka, menyandarkan kewenangan hukum kepada selain Allah meski hanya dalam satu hukum atau kasus saja (yaitu penghalalan bangkai) dengan firman-Nya “Maka sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.”
Dalam ayat di atas Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyatakan bahwa:
Bila satu hukum saja dipalingkan dalam hak pembuatannya kepada selain Allah, maka berdasarkan ayat tadi, bahwa orang yang membuat hukum itu disebut wali-wali syaitan (taghut) yang telah mendapat wahyu atau wangsit dari syaitan, sedangkan orang yang mentaatinya atau setuju dengan hukum buatan tersebut adalah divonis oleh Allah sebagai orang musyrik.
Sedangkan yang ada di NKRI ─dan negara-negara lainnya─ adalah bukan satu, dua, tiga, sepuluh, atau seratus hukum saja, akan tetapi seluruh hukum yang ada di sini adalah bukan dari Allah, tapi dari wali-wali syaitan yang mendapat wahyu dari syaitan jin, baik wali-wali syaitan itu dahulunya orang Belanda (yang mewariskan KUHP) ataupun wali-wali syaitan zaman sekarang yang duduk di kursi parlemen, yang membuat, yang merancang, yang menggodok, atau apapun namanya dan siapa pun yang membuat hukum, maka pada hakikatnya mereka adalah wali-wali syaitan dan hukum yang mereka gulirkan hakikatnya adalah hukum syaitan.
Perhatikanlah… jika saja orang-orang yang SEKEDAR mentaati mereka maka Allah memvonisnya sebagai orang musyrik, maka apa gerangan dengan para pembuatnya atau orang yang memutuskan dengannya atau orang yang memaksa masyarakat untuk tunduk kepadanya dengan menggunakan besi dan api (kekuatan dan senjata)…?!!
4. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Apakah mereka mempunyai sekutu-sekutu selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka dalam dien (ajaran/hukum) ini apa yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura: 21)
Dalam ayat tersebut, siapa saja yang membuat syari’at atau hukum atau undang-undang atau ajaran yang tidak diizinkan oleh Allah dinamakan syuraka (sekutu-sekutu), karena mereka memposisikan dirinya untuk diibadati dengan cara menggulirkan hukum agar diikuti. Mereka merampas hak pembuatan hukum dari Allah, mereka merancang, menggodok, dan menggulirkannya di tengah masyarakat. Sedangkan orang-orang yang mentaati atau mengikuti hukum itu disebut orang yang menyembah syuraka tersebut.
B. Mereka berhukum dengan selain hukum Allah atau memutuskan dengan hukum thaghut
Mereka berhukum dengan hukum thaghut, karena selain hukum Allah yang ada hanyalah hukum jahiliyyah atau hukum thaghut, ini berdasarkan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maidah: 44:
“Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, maka mereka itulah orang-orang kafir”
Dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al Maidah: 50
“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Dalam ayat-ayat di atas, orang yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan adalah orang-orang kafir, sedangkan pemerintah di negeri ini tidak memutuskan dengan apa yang Allah turunkan, akan tetapi memutuskan dengan hukum thaghut. Maka mereka pun divonis kafir berdasarkan ayat-ayat seperti ini, bahkan Allah memvonis orang-orang yang seperti ini sebagai orang-orang zalim dan fasiq dalam surat Al Maidah: 45 dan 47.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah menjelaskan dalam Risalah Fie Makna Thaghut, tentang Ruusuth Thawaghit (tokoh-tokoh para thaghut) yang ketiga yaitu: Yang Memutuskan Dengan Selain Apa Yang Allah Turunkan.
Jadi pemutus hukum dengan selain apa yang diturunkan Allah adalah bukan sekedar thaghut, akan tetapi termasuk pentolan thaghut. Sedangkan iman kepada Allah tidak sah kecuali dengan kafir terhadap thaghut, lalu bagaimana mungkin Pemerintah NKRI ini dikatakan sebagai pemerintah muslim mukmin, sedangkan mereka bukan sekedar thaghut, akan tetapi salah satu tokohnya thaghut… maka mereka bukan hanya sekedar kafir, tapi amat sangat kafir!
C. Mereka merujuk kepada hukum thaghut, baik thaghut lokal, regional maupun internasional.
Disaat menghadapi masalah, masalah apa saja, maka pemerintah ini tidak merujuknya kepada hukum Allah, tapi kepada hukum thaghut yang bersifat lokal (seperti Undang Undang Dasar atau undang-undang atau yang lainnya), atau hukum-hukum regional, atau hukum-hukum yang ditetapkan oleh mahkamah Internasional PBB.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu ? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu…” (QS. An Nisa’: 60)
Sungguh, mereka tidak merujuk kepada Al Qur’an atau As Sunnah, akan tetapi merujuk kepada selainnya. Sedangkan dalam surat An Nisa: 60 tadi, Allah merasa heran atas klaim orang-orang yang mengaku telah beriman kepada Al Qur’an dan kitab-kitab Allah sebelumnya, orang-orang yang ketika punya masalah justru ingin berhakim (mengadukan urusan) kepada thaghut. Perhatikanlah, dalam ayat tersebut sekedar ingin berhukum kepada thaghut sudah Allah nafikan keimanannya, imannya dianggap sekedar klaim dan kebohongan belaka, maka apa gerangan dengan orang-orang yang benar-benar bersumpah untuk merujuk kepada hukum thaghut…?!
Pemerintah ini, ketika masuk PBB diwajibkan untuk berikrar setuju atas segala peraturan yang digariskannya, begitu juga ketika jajaran pemerintahan dewan legislatif, eksekutif, yudikatif terbentuk, setiap orang diwajibkan bersumpah setia untuk menjalankan hukum negara, inilah syahadat mereka! inilah bai’at mereka. Apakah di Negara ini ada bai’at untuk taat setia kepada Al Qur’an dan As Sunnah ? Tentu jawabannya tidak ada ! Maka dari itu setelah bai’at kepada Undang Undang Dasar selesai, mereka selalu mengacu kepadanya. Jika seorang Presiden misalnya menyimpang, maka DPR/MPR akan memprotesnya dan mengatakan: “Presiden telah melanggar Undang Undang Dasar atau undang-undang…” dan tidak akan mengatakan: “Presiden telah melanggar Al Qur’an ayat sekian…”. Andaikata seluruh isi Al Qur’an dilanggar pun, maka mereka tidak akan mempermasalahkannya, asal tidak melanggar “kitab hukum suci” mereka, yaitu Undang Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang berhakim dengan hukum Allah yang telah dihapus adalah kafir, beliau menyatakan: “Barangsiapa meninggalkan hukum yang muhkam (baku) yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi, dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum (Allah) yang sudah dihapus, maka dia kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang mengacu kepada Ilyasa (Yasiq) dan dia mendahulukannya daripada ajaran Allah, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Ilyasa adalah kitab hukum yang dibuat oleh Jenggis Khan raja Tartar. Kitab ini merupakan kumpulan yang sebagiannya diambil dari Taurat orang Yahudi, Injil orang Nashrani, Al Qur’an dan ajaran ahli bid’ah, ditambah dengan hasil buah fikirannya lalu dikodifikasikan menjadi sebuah kitab yang disebut Ilyasa atau Yasiq. Para ulama muslimin sepakat mengatakan bahwa siapa saja yang merujuk kepada kitab hukum ini, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin. Maka demikian pula dengan Yasiq ‘Ashri (Yasiq Modern), yaitu Undang Undang Dasar, KUHP, dan lain-lain, dimana hukum itu diambil dari orang-orang Nashrani (seperti orang Belanda dengan KUHPnya), dan ada juga dari Islam seperti dalam masalah pernikahan.
Jadi ternyata serupa, maka siapa saja yang merujuk pada Yasiq modern ini, maka iapun kafir dengan ijma kaum muslimin, sedangkan perujukan-perujukan ini telah dilakukan oleh pemerintah NKRI ini…!!
D. Mereka menganut sistem Demokrasi
Demokrasi berasal dari kata demos (rakyat) dan kratos (kedaulatan/kekuasaan). Sistem ini merupakan penyerahan hak hukum atau kedaulatan kepada rakyat. Sistem perwakilan yang ada di dalamnya memberikan hak ketuhanan kepada wakil rakyat yang duduk di parlemen untuk membuat, menetapkan dan memutuskan hukum.
Demokrasi merupakan salah satu bentuk perampasan hak khusus Allah dalam At Tasyri’ (pembuatan, penetapan dan pemutusan hukum atau undang-undang). Hak ini adalah hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala, hak khusus rububiyyah dan uluhiyyah Allah, hak khusus yang seharusnya disandarkan oleh makhluk hanya kepada Allah. Akan tetapi demokrasi merampasnya dan justeru hak itu diberikan kepada makhluk. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Hak memutuskan hukum itu hanyalah khusus kepunyaan Allah. Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah dien yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Yusuf: 40)
Firman-Nya: “Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia”, bermakna: Kalian diperintahkan untuk tidak menyandarkan hukum kecuali kepada Allah, karena Allah-lah yang berhak untuk membuat, menentukan, dan memutuskannya. Dan dalam ayat ini penyandaran hukum kepada Allah disebut ibadah. Sedangkan dalam demokrasi; hukum disandarkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya, maka demokrasi adalah sistem syirik, karena memalingkan ibadah penyandaran hukum kepada selain Allah.
Demokrasi adalah sistem syirik yang membangun pilar-pilarnya di atas sekularisme, di atas kebebasan; bebas meyakini apa saja walaupun pendapat syirik atau kekafiran sekalipun. Demokrasi tidak mewajibkan menusia untuk taat kepada ajaran Allah, tapi harus taat kepada kesepakatan rakyat, tatanan perundang-undangan yang berlaku, yang mana notabene adalah hukum buatan manusia.
E. Mereka memiliki ideologi/falsafah/asas/pedoman/petunjuk hidup/nafas bangsa, yaitu Pancasila.
Pancasila adalah dien, karena dien adalah jalan hidup, agama, aturan dan pedoman hidup, falsafah atau silahkan orang menyebutnya apa saja… tapi yang jelas Pansacila adalah dien. Ini singkat saja kita tinjau.
Dalam Pancasila dikatakan Ketuhanan Yang Maha Esa, akan tetapi kita tidak tahu siapa yang dimaksud, karena Pancasila mengakui berbagai agama dengan tuhan-tuhannya masing-masing yang beraneka ragam. Maka cukuplah falsafah ini menjadi sesuatu yang rancu bagi orang yang berakal.
F. Tawalliy (loyalitas penuh) kepada kaum musyrikin
Mereka loyal kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, tunduk kepada undang-undang internasional dan peraturan lainnya yang ada di dalam tubuh PBB. Apapun yang ditetapkannya maka otomatis diikuti. Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum muslimin untuk loyal kepada orang-orang kafir, Allah menyatakan dalam surat Al Maidah: 51:
“Siapa saja yang tawalliy di antara kalian terhadap mereka maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.”
G. Mereka memperolok-olok ajaran Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang segala bentuk kemungkaran, sedangkan pemerintahan Negara ini justru memberikan izin bagi beroperasinya tempat-tempat kemungkaran –dengan dalih tempat hiburan–, membiarkan berkembangnya media-media penebar kesyirikan, kekufuran, kerusakan dan kebejatan –dengan dalih kebebasan pers dan kebebasan berekspresi– dan lain-lain. Itu adalah beberapa perolok-olokan terhadap ajaran Allah, sedangkan memperolok-olok ajaran Allah adalah kekafiran. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 65-66).
Intinya, jelaslah bahwa Negara dan pemerintahan ini kekafirannya berlipat-lipat. Setiap negara yang tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak tunduk pada aturan Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, negara dzalim, negara fasiq dan negara jahiliyyah berdasarkan firman-firman Allah tersebut.
Khairul Ghazali menuturkan tafsir ulama tentang thaghut, akan tetapi tidak memahaminya dan justeru mencampakkannya dan malah bersikukuh dengan makna lughawiy saja sedangkan tafsir para ulama itu sangat jelas bahwa di antara thaghut itu adalah penguasa yang membuat hukum dan meninggalkan hukum Allah (Silahkan dirujuk ke bukunya di hal. 23-70). Namun dia menganggap penafsiran thaghut yang beragam itu sebagai bentuk perselisihan ulama, padahal bukan perselisihan, akan tetapi pemberian contoh thaghut yang beraneka ragam bentuknya, yang mana semuanya benar dan di antaranya adalah penguasa yang memberlakukan hukum buatan seperti pemerintah NKRI ini dimana Khairul Ghazali mati-matian mengkaburkan kekafirannya.
Kedua, Bantahan Terhadap Fitnah Dia Terhadap Saya Bahwa Saya Mengkafirkan Semua PNS dan Menganggap Semua PNS Itu Sebagai Thaghut.
Khairul Ghazali secara dusta dan mengada-ada menuduh saya telah mengkafirkan semua PNS dan menganggap mereka semua sebagai thaghut, dimana dia berkata di dalam beberapa tempat di bukunya, di antaranya:
1. Pada halaman 21, dalam catatan kaki dia berkata : “Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, pelaku tidak pidana terorisme yang divonis 9 tahun, dalam artikelnya yang berjudul Hukum Menjadi PNS, mengatakan dasar ditetapkannya pemerintah dan PNS sebagai thaghut adalah Sumpah Pegawai Negeri Sipil RI…”
2. Pada halaman 158 s/d 159, dia mengatakan: “Sekarang, gerakan takfir telah menggema kembali di tanah air. Beberapa gerakan dakwah yang mengusung “radikalisme Islam” telah secara terang-terangan mengatakan bahwa semua PNS telah murtad –dengan kata lain, batal keislamannya. Sedangkan semua orang yang bekerja di pemerintahan, semua pegawai negeri sipil, termasuk para guru adalah penyembah thaghut. Untuk lebih jelasnya statemen ini ada baiknya kita baca terlebih dahulu pemikiran salah satu pentolan tokoh radikal, Abu Sulaiman Aman Abdurrahman, dalam tulisannya yang berjudul “Pegawai Negeri Sipil Pemerintahan Thaghut.” Terus dia berkata: “PNS Dianggap Thaghut Oleh Abu Sulaiman Aman Abdurrahman.”
Maka saya katakan: Maha Suci Engkau Ya Allah… sungguh ini adalah dusta dan kebohongan Khairul Ghazali terhadap saya, karena pertama, saya tidak pernah mengkafirkan seluruh PNS sebagaimana yang dituduhkan oleh Khairul Ghazali, dan saya pun tidak pernah menyebut PNS sebagai thaghut dan itu hanyalah rekaan Khairul Ghazali saja agar masyarakat antipati dengan dakwah tauhid, juga saya tidak pernah membuat tulisan yang berjudul Hukum Menjadi PNS dan tulisan yang berjudul “Pegawai Negeri Sipil Pemerintahan Thaghut” tersebut di atas, namun yang saya tulis adalah tulisan berjudul Status Bekerja Di Dinas Pemerintah Thaghut dan tulisan yang berjudul Rincian Bekerja Di Dinas Pemerintahan Thaghut, sedangkan bila ada sebagian orang yang menampilkan tulisan-tulisan tersebut dengan judul yang berbeda dengan kedua judul yang saya tulis maka hal tersebut di luar sepengetahuan dan tanggung jawab saya. Dan di dalam kedua tulisan saya tersebut tidak ada pengkafiran terhadap semua PNS atau menyebutkan bahwa semua PNS adalah thaghut. Bahkan Khairul Ghazali sendiri menampilkan tulisan saya yang merinci status pekerjaan di dinas pemerintahan thaghut ini, di mana di dalamnya ada yang sifatnya pekerjaan yang merupakan kekafiran, ada juga yang merupakan sifatnya pekerjaan yang haram, dan ada juga yang mubah (boleh). Tapi kenapa dia menyimpulkan dengan kesimpulan yang sangat jauh dari apa yang telah diuraikan yang mana orang awam sekalipun bisa memahami rincian uraian dalam tulisan saya tersebut, namun dia entah karena pesanan BNPT atau karena kedunguannya kok tidak bisa memahami apa yang bisa dipahami orang awam sekalipun. Untuk supaya lebih jelas dan bisa dipahami sendiri oleh orang yang berakal, maka saya tampilkan kedua tulisan saya tersebut ditambah tulisan Syaikh Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy yang sudah saya terjemahkan perihal Rincian Status Bekerja di Dinas Pemerintah Thaghut Saudi.
Ikhwani fillah… materi kali ini adalah tentang status orang-orang atau dinas-dinas yang ada di pemerintahan thaghut ini. Apakah pekerjaan yang ada di semua dinas-dinas thaghut ini pekerjaan-pekerjaanya adalah kekafiran, ataukah ada rincian…?
Dalam masalah ini, ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya merupakan kekufuran, ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya dosa besar, dan ada pula pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya tidak masuk ke dalam dua kategori ini. Kita akan merincinya dan menyebutkan contoh-contohnya.
I. Pekerjaan yang Bersifat Kekafiran
Di antara pekerjaan atau dinas yang merupakan kekufuran adalah dinas yang mengandung salah salah satu di antara hal-hal berikut ini:
1. Dinas yang mengandung pembuatan hukum.
Orang yang membuat hukum atau dia bagian dari lembaga yang membuat hukum, maka pekerjaannya dan orang-orang yang tergabung di dalamnya adalah orang-orang kafir. Seperti orang-orang yang ada di lembaga legislatif dari kalangan anggota-anggota parlemen, karena di antara tugas parlemen itu adalah membuat hukum, maka pekerjaan ini adalah merupakan pekerjaan kekufuran dan orangnya adalah orang kafir. Adapun dalilnya adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu.” (QS. An Nisa: 60)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyebutkan bahwa orang yang membuat hukum yang dirujuk selain Allah disebut thaghut, orang yang merujuk kepada selain hukum Allah disebutkan dalam ayat itu bahwa imannya bohong dan hanya klaim, dan yang dirujuk tersebut, yaitu si pembuat hukum ini yang Allah katakan sebagai thaghut –maka seperti yang telah kita ketahui– adalah lebih kafir daripada orang kafir ‘biasa’.
Dan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat yang lain:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam, Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali mereka hanya menyembah Tuhan Yang Esa, tidak ada ilah (Tuhan yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah: 31).
Dalam ayat ini Allah memvonis orang Nashrani dengan lima vonis:
1. Mereka telah mempertuhankan para alim ulama dan para rahib
2. Mereka telah beribadah kepada selain Allah, yaitu kepada alim ulama dan para rahib
3. Mereka telah melanggar Laa ilaaha illallaah
4. Mereka telah menjadi musyrik
5. Para alim ulama dan para rahib itu telah memposisikan dirinya sebagi arbab.
Imam At Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan, bahwa ketika ayat ini dibacakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam di hadapan ‘Adiy ibnu Hatim (seorang shahabat yang asalnya Nashrani kemudian masuk Islam), ‘Adiy ibnu Hatim mendengar ayat-ayat ini dengan vonis-vonis tadi, maka ‘Adiy mengatakan: “Kami (orang-orang Nashrani) tidak pernah shalat atau sujud kepada alim ulama dan rahib (pendeta) kami”, Jadi maksudnya dalam benak orang-orang Nashrani adalah; kenapa Allah memvonis kami telah mempertuhankan mereka, atau apa bentuk penyekutuan atau penuhanan yang telah kami lakukan sehingga kami disebut telah beribadah kepada mereka padahal kami tidak pernah shalat atau sujud atau memohon-mohon kepada mereka? Maka Rasul mengatakan: “Bukankah mereka (alim ulama dan para rahib) menghalalkan apa yang Allah haramkan terus kalian ikut menghalalkannya, dan bukankah mereka telah mengharamkan apa yang Allah halalkan terus kalian ikut mengharamkannya?” Lalu ‘Adiy menjawab: “Ya”, Rasul berkata lagi: “Itulah bentuk peribadatan mereka (orang Nashrani) kepada mereka (alim ulama dan para rahib).”
Jadi bentuk peribadatan di sini adalah ketika alim ulama itu membuat hukum di samping hukum Allah, kemudian hukum tersebut diikuti dan ditaati oleh para pengikutnya, maka si alim ulama atau pendeta tersebut Allah Subhanahu Wa Ta’ala cap mereka sebagai Arbab atau sebagai orang yang memposisikan dirinya sebagai tuhan selain Allah, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagi pembuat hukum atau sebagai tuhan selain Allah, maka dia itu adalah orang kafir. Maka berarti pekerjaan ini adalah pekerjaan kekafiran.
Dan dalil yang lain adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Apakan mereka memiliki sekutu-sekutu yang menetapkan bagi mereka dari dien (hukum/ajaran) ini apa yang tidak Allah izinkan.” (QS. Asy Syuura: 21)
Dalam ayat ini Allah mencap para pembuat hukum selain Allah sebagai syuraka (sekutu-sekutu) yang diangkat oleh para pendukungnya sebagai sekutu Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sedangkan orang yang memposisikan dirinya sebagai sekutu bagi Allah adalah orang kafir.
Ini adalah pekerjaan pertama yang merupakan kekafiran; yaitu orang yang pekerjaannya adalah membuat hukum atau menggulirkan atau menggodok undang-undang, seperti para anggota dewan perwakilan dan yang serupa dengannya atau apapun namanya.
2. Pekerjaan yang tugasnya bersifat pemutusan dengan selain hukum Allah.
Orang yang pekerjaannya adalah memvonis dan menuntut dengan selain hukum Allah, seperti para jaksa dan hakim. Mereka menuntut dan memutuskan di persidangan, si jaksa yang menuntut dan si hakim yang memutuskan, sedangkan kedua-duanya adalah memutuskan dengan selain hukum Allah.
Pekerjaan semacam ini, pemutusan dengan selain hukum Allah ini merupakan pekerjaan kekafiran dan orangnya telah Allah cap secara tegas dan jelas sebagai orang kafir, zhalim, dan fasiq dalam satu surat:
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah: 47)
Sedangkan kita mengetahui bahwa para hakim dan para jaksa ketika memutuskan atau ketika menuntut mereka memutuskan dan menuntutnya dengan selain hukum Allah, yaitu dengan hukum jahiliyyah (hukum thaghut), maka pekerjaannya adalah pekerjaan kekafiran.
3. Pekerjaan yang bersifat nusrah (pembelaan/perlindungan) bagi sistem thaghut
Ini adalah sebagaimana yang sudah dijabarkan dalan materi Anshar Thaghut, seperti; tentara, polisi, atau badan-badan intilejen. Maka dzat dari pekerjaan ini adalah kekafiran karena mereka memberikan nushrah terhadap thaghutnya dan terhadap sistemnya itu sendiri, maka berarti ini pekerjaan kekafiran dan orangnya adalah sebagai orang kafir, sebagaimana yang Allah katakan dalam firman-Nya:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan (wali-wali) syaitan itu.” (QS. An Nisa: 76)
Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencap mereka sebagai orang kafir karena mereka berperang di jalan thaghut. Dan dalam surat yang lain Allah mengatakan:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: “Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kami pun akan keluar bersamamu; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.” Dan Allah bersaksi bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al Hasyr: 11)
Dalam ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala menetapkan ukhuwah kufriyyah antara orang munafiq dengan orang-orang Yahudi, padahal kita tahu bahwa orang munafiq dihukumi secara dunia sebagai orang muslim, akan tetapi ketika dia menampakkan kekafiran dengan cara membantu orang-orang Yahudi, maka Dia memvonis kafir mereka. Orang munafiq dalam ayat ini dihukumi kafir karena berjanji akan membantu orang Yahudi dalam memerangi Rasulullah, padahal janji mereka di hadapan orang Yahudi itu bohong, akan tetapi Allah memvonis mereka sebagai orang kafir karena menjanjikan akan melakukan kekafiran, yaitu membela orang Yahudi dalam memerangi Rasulullahshalallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga orang yang berjanji untuk melakukan kekafiran tapi janjinya bohong, maka tetap dia itu sebagai orang kafir.
Ini adalah dalil, bahwa membantu orang kafir di atas kekafiran adalah merupakan kekafiran dan orangnya adalah orang kafir. Oleh karena itu dinas yang bersifat pembelaan dan perlindungan bagi sistem thaghut merupakan dinas kekafiran dan pekerjaannya itu adalah pekerjaan yang membuat kafir pelakunya.
4. Setiap pekerjaan yang bersifat tawalliy kepada hukum thaghut.
Orang yang dzat pekerjaannya tawalliy (mencurahkan loyalitas) kepada sistem thaghut, yaitu melaksanakan hukum-hukum thaghut secara langsung, seperti aparat thaghut yang bekerja di departemen kehakiman, dinas mereka langsung tawalliy kepada hukum thaghut. Dinas seperti ini adalah dinas kekafiran.
Dan dinas yang seperti ini juga adalah kejaksaan. Atau orang bekerja di sekretariat gedung DPR/MPR, dimana dia yang mengatur program-program atau berbagai acara rapat atau sidang mejelis thaghut ini. Dia tawalliy penuh kepada sistem ini karena kegiatan-kegiatan angota DPR/MPR tidak akan terlaksana tanpa ada pengaturan dari mereka. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka.” (QS. Muhammad: 25-26).
Orang yang mengatakan kepada orang kafir atau thaghut “kami akan mentaati kalian dalam sebagian urusan kekafiran” telah Allah vonis kafir, sedangkan orang-orang yang tawalliy tadi, ternyata mereka justru mengikuti sepenuhnya kekafiran ini, mengikuti thaghut sepenuhnya dalam melaksanakan hukum-hukum kekafiran (hukum thaghut).
5. Orang yang bersumpah untuk loyal kepada thaghut (sistem/hukum/undang-undang)
Setiap orang yang bersumpah untuk loyal kepada undang-undang, apapun dinasnya, walaupun dia bekerja di dinas pendidikan umpamanya, atau dinas pertanian, atau dinas perhutanan, akan tetapi jika dia bersumpah untuk loyal kepada undang-undang atau kepada sistem thaghut, maka apapun bentuk pekerjaannya jika dia melakukan sumpah, maka dia kafir dengan sebab sumpahnya, bukan dengan sebab pekerjaannya.
Ini berbeda dengan dengan jenis pekerjaan yang sebelumnya, di mana yang menyebabkan kekafiran adalah dzat pekerjaannya, seperti anggota MPR/DPR, baik dia disumpah ataupun tidak maka dia tetap kafir, begitu juga hakim, jaksa, tentara, polisi, baik mereka bersumpah ataupun tidak, maka mereka tetap orang kafir.
Sedangkan di sini, orang menjadi kafir bukan dengan sebab dari sisi pekerjaannya, tapi dari sisi sumpahnya, apapun bentuk dinasnya selama ada sumpah untuk loyal kepada hukum thaghut maka dia kafir. Jika saja Allah memvonis murtad orang yang menyatakan akan taat, setia dan akan mengikuti hanya dalam sebagian kekafiran, maka apa gerangan dengan orang yang menyatakan dalam sumpahnya; kami akan setia dan taat sepenuhnya kepada Undang Undang Dasar atau Pancasila atau kepada Negara Kafir Republik Indonesia…?! ini lebih kafir daripada orang yang Allah vonis murtad dalam surat Muhammad tadi. Jika saja mengikuti sebagiannya saja Allah vonis murtad, maka apa gerangan dengan orang yang mengatakan akan setia dan mengikuti sepenuhnya…?!!
Ini adalah di antara pekerjaan-pekerjaan atau dinas-dinas yang Allah vonis kafir pelakunya, dan pekerjaan ini merupakan pekerjaan kekafiran di dinas thaghut tadi.
II. Pekerjaan yang Bersifat Keharaman
Jika pekerjaan selainnya yang tidak ada kelima unsur tadi; tidak ada pembuatan hukum, tidak ada pemutusan dengan selain hukum Allah, tidak ada pembelaan atau tidak ada tawalliy, tidak ada janji setia kepada hukum thaghut, maka dinas-dinas yang tidak ada kelima unsur tadi harus dilihat apakah dinas tersebut dinas kezhaliman yang merupakan keharaman ataukah bukan (dinas yang mubah).
Apabila dinas tersebut adalah dinas keharaman lalu tidak ada lima hal tadi, seperti di perpajakan atau bea cukai atau keimigrasian yang merupakan kezhaliman, atau di bank-bank riba, maka ini adalah pekerjaan-pekerjaan yang haram. Ini bukan pekerjaan kekafiran kecuali kalau ada sumpah.
Orang yang bekerja sebagai PNS di bea cukai, dzat pekerjaannya adalah haram karena kezhaliman, dan jika ada sumpah maka dia kafir dari sisi sumpahnya, jika tidak ada sumpah, maka pekerjaannya itu adalah pekerjaannya saja yang haram.
III. Pekerjaan yang Mubah
Seandainya tidak ada kelima hal tadi, terus pekerjaannya juga bukan pekerjaan yang haram, maka itu adalah pekerjaan yang mubah (yang boleh-boleh saja) seperti di dinas kesehatan, di pertanian, di kelautan, atau dinas-dinas yang bukan merupakan kekufuran dan bukan merupakan keharaman.
Para ulama mengatakan bahwa jika dinas tersebut milik thaghut maka minimal hukumnya makruh, tidak dikatakan mubah karena minimal dia dekat dengan thaghut. Hukumnya makruh tapi dengan syarat dia tetap menampakkan keyakinannya. Dalil dalam hal itu adalah hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahih-nya pada Kitab Al Ijarah bab: “Apakah seseorang boleh mengupahkan dirinya bekerja pada orang musyrik di negeri harbiy”: Dari Khabab radliyallahu ‘anhu, berkata: “Saya adalah pandai besi, kemudian saya bekerja untuk Al ‘Ash Ibnu Wail, sehingga terkumpul hak upah saya di sisinya, kemudian saya mendatanginya untuk meminta upah itu darinya”, maka ia (Al ‘Ash ibnu Wail) berkata: “Tidak, demi Allah. Saya tidak akan membayar upahmu sampai kamu kafir kepada Muhammad!”, maka saya berkata: “Demi Allah, tidak akan saya lakukan sampai kamu mati kemudian dibangkitkan sekalipun”, ia berkata: “Apa saya akan mati kemudian dibangkitkan ?”, saya berkata: “Ya !”, dan ia berkata: “Ya, berarti di sana saya akan memiliki harta dan anak, kamudian saya akan membayar upahmu.”
Di sini Khabab menampakkan keyakinannya. Jadi dalam dinas-dinas seperti kesehatan dan yang lainnya yang sifatnya mubah-mubah saja dengan syarat tetap menampakkan keyakinan di tengah mereka, karena jika tidak menampakkan, maka ia berdosa karena dia meninggalkan hal yang wajib yaitu izhharuddin hanya karena mencari pekerjaan yang bersifat dunia ini. Akan tetapi jika seandainya dinas-dinas yang mubah ini di dalamnya ada sumpahnya, maka dia kafir karena sebab sumpahnya bukan karena dzat pekerjaannya.
Dan yang harus dikertahui juga adalah jika dia bekerja di dinas-dinas yang mubah tadi lalu dia sebelumnya bersumpah, maka dia kafir karena sumpahnya, karena secara hukum thaghut ketika diangkat menjadi PNS, maka dia diambil sumpahnya sesuai dengan undang-undang yang berlaku di dinas kepegawaian yaitu bahwa semua PNS di Indonesia ini harus bersumpah ikrar setia[3].
Berdasarkan hukum thaghut, PNS harus disumpah, akan tetapi antara disumpah atau tidak dalam praktiknya, maka itu urusan dia dengan dengan Allah, jika kita tidak tahu apakah dia itu mengikrarkan sumpah atau tidak, maka dia tidak bisa dikafirkan, karena dzat pekerjaannya bukan pekerjaan kekufuran, kecuali bila kita mendengar saksi dari dua orang laki-laki muslim yang adil atau pengakuan dari dia langsung, maka kita nasihati agar dia berlepas diri dari sumpahnya.
Ini berbeda dengan tentara atau polisi atau aparat lainnya dimana kita bisa langsung mengkafirkan mereka, juga seperti anggota MPR/DPR karena dzat pekerjaannya merupakan kekafiran, kita tidak bisa menghukuminya sebagai orang muslim sampai dia keluar dari pekerjannya dan melepaskan segala atribut pekerjaannya.
Jika orang bekerja di dinas-dinas keharaman atau yang mubah tadi, lalu dia pernah bersumpah dan setelah kita nasihati, lalu dia menyatakan keberlepasan diri dari sumpahnya, dia bertaubat dari sumpah kekufurannya, dia ikrarkan dua kalimah syahadat, maka dia dihukumi sebagai orang muslim, walaupun dia tidak keluar daripada kedinasannya, karena kekafirannya disebabkan oleh sumpahnya, bukan karena dinasnya.
Jadi, di sini dibedakan antara kekafiran yang disebabkan oleh dzat pekerjaannya dengan kekafiran yang diakibatkan oleh sumpah untuk setia dan loyal kepada thaghut.
Dalam realita masyarakat banyak terdapat PNS, tetapi kita tidak mengetahui secara individu dari mereka apakah si fulan ini sumpah ataukah tidak, maka kita tidak bisa mengkafirkannya meskipun pada hakikat sebenarnya dia itu telah bersumpah, karena yang mengetahui dia mengikrarkan sumpah atau tidak hanyalah Allah, sedangkan kita tidak tahu. Bila kita melihat dzat pekerjaannya bukan kekufuran, maka dia tidak boleh dikafirkan, karena kita menghukumi secara zhahir sedangkan urusan bathin maka itu urusan Allah.
Kemudian, bagi orang yang telah bekerja di dinas kekafiran akan tetapi dia sudah pensiun atau sudah berhenti dari pekerjaannya, baik berhentinya karena dipecat atau karena mengundurkan diri atau karena selesai masa jabatannya, maka bagi orang-orang semacam ini; maka selama dia menampakkan keislaman, lalu tidak muncul dari sikap atau dari ucapan dia hal-hal yang menunjukkan bahwa dia itu masih menginginkan perbuatannya itu atau masih membanggakannya atau membolehkannya atau menganjurkan agar orang masuk ke dalamnya, maka orang seperti itu kita hukumi secara dunia dia itu muslim, sedangkan masalah bathinnya itu urusan dia dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Demikianlah bagaimana menyikapi orang-orang semacam itu, karena ketika kita mengkafirkan orang-orang yang bekerja di dinas-dinas kekafiran adalah karena pekerjaannya, jika dia sudah berhenti dan meninggalkan pekerjaannya apapun faktor yang membuat dia berhenti, maka apabila tidak muncul dari ucapannya atau perbuatannya hal-hal yang menunjukan bahwa dia masih menginginkannya atau membanggakannya dan dia menampakkan keislaman, maka dia dihukumi muslim kembali secara hukum dunia, adapun masalah bathinnya maka perhitungannya itu di sisi Allah. Ini sebagaimana dalam hadits dari Imam Muslim yang diriwayatkan dari Abu Malik Al Asyja’iy: “Barangsiapa yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah dan dia kafir terhadap segala sesuatu yang diibadati selain Allah, maka haramlah darah dan hartanya, sedangkan perhitungannya atas Allah Ta’ala”, karena kadar minimal adalah meninggalkannya.
Ini adalah materi tentang status pekerjaan-pekerjaan yang ada di dinas-dinas pemerintahan thaghut ini. Yang mana di antaranya ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya merupakan kekufuran, dan ada pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya dosa besar, dan ada pekerjaan yang sifatnya tidak masuk ke dalam dua kategori ini atau pekerjaan ini bersifat mubah.
Dan terakhir, ketika para shahabat memperlakukan keluarga atau anak isteri anshar thaghut, seperti kelompok Musailamah Al Kadzdzab adalah sebagai orang kafir. Mungkin ada pertanyaan kenapa kita sekarang tidak memperlakukan anak isteri anshar thaghut ini sebagai orang kafir…?. Ini karena bahwa anak isteri anshar thaghut bisa dikatakan kafir bila dalam konteks muwajahah (konfrontasi) antara kelompok Islam dengan kelompok kafir, itu juga dengan dua syarat: Pertama, kaum muslimin memiliki kekuatan dan mendominasi penuh terhadap orang kafir tersebut. Kedua, ada kemungkinan untuk bergabung kepada kelompok Islam tersebut.
Dikarenakan pada waktu itu kekuatan kaum muslimin sangat mendominasi, maka seandainya mereka (keluarga anshar thaghut) mau membelot, mereka bisa bergabung dengan kaum muslimin, dan ketika mereka tidak melakukannya di mana waktu itu dalam konteks sedang muwajahah, maka mereka dihukumi kafir murtad. Sebagaimana Rasulullah sebelumnya saat Futuh Mekkah, maka orang yang ada di kota Mekkah semuanya diperlakukan sebagai orang kafir. Saat itu kekuatan kaum muslimin berada di atas kekuatan orang kafir, dan orang yang mengaku muslim yang ada di tengah mereka bisa bergabung dengan kaum muslimin jika mau. Dan ketika tidak bergabung maka dihukumi kafir oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Berbeda halnya jika dua syarat ini atau salah satu dari syarat ini tidak terpenuhi seperti saat sekarang ini dimana kaum muslimin tidak memiliki kekuatan dan tidak memiliki dominasi, maka dari itu kita tidak mengkafirkan anak isteri anshar tahghut, dan ini seperti isteri Fir’aun, dimana Allah mengatakan tentangnya dalam surat At Tahrim bahwa isteri Fir’aun adalah seorang mu’minah. Kenapa mu’minah? Kenapa tidak dihukumi seperti isteri Musailamah umpamanya? Karena kaum muslimin pada saat itu (yang dipimpin Nabi Musa) tidak memiliki dar (wilayah) dan tidak mendominasi kekuatannya sehingga ia tidak bisa membelot atau bergabung dengan kaum Nabi Musa.
Jadi jika dua syarat ini tidak terpenuhi, maka kita memperlakukan orang yang menampakkan keislaman di tengah orang-orang kafir sebagai orang muslim. Orang muslim dimana saja adalah orang muslim, baik itu di darul harbiy ataupun di darul Islam.
Alhamdulillaahirrabbil’aalamiin…
Judul kedua:
RINCIAN BEKERJA DI DINAS PEMERINTAHAN THAGHUT
Sesungguhnya bekerja di dinas milik pemerintahan thaghut adalah ada rincian sebagaimana berikut ini:
<1>. Setiap pekerjaan yang merupakan pembuatan hukum, pemutusan dengan hukum buatan, pembelaan kepada thaghut atau sistemnya, mengikuti atau menyetujui sistem thaghut, ada syarat sumpah atau janji setia kepada thaghut atau sistemnya, maka semua ini adalah KEKAFIRAN.
A. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMBUATAN HUKUM
Pembuatan hukum adalah hak khusus Rububiyyah Alllah Ta’ala karena Dia adalah yang menciptakan maka hanya Dia-lah dzat yang berhak menentukan hukum bagi ciptaan-Nya, Dia Ta’ala berfirman:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah…” (QS. Al A’raf: 54)
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah…” (QS. Al An’am: 57)
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia…” (QS. Yusuf: 40)
“Menetapkan hukum itu hanya hak Allah…” (QS. Yusuf: 67)
Allah Ta’ala tidak menyertakan satu makhluk pun di dalam hak khusus pembuatan hukum ini baik itu malaikat ataupun para nabi, karena hanya Dia-lah dzat yang menciptakan:
“Dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum” (QS. Al Kahfi: 26)
Dan di dalam qira-ah Ibnu Amir yang mutawatir dibaca:
“Dan janganlah kamu mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum.” (QS. Al Kahfi: 26)
“Dan Rabbmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha Suci Allah dan Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia). Dan Tuhan mu mengetahui apa yang disembunyikan (dalam) dada mereka dan apa yang mereka nyatakan. Dan Dia-lah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, bagi-Nya lah Segala Puji di dunia dan di akhirat, dan bagi-Nya lah Segala Penentuan Hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash: 68-70)
“Dan bagi-Nya lah segala penetuan hukum dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. Al Qashash: 88)
Serta ayat-ayat muhkamat lainnya yang menjelaskan bahwa penetuan hukum baik hukum kauniy mapun hukum syar’i adalah hak khusus Allah ta’ala yang bila sebagiannya disandarkan atau dipalingkan kepada selain-Nya maka itu berarti bentuk penyekutuan terhadap-Nya, bentuk pengangkatan tuhan selain-Nya dan bentuk pengangkatan tandingan bagi-Nya, sedangkan itu adalah kekafiran.
“Namun orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka” (QS. Al An’am: 1)
Bila orang yang menyandarkan hak tersebut kepada selain Allah Ta’ala adalah divonis MUSYRIK lagi KAFIR, maka bagaimana halnya dengan orang yang mengakui hak pembuatan hukum itu ada pada dirinya atau kelompoknya atau lembaganya, maka tidak ragu lagi bahwa orang semacam ini lebih KAFIR LAGI karena mengakui dirinya tuhan, walaupun dia tidak membuat hukum, sebagaimana yang diklaim oleh lembaga-lembaga legislatif dengan semua tingkatannya dan para anggota di dalamnya yang diberi kewenangan pembuatan UUD atau UU seperti yang tertuang di dalam UUD 1945.
“Dan barangsiapa di antara mereka mengatakan: “sesungguhnya aku adalah tuhan selain daripada Allah”, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.” (QS. Al Anbiya: 29)
Kami adalah para anggota legislatif yang berwenang membuat UU makna artinya kami adalah tuhan-tuhan selain Allah. Orang-orang semacam ini lebih KAFIR daripada para nabi palsu seperti Musailamah Al Kadzdzab dan yang lainnya.
Para pembuat hukum dan UU itu telah divonis dengan berbagai vonis yaitu: arbab, wali-wali syaitan, sekutu-sekutu yang disembah, thaghut dan aulia (pemimpin-pemimpin) kesesatan, serta orang-orang bodoh.
“Mereka menjadikan orang-orang ‘alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (QS. At Taubah: 31)
Bentuk pentuhanan diri yang dilakukan ‘alim ‘ulama dan para rahib di sini adalah pembuatan hukum yang mereka lakukan, dimana RasulullahShallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata dalam hadits hasan perihal tafsir ayat ini kepada Adiy ibnu Hatim radliyallahu ‘anhu “Bukankah mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan kemudian kalian (ikut) menghalalkannya, dan mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan kemudian kalian (ikut) mengharamkannya?” Adiy menjawab: “Ya”, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaih Wa Sallam berkata: “Maka itulah peribadatan kepada mereka.”
Dan itu adalah yang dilakukan para legislatif dan pejabat tertentu yang diberikan kewenangan pembuatan hukum dan UU. Jadi setiap person para anggota legislatif adalah MUSYRIK KAFIR lagi dipertuhankan selain Allah ta’ala, dan MURTAD bila asalnya muslim dan bila mengatasnamakan ajaran maka dia itu orang yang mengada-ada kebohongan terhadap Allah ta’ala.
“Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mengada-adakan kedustaan terhadap Allah atau mendustakan yang hak tatkala yang hak itu datang kepadanya? Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang kafir?” (QS. Al ‘Ankabut: 68)
Mereka juga divonis sebagai wali-wali syaithan, sebagaimana firman Allahta’ala:
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah kefasiqan. Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.” (QS. Al An’am: 121)
Ayat ini di antaranya berkaitan dengan perdebatan anatara Aulia Ar Rahman dengan Aulia Asy Syaithan (kafirin Quraisy), dimana orang-orang kafir menghalalkan bangkai dan mendebat kaum muslimin agar ikut menghalalkannya, Al Hakim meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma bahwa mereka berkata: “Apa yang disembelih Allah maka kalian tidak memakannya, sedang yang kalian sembelih maka kalian memakananya; maka Alllah menurunkan… Sesungguhnya syaithan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar membantah kamu…” Di sini hanya satu hukum saja yaitu penghalalan bangkai, namun Allah ta’ala memvonis orang yang menurutinya sebagai orang musyrik, dan pembuatnya sebagai wali (kawan) syaithan, dan hukum itu sebagai wahyu (bisikan) syaithan.
Sedangkan yang dilakukan para anggota legislatif adalah lebih dari itu; penghalalan (pembolehan atau peniadaan sangsi) yang haram, pengharaman (penetapan sebagai kejahatan dan tindak pidana atau penetapan sangsi) hal yang halal, dan pembuatan ketentuan-ketentuan yang menyelisihi syari’at Allah ta’ala, maka mereka itu adalah wali-wali syaithan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang dikala menghalalkan suatu yang haram yang telah diijma’kan atau mengharamkan suatu yang halal yang sudah diijma’kan atau mengganti aturan yang sudah diijma’kan, maka dia itu kafir lagi murtad dengan kesepakatan para fuqaha.” (Majmu Al Fatawa)
Mereka juga adalah syuraka (sekutu-sekutu) yang disembah selain Allah sebagaimana firman Nya ta’ala:
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien yang tidak diijinkan Allah.” (QS. Asy Syura: 21)
Sedangkan di antara makna Dien adalah hukum atau UU, sebagaimana firman Nya ta’ala:
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut dien (UU) raja” (QS. Yusuf: 76)
Jadi para pembuat hukum atau UU itu adalah yang disembah selain Allah ta’ala dengan ketaatan para aparat penegak hukum kepada hukum buatan mereka itu “…dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik…” (QS. Al An’am: 121) ”…mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah…” (QS. At Taubah: 31) berikut tafsir hadits bahwa ibadah di ayat ini adalah ketaatan kepada hukum buatan mereka, sedangkan ketaatan atau kekomitmenan merujuk kepada hukum selain Allah ta’ala adalah ibadah kepada si pembuat hukum itu.
Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah berkata: “Bahwa setiap orang yang itiba’ (mengikuti) aturan, UU dan hukum yang menyelisihi apa yang Allah ta’ala syari’atkan lewat lisan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia itu musyrik kepada Allah, kafir lagi menjadikan yang diikutinya itu sebagai tuhan.” (Risalah Al Hakimiyah Fi Tafsir Adlwail Bayan), dan beliau berkata juga: “Penyekutuan di dalam hukum adalah sama seperti penyekutuan di dalam ibadah.”
Syaikh Hamd Ibnu ‘Atiq rahimahullah berkata: “Ulama telah ijma’ bahwa barang siapa memalingkan sesuatu dari dua macam doa kepada selain Allah maka dia itu musyrik meskipun mengucapkan laa ilaaha illallah, dia shalat dan shaum serta mengaku muslim.” (Ibthalut Tandid: 76). Dua doa disini adalah doa ibadah dan doa mas-alah (permintaan), sedangkan penyandaran ketaatan adalah termasuk doa ibadah. Itu orang yang menyandarkan, maka bagaimana halnya dengan orang yang menerima penyandaran ibadah dan mengajak manusia kepadanya seperti para anggota legislatif itu…! Sungguh mereka lebih kafir dari Musailamah dan Mirza Ghulam Ahmad serta para pengaku nabi lainnya. Mereka juga adalah thaghut sebagaimana firman Nya ta’ala:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk kafir kepada thaghut itu. Dan syaithan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An Nisa: 60)
Thaghut di dalam ayat ini di antaranya adalah para pembuat hukum, Syaikh Muhammad At Tamimi rahimahullah berkata perihal tokoh para thaghut yang kedua: ”Penguasa yang aniaya dan merubah aturan-aturan Allah” (Risalah Fi Ma’na Thaghut di dalam Majmu’ah At Tauhid). Jadi semua anggota legislatif itu adalah thaghut yang diibadati, sama seperti patung-patung yang dipajang di candi Borobudur, bila patung-patung itu diibadahi dengan doa, sesajian dan ritual lainnya, maka berhala-berhala berdasi di biara parlemen dan gedung dewan itu diibadati dengan ditaati hukum hasil buatannya…
“manakah yang lebih baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” (QS. Yusuf: 29).
Mana yang lebih baik, hukum yang diturunkan Allah ta’ala yang mengetahui segalanya ataukah hukum buatan orang-orang kafir dan murtad yang memiliki aneka macam kepentingan dan selalu ditemani syaithan…?
Mereka juga divonis sebagai pemimpin-pemimpin kesesatan sebagaimana firman-Nya:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah mengikuti aulia (pemimpin-pemimpin) selain-Nya.” (QS. Al A’raf: 3)
Apa yang digulirkan oleh para anggota legislatif itu jelas bukan apa yang Allah turunkan, sehingga mereka itu adalah para pemimpin kesesatan dan kekafiran yang mengajak manusia kepada hukum (dien) mereka yang zalim seluruhnya walaupun mereka menyebutnya sebagai keadilan, karena syirik adalah kezaliman yang sangat besar, sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar“(QS. Luqman: 13)
Mereka juga divonis sebagai orang-orang bodoh, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al Jatsiyah: 18)
Jadi para anggota legislatif itu adalah orang-orang yang tidak mengetahui alias orang bodoh, karena semua orang kafir pada hakikatnya adalah orang-orang yang bodoh, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Katakanlah: “Maka apakah kamu menyuruh aku menyembah selain Allah hai orang-orang yang bodoh…?” (QS. Az Zumar: 64),
Ini karena:
“Mereka mempunyai hati, tapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunya mata (tapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Alla). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi.” (QS. Al A’raf: 179)
Itulah vonis-vonis Allah ta’ala bagi para anggota legislatif (MPR, DPR, DPRD dan yang serupa itu) dan bagi para pembuat hukum atau UU dan para pengklaim memiliki kewenangan itu walau tidak membuat. Maka masih adakah yang meragukan kekafiran mereka…? atau adakah orang yang memberi udzur sebagian mereka dengan udzur takwil atau ijtihad dan yang serupa itu padahal dia tidak mengudzur yang kekafirannya di bawah kekafiran para pengaku tuhan itu…?
Sungguh tidak ada yang meragukan kekafiran mereka kecuali orang kafir seperti mereka atau para penganut paham bid’ah yang berpijak di atas syubhat, atau katak dalam tempurung yang tidak mengetahui realita yang terjadi di sekitarnya
B. PEKERJAAN YANG MERUPAKAN PEMUTUSAN DENGAN HUKUM BUATAN
Pekerjaan pemutusan dengan selain hukum Allah ta’ala yang merupakan pekerjaan para yudikatif dan eksekutif, yaitu seperti para hakim, para jaksa dan para pejabat adalah pekerjaan kekafiran dengan sendirinya. Selain mereka memutuskan dengan hukum thaghut, mereka juga sudah pasti tahakum (merujuk hukum) kepada hukum thaghut yang menjadi sandarannya, sedangkan masing-masing dari keduanya merupakan kufur akbar.
“…Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al Maidah: 44)
“…Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah: 45)
“Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Maidah: 47)
Ayat-ayat ini dengan rentetan ayat sebelumnya adalah berkaitan dengan orang yang meninggalkan hukum Allah ta’ala dan malah merujuk kepada hukum tandingan yang mereka sepakati sebagai rujukan. Al Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari Al Bara ibnu ‘Azib radliyallahu’anhu berkata: “Dilewatkan kepada Nabi salallahu ‘alaihi wa sallam seorang Yahudi yang wajahnya dipoles hitam lagi didera, maka beliau memanggil mereka dan berkata: “Seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, mereka berkata: “ya”, maka beliau memanggil seorang dari ulama mereka, terus berkata: “Saya ingatkan kamu dengan Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, seperti ini kalian mendapatkan had pezina di kitab kalian?”, maka dia berkata: “Tidak, demi Allah, seandainya kamu tidak mengingatkan saya dengan hal ini tentu saya tidak mengabarkan kepadamu. Kami mendapatkan had pezina di kitab kami itu rajam, namun tatkala hal itu banyak di kalangan para bangsawan kami, maka kami bila seorang bangsawan berzina kami pun membiarkannya, dan bila orang lemah berzina maka kami tegakkan had itu kepadanya. Kemudian kami berkata: “Mari kita sepakati agar kita menjadikan sesuatu (hukuman) yang kita tegakkan terhadap bangsawan dan orang papa”, maka kami pun sepakat terhadap tahmim (pemolesan wajah dengan warna hitam) dan dera.”
Di sini mereka tidak menghapus hukum Allah ta’ala yang ada di dalam Taurat dan mereka juga tidak menghalalkan zina, namun mereka menyepakati hukum lain yang diterapkan di tengah mereka. Dan orang-orang yang memutuskan dengan hukum buatan pada zaman ini juga sama seperti mereka, sehingga vonis yang diterapkan kepada orang-orang itu juga sama dengan yang disematkan kepada mereka “…maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”, dan ulama sepakat bahwa gambaran yang sama dengan sebab turun ayat adalah masuk secara qath’iy di dalam hukum yang ada di ayat itu.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Barangsiapa meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad ibnu Abdillah penutup para nabi dan dia malah merujuk hukum kepada hukum-hukum yang sudah dinaskh (dihapus), maka dia telah kafir. Maka bagaimana gerangan dengan orang yang merujuk hukum kepada Alyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya terhadap (aturan Muhammad) itu, maka dia kafir berdasarkan ijma kaum muslimin.” (Al Bidayah Wan Nihayah: 13/119).
Sedangkan Alyasa (Yasiq) itu adalah kitab hukum yang disusun oleh Jengish Khan yang diambil dari gabungan hukum Islam, Yahudi, Nasrani, ahli bid’ah dan pikiran dia sendiri, sama seperti yang dibuat oleh pemerintahan thaghut negeri ini dimana mereka merangkum dari Islam (dipakai di Pengadilan Agama yang disebut akhwal syakhshiyyah kaitan dengan nikah, cerai dan warisan), dari Yahudi dan Nasrani (seperti KUHP dan yang lainnya sisa penjajahan Belanda dan dipakai sekarang oleh penjajah lokal) dan dari buah pikiran para arbab di parlemen atau di lembaga lainnya, yang semua tidak terlepas dari batasan Yasiq terbesarnya yaitu UUD 1945 yang sering ditambal sulam.
Pemerintah, pejabat, hakim dan jaksa semuanya meninggalkan ajaran Allah ta’ala dan malah memutuskan dan merujuk kepada Yasiq modern, maka mereka kafir dengan ijma’ kaum muslimin, bahkan mereka itu salah satu tokoh thaghut, sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah bahwa diantara tokoh para thaghut yang ketiga: Yang memutuskan dengan selain apa yang Allah turunkan, dan dalilnya adalah firman-Nya ta’ala: “Barangsiapa yang tidak memutuskan dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir” (Risalah Fi Ma’na Thaghut, Majmu’ah At Tauhid). Vonis ini walaupun dalam satu hukum saja, seperti dalam sebab nuzul ayat itu.
C. PEKERJAAN YANG SIFATNYA PEMBELAAN KEPADA THAGHUT ATAU SISTEMNYA
Dan ini biasa para pelakunya dinamakan Anshar Thgahut seperti Tentara, Polisi, Intilejen dan yang lainnya yang bertugas mengokohkan thaghut atau sistemnya atau kedua-duanya baik dengan lisan maupun dengan fisik dan senjata. Thaghut atau sistemnya tidak akan kokoh dan tidak bisa berbuat apa-apa tanpa anshar yang membelanya, melindunginya dan selalu siap siaga berperang di jalannya. Oleh sebab itu Allah menamakan anshar thaghut (bala tentaranya) bagai pasak, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Dan Fir’aun yang memiliki pasak-pasak (tentara yang banyak) yang berbuat sewenang-wenang dalam negeri, lalu mereka membuat banyak kerusakan dalam negeri itu.” (QS. Al Fajr: 10-12)
Oleh sebab itu sanksi dunia dan akhirat pun sama-sama didapatkan oleh thaghut dan pembantunya berikut ansharnya sebagaiman firman-Nya ta’ala:
“Maka Kami siksa dia (Fir’aun) dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut.” (QS. Adz Dzariyat: 40),
dan firman-Nya ta’ala:
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.” (QS. Al- Qashash: 8),
dan firman-Nya ta’ala:
“Maka Kami hukumlah Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim. Dan Kami jadikan mereka pemimpin-pemimpin yang menyeru (manusia) ke neraka dan pada hari kiamat mereka tidak akan ditolong.” (QS. Al- Qashash: 40-41).
Anshar Thaghut itu ada dua:
1. Orang atau dinas yang membela thaghut dengan fisik dan senjata seperti tentara, polisi, intelijen, dan yang lainnya yang dibentuk dan dipersiapkan untuk itu.
2. Orang atau dinas yang membela thaghut atau sistemnya dengan lisan atau tulisan, baik itu wartawan atau para cendikiawan dan juga para ulama atau du’at suu’ yang menetapkan keabsahan pemerintahan thaghut ini dan mencap kaum muslimin yang berjihad melawannya sebagai para pembangkang atau khawarij. Dan sikap para ulama dan du’at suu’ ini lebih berbahaya daripada sikap tentara dan polisi terhadap umat, karena mereka berbicara atas Nama Allah ta’ala dalam membela para thaghut itu di hadapan umat, sedangkan tentara dan polisi bertindak atas dasar dunia (gaji dan pensiun). Adapun dalil-dalil perihal kekafiran anshar thaghut ini maka dari Al Qur’an, As Sunnah dan ijma.
Allah ta’ala berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang kafir berperang di jalan Thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan setan itu. (QS. An Nisa’: 76).
Nash yang tegas menyatakan bahwa orang yang beperang di jalan thaghut adalah orang-orang kafir.
”Katakanlah: barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkan (Al-Qur’an) kedalam hatimu dengan seijin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman. Barangsiapa yang menjadi musuh Allah, malaikat-malaikatNya, Rasul-rasulNya, Jibril dan Mikail maka sesungguhnya Allah adalah musuh orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 97-98).
Al Imam Ahmad, At Tirmidzi, dan An Nasai, meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas radliyallahu’anhuma bahwa orang-orang Yahudi bertanya kepada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Kabarkanlah kepada kami siapa kawanmu?”, beliau menjawab: “Jibril”. Mereka berkata: “Jibril itu yang turun dengan (membawa) pertempuran, peperangan dan azab, musuh kami? Andaikata kamu mengatakan Mikail yang turun dengan rahmat, tanaman dan hujan tentu ia lebih baik”, maka turun ayat di atas.
Orang yang memusuhi Jibril yang merupakan salah satu utusan Allah ta’ala dari kalangan malaikat, maka dia adalah musuh bagi Allah, malaikat-malaikat-Nya dan semua rasul-Nya, dan dia itu divonis kafir oleh Allah ta’ala. Dan begitu juga orang yang memusuhi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu adalah musuh bagi Allah, semua malaikat dan semua rasul, dan dia itu adalah orang kafir.
Sedangkan bentuk permusuhan terhadap Allah ta’ala dan Rasul-Nya macam apa yang lebih dahsyat dari sikap thaghut dan ansharnya yang mencampakkan hukum Allah ta’ala, menjunjung tinggi hukum syaitan, meninggikan orang-orang kafir dan orang-orang murtad serta orang-orang bejat dan mereka malah mempersulit orang-orang yang bertauhid, memenjarakan dan membunuhi mereka, melapangkan jalan bagi setiap perusak ajaran Allah ta’ala dan membatasi gerakan para penyeru tauhid, mematikan tauhid dan menghidupkan syirik dan kerusakan…?!!
Dan anshar thaghut adalah dipersiapkan untuk menjaga keamanan sistem kafir dan mempertahankan negara kafir dari setiap upaya yang ingin merubahnya dengan sistem yang diturunkan Allah ta’ala, oleh sebab itu mereka adalah kafir baik berperang melawan kaum muwahhidin ataupun bukan, karena sikap mereka tawalliy (loyalitas yang megeluarkan dari Islam) kepada syirik, dan bila memerangi muwahhidin maka mereka menggabungkan antara tawalliy kepada syirik dengan tawalliy kepada orang-orang musyrik.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (QS. Al Hasyr: 11).
Allah ta’ala mempertalikan ukhuwah kufuriyyah (persaudaraan kekafiran) antara orang orang munafik yang dhahirnya Islam dengan orang orang Yahudi, yaitu Allah ta’ala menvonis mereka kafir, dengan sebab janji mereka untuk membantu orang orang Yahudi itu bila diserang kaum muslimin, padahal janji mereka itu dusta, maka bagaimana halnya dengan orang orang yang secara rutin berikrar janji dan sumpah untuk membela thaghut dan sistemnya bila ada rongrongan musuh (yang di antaranya mujahidin muwahhidin), dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil dan mereka sebelumnya bersaing untuk masuk dalam barisan itu ?. Bukankah itu realita tentara dan polisi serta yang serupa itu di negeri ini?, janganlah ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Andai tidak ada janji dan sumpah itu, tetap saja mereka itu kafir karena dzat dinas dan tugas mereka sejak awal adalah membela thaghut dan sistemnya, sedangkan sumpah dan janji itu adalah penambahan bagi kekafiran mereka. Mereka itu kafir saat perang, atau shalat atau haji atau tidur selama belum berlepas diri dari kekafiran mereka itu.
Bagaimana tentara, polisi juga intilejen serta anshar qanun (pembela undang-undang) yang dinas di penjara-penjara thaghut bisa disebut muslim sedangkan mereka tidak kafir kepada thaghut (Pancasila, UUD dan undang-undang turunannya) yang merupakan salah satu dari dua rukun laa ilaaha illallaah.
Syaikh Sulaiman ibnu Abdillah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: “Sekedar mengucapkan kalimat syahadat tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan konsekuensinya berupa komitmen dengan tauhid, meninggalkan syirik akbar dan kufur kepada thaghut, maka sesungguhnya (pengucapan) itu tidak bermanfaat berdasarkan ijma.” (Taisir Al Aziz Al Hamid, dinukil dari Al Haqaiq, Syaikh Ali Al Khudlair).
Ayat di atas juga menunjukkan bahwa orang yang mengucapkan ucapan kekafiran maka dia kafir, walupun dusta, maka apa gerangan bila dia serius?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits yang globalnya ada dalam Shahih Al Bukhari memperlakukan Al ‘Abbas yang berada di barisan anshar thaghut Quraisy sebagaimana perlakuan terhadap orang kafir, dimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menawannya dan menyuruhnya untuk menebus dirinya, padahal dia itu mengaku muslim dan mengaku dipaksa ikut perang Badr, namun beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menoleh kepada pengakuan dan klaimnya itu dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Dhahir kamu di barisan kaum musyrikin memerangi kami, adapun rahasia bathin kamu maka urusan itu atas Allah, tebus diri kamu dan dua keponakanmu!” (Fathul Bariy).
Di sini jelas takfir mu’ayyan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada individu anshar thaghut walaupun dia mengaku dipaksa, beliau shallallahu‘alaihi wa sallam menghukumi dia kafir secara dhahir, dan batinnya diserahkan kepada Allah ta’ala dengan sebab pengakuan dipaksanya itu.
Maka bagaimana gerangan dengan tentara, polisi, intelejen dan anshar thaghut hukum lainnya (sipir penjara) yang tidak dipaksa dan mereka bersaing saat mendaftar, bangga dengan korpsnya dan seragamnya, merasa pada posisi kuat dengan menjadi penyembah thaghut itu…?!!
“Dan mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah, agar tuhan-tuahn itu menjadi pengokoh (pelindung) bagi mereka.” (QS. Maryam: 81).
Dan mereka lakukan itu demi menggapai dunia (gaji dan tunjangan)
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (QS. An Nahl: 107)
Dan mereka selalu siap siaga kapan saja dipanggil serta kekafiran-kekafiran lainnya. Maka jangan ragu-ragu terhadap kekafiran mereka secara ta’yin. Ingat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah lebih wara’ dan lebih hati-hati daripada kamu, tapi beliau mengkafirkan secara mu’ayan (personal) orang yang bergabung di barisan anshar thaghut Quraisy padahal mengaku muslim dan mengaku dipaksa, namun kamu bersikap wara’ dari mengkafirkan ta’yin (personal) tentara dan polisi thaghut itu, maka wara’ macam apa itu…?!!
Para sahabat pada zaman Abu Bakar Ash Shidiq radliyallahu ‘anhum telah ijma (sepakat) terhadap kekafiran anshar thaghut Musailamah Al Kadzdzab dan nabi palsu lainnya secara ta’yin, dimana saat utusan Buzakha’ meminta damai dan taubat datang kepada Abu Bakar radliyallahu ‘anhu, maka beliau mengutarakan beberapa syarat yang disepakati para sahabat di antaranya bahwa mantan orang-orang murtad itu harus bersaksi bahwa orang-orang yang mati terbunuh dari mereka adalah masuk neraka. Sedangkan orang-orang yang terbunuh itu adalah orang-orang yang mu’ayanin (tertentu) dan sedangkan yang boleh dipastikan masuk neraka dalam aqidah Ahlussunah Wal Jama’ah hanyalah orang-orang yang mati dalam kondisi kafir, dan orang muslim walaupun ahli maksiat tidak boleh dipastikan masuk neraka. Ini artinya para sahabat ijma atas kekafiran anshar thaghut secara ta’yin. (Ijma ini bisa dilihat di dalam Risalah Mufidul Mustafid dan Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, milik Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab dan Al Jami’ bahasan Anshar Thaghut milik Syaik Abdul Qadir ibnu Abdil Aziz).
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata perihal orang-orang yang dikafirkan dengan sebab syirik akbar: “…dan begitu juga (kami kafirkan) orang yang berdiri dengan pedangnya melindungi kuburan-kuburan yang dikeramatkan ini semuanya dan dia memerangi orang yang mengingkarinya dan berupaya untuk melenyapkannya.” Sedangkan tentara, polisi dan satgas syirik lainnya adalah penjaga dan pengawal Pancasila syirik, demokrasi kafir dan UU thaghut, dimana lisan mereka selalu bergema melantunkan dengan lantang Garuda Pancasila, Akulah Pendukungmu, Patriot Proklamasi, Rela Berkorban Untukmu.
Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab rahimahullah tentang anshar Musailamah Al Kadzdzab yang tertipu oleh para saksi palsu dan para du’at penipu yang mengabsahkan klaim Musailamah: “…namun begitu para ulama ijma’ bahwa mereka itu murtad walaupun mereka jahil akan hal itu, dan barang siapa ragu perihal kemurtadan mereka maka dia kafir.” (Syarah Syittati Mawadli’ Minas Sirah poin ke-6, Majmuah At Tauhid), bahkan diantara yang menjadi saksi keabsahan Musailamah adalah Ibnu Unfuah utusan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Banu Hanifah (kaum Musailamah) yang malah membelot kepada Musailamah dan menyesatkan mereka, begitu juga banyak orang yang tertipu menjadi anshar thaghut (tentara, polisi, intelejen, kepala lapas dan anak buahnya dan lain-lain) oleh ulama suu’ dan du’at penyeru di atas pintu-pintu jahanam yang mengabsahkan pemerintahan kafir murtad ini, sistemnya, falsafahnya dan hukumnya (pemerintahan RI), di antara mereka ada yang duduk menjadi thaghut di parlemen, ada yang menjadi menteri agama Pancasila, ada yang menjadi du’at departemen agama thaghut, ada sebagai Bintal (pembintaan mental) di militer dan posisi-posisi lainnya yang menipu umat.
Di dalam kaidah fiqhiyyah ditegaskan bahwa status personel thaifah mumtani’ah (kelompok yang mengokohkan diri atau melindungi diri dengan kekuatan yang dimilikinya) adalah tergantung pemimpinnya. Bila thaifah itu adalah bughat (pemberontak muslim) maka personelnya adalah baghiy (pemberontak muslim), bila Khawarij maka personelnya Khariji, bila thaifah itu adalah pemerintah murtad maka personel ansharnya adalah orang kafir murtad (bila mengaku muslim).
D. PEKERJAAN YANG BERSIFAT MENYETUJUI DAN MENGIKUTI SISTEM THAGHUT
Seperti pekerjaan-pekerjaan yang ada di dinas kejaksaan, kehakiman, KPU, Sekretariat MPR/DPR/DPRD dan yang serupa dengan itu yang intinya menyetujui dan mengikuti sistem atau hukum kafir. Umpamanya seorang petugas kejaksaan (bukan Jaksa) saat memborgol dan mengkrangkeng atau menjemput tahanan adalah dalam rangka mengikuti hukum thaghut, seorang petugas Sijn (sipir penjara/LP) bertugas menjaga narapidana agar tidak kabur dalam rangka mengikuti hukum thaghut dan seterusnya.
Pekerjaan-pekerjaan ini sama dengan pekerjaan-pekerjaan sebelunya adalah kekafiran, baik ada sumpah maupun tidak ada karena menyetujui atau mengikuti hukum kafir tanpa ikrah (dipaksa) adalah tawaliy/muwallah kubra (loyalitas yang mengeluarkan dari Islam)
”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka”. (QS. Muhammad: 25-28)
Di dalam ayat-ayat ini Allah ta’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir bahwa dia akan mematuhi atau mengikuti mereka dalam satu urusan kekafiran, maka bagaimana halnya dengan orang yang benar-benar mematuhi atau mengikuti dalam urusan kekafiran itu? Dan bagaimana halnya dengan orang yang tugasnya adalah menjalankan aturan kafir dan bila dia diprotes maka dia menjawab “ saya hanya menjalankan tugas atau perintah” atau “ saya hanya menjalankan atau mengikuti hukum yang berlaku”? Jelas mereka mengikuti apa yang menimbulkan murka Allah ta’ala dan dengan tindakannya itu mereka membenci apa yang mendatangkan ridla-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
“Orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al Baqarah: 120)
Dan firman-Nya ta’ala:
“Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu sesungguhnya kalau begitu kamu termasuk orang-orang yang zalim.” (QS. Al Baqarah: 145)
Ayat itu menjelaskan bahwa seandainya orang muslim mengikuti ajaran kafir tanpa dipaksa maka dia itu kafir walaupun di hati tidak menyukainya atau dia membencinya atau hatinya masih beriman, karena keyakinan hati ini tidak dianggap saat lisan mengucapkan kekafiran atau anggota badan mengerjakan kekafiran kecuali saat kondisi ikrah (dipaksa) saja, sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman, kecuali orang yang dipaksa padahal hatinya tetap tenang dengan keimanan, akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka Allah menimpa mereka azab yang besar. Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tiada memberi petunjuk kaum yang kafir.” (QS. An Nahl: 106-107)
Ayat ini menunjukkan bahwa kekafiran itu tidak dimaafkan kecuali dengan sebab ikrah saja, dan ayat ini menunjukkan juga bahwa orang yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran tanpa ikrah adalah telah melapangkan dadanya untuk kekafiran walaupun dia mengklaim sebaliknya atau mengklaim mencintai Islam tetap saja dia divonis kafir dan Allah ta’ala nyatakan bahwa kekafiran itu terjadi bukan karena ingin kafir atau benci kepada Islam, namun “…karena mereka sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat”, yaitu gaji, tunjangan, fasilitas kehidupan dan jaminan pensiun di masa tua.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan secara umum barangsiapa mengucapkan atau mengerjakan sesuatu yang merupakan kekafiran maka dia kafir dengan sebab itu meskipun dia tidak bermaksud untuk kafir, karena tidak bermaksud untuk kafir seorang pun kecuali apa yang Allah kehendaki.” (Ash Sharimul Maslul).
Syaikh Sulaiman ibnu Abdilllah Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata “Ulama ijma bahwa siapa yang mengucapkan atau mengerjakan kekafiran maka dia kafir, baik dia itu serius atau bercanda atau main-main, kecuali orang yang dipaksa.” (Ad Dalail: 1).
Bahkan Allah ta’ala berfirman perihal orang-orang yang mengucapkan kekafiran terus beralasan bahwa mereka hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja
“…tidak usah kalian meminta maaf, karena kalian kafir setelah beriman.” (QS. At Taubah: 66)
E. PEKERJAAN YANG DISYARATKAN TERLEBIH DAHULU UNTUK BERSUMPAH ATAU BERJANJI SETIA KEPADA THAGHUT/SISTEM DAN HUKUMNYA
Setiap pekerjaan di dalam dinas pemerintahan thaghut ini walaupun asal pekerjaannya mubah atau haram yang tidak sampai kepada kekafiran, namun sebelum diangkat menjadi pegawai/pekerja disyaratkan mengikrarkan sumpah/janji setia kepada thaghut, maka ini adalah kekafiran karena sebab sumpah/janjinya itu bukan karena dzat pekerjaannya. Umpamanya menjadi mantri atau dokter di puskesmas atau rumah sakit adalah mubah, namun bila dia sumpah setia kepada thaghut sebelumnya maka dia kafir karena sumpahnya. Menjadi PNS di Bea Cukai atau Perpajakan atau Imigrasi adalah pekerjaan haram karena semuanya kezaliman, namun tidak sampai kepada kekafiran akan tetapi bila sebelumnya ada sumpah atau janji setia kepada thaghut maka menjadi kafir dengan sebab sumpahnya itu.
”Sesunguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah: “Kami akan mematuhi kamu dalam sebagian urusan”, sedang Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila malaikat maut mencabut nyawa mereka seraya memukul muka mereka dan punggung mereka? yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridlaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” (QS. Muhammad: 25-28)
Di sisi Allah ta’ala memvonis murtad orang yang berjanji kepada orang-orang kafir untuk mematuhi sebagian urusan kekafiran mereka, maka apa gerangan dengan orang yang berjanji untuk setia kepada falsafah kafir, hukum kafir dan negara kafir dan untuk mematuhi segala aturan thaghut…???, dan apa gerangan dengan orang yang mengatakan janjinya dan sumpahnya itu dengan nama Allah…???, sedangkan sesuai dengan aturan main/UU thaghut bahwa orang yang resmi menjadi PNS harus mengikrarkan sumpah PNS seraya disaksikan seorang rohaniawan dan pejabat dilingkungan dinasnya, dan isi sumpahnya adalah sumpah dengan nama Allah untuk setia kepada Pancasila, UUD 45 dan Negara Kafir Republik Indonesia (NKRI) dan untuk mematuhi segala peraturan perundang-undangan yang berlaku serta untuk menjaga rahasia negara dan mendahulukan kepentingan negara terhadap kepentingan golongan (yaitu agama Islam diantaranya). Hakikat sumpah itu adalah: “DEMI ALLAH SAYA AKAN KAFIR KEPADA ALLAH DAN BERIMAN KEPADA THAGHUT…!!!” padahal Allah ta’ala:
“… beribadahlah kalian kepada Allah dan jauhilah thaghut itu…” (QS. An Nahl: 36)
Dan Allah ta’ala berfirman:
“…barangsiapa kafir kepada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kokoh yang tidak akan putus.” (QS. Al Baqarah: 256).
Bila orang itu mengklaim bahwa dia ucapkan itu seraya berdusta dan di hatinya tidak ada niat untuk setia dan patuh, maka kami katakan bahwa kamu tetap kafir…! walau hanya bohongan saat mengikrarkan sumpah itu, karena Allah telah mencap kafir orang yang berjanji bohong untuk melakukan kekafiran (yaitu membantu orang-orang Yahudi dalam melawan Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafiq yang berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara ahli kitab: ”Sesungguhnya jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kalian dan kami selama lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk menyulitkan kamu, dan jika kalian diperangi pasti kami akan membantu kalian.” Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta”. (QS. Al Hasyr: 11).
Alasan yang diterima Islam hanya ikrah (paksaan), sedangkan kalian tidak dipaksa dan malah justru bersaing untuk menjadi pegawai dan bahkan dengan menyogok agar lulus, tapi
“… yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan dunia lebih dari akhirat, dan bahwasannya Allah ta’alatidak member petunjuk kepada kaum yang kafir”. (QS. An Nahl: 107)
Ini adalah bentuk-bentuk pekerjaan yang kufur akbar di dinas pemerintahan thaghut ini, dan untuk poin A, B, C dan D pekerjaan-pekerjaan di sana adalah kekafiran akbar dengan sendirinya yaitu dzat pekerjaannya adalah kufur akbar dan syirik akbar sehingga individu orangnya bisa kita kafirkan karena terbukti kekafirannya di hadapan kita. Adapun yang poin E yaitu yang dikafirkan dengan sebab sumpah/janji setia bukan karena dzat dinas atau pekerjaannya maka kita tidak bisa mengkafirkan individu orangnya kecuali kalau kita mengetahui langsung bahwa dia bersumpah, atau orang itu mengakui bahwa dia bersumpah, atau ada dua saksi laki-laki adil yang bersaksi dihadapan kita bahwa keduanya melihat atau mendengar dia bersumpah atau ada khabar yang istifadlah (masyhur diketahui khalayak umum) bahwa dia bersumpah.
Kalau ada salah satu dari hal-hal itu maka boleh mengkafirkan individu (ta’yin) orang itu, namun bila tidak ada maka tidak boleh mengkafirkannya walaupun sebenarnya dia itu bersumpah (kafir), di mana dihadapan Allah ta’ala dia itu kafir sedangkan dihadapan kita dia itu dihukumi muslim karena menampakkan keislaman. Dan bisa saja si A mengetahui dia itu kafir karena melihatnya bersumpah sehingga memperlakukannya sebagaimana orang kafir, namun si B tidak mengetahuinya sehingga menganggapnya muslim, dan itu tidak ada masalah dan si A tidak boleh memaksa si B untuk mengikuti vonis dia, tapi si B boleh mengikuti si A bila dia adil sebagaimana Umar radliyallahu‘anhu mengikuti Hudzaifah radliyallahu ‘anhu dalam sikap tidak menshalatkan jenazah orang munafik yang hanya diketahui Hudzaifah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
<2>. Pekerjaan yang haram yang tidak sampai kepada kekafiran.
Yaitu setiap pekerjaan yang tidak mengandung salah satu usur kekafiran di atas akan tetapi bergerak di dalam bidang yang haram, seperti riba, kezaliman, membantu dalam kezaliman, memakan harta manusia dengan batil, atau muwallah shugra (segala yang menghantarkan kepada penghormatan dan kemuliaan orang kafir dengan tetap membenci, memusuhi, dan mengkafirkannya), atau hal haram lainnya.
<3>. Pekerjaan yang makruh
Yaitu yang tidak ada unsur kekafiran dan keharaman, dengan syarat darurat atau sangat membutuhkan dan tetap menampakkan keyakinan (dien). Dikatakan makruh karena yang dituntut dari orang muslim adalah menjauhi orang kafir. Dan adapun syarat menampakan dien maka dia diambil dari kontek hadits atau atsar yang menunjukkan bahwa sebagian shahabat bekerja pada orang-orang musyrik seraya tetap menampakkan dien yang dianut, di mana Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Khabab ibnu Al Art radliayallahu ‘anhu berkata: “Saya mendatangi Al ‘Ash ibnu Wail As Sahmi untuk menagih hak saya yang ada padanya, maka dia berkata: “Saya tidak akan memberikannya kepadamu sampai kamu kafir kepada Muhammad.”, maka saya berkata: “Tidak, sampai kamu mati terus dibangkitkan pun.”
Bila tidak menampakkan diennya saat dia bekerja di dinas milik thaghut maka dia berdosa karena meninggalkan kewajiban demi dunia.
Orang yang kekafirannya hanya karena sebab sumpah setia kepada thaghut namun dzat pekerjaannya bukan kekafiran seperti bentuk pekerjaan model E, maka dia menjadi muslim dengan berlepas diri dari sumpahnya itu dan ikrar dua kalimah syahadat lagi, walaupun dia tidak keluar dari pekerjaannya, namun yang utama adalah dia keluar dari pekerjaannya itu. Sedangkan orang yang dzat pekerjaannya adalah kekafiran seperti bentuk-bentuk pekerjaan model A, B, C, D, maka dia tidak menjadi muslim kecuali dengan keluar dari pekerjaannya dan ikrar dua kalimah syahadat lagi.
Wallahu Ta’ala A’lam.
Judul ketiga:
PELITA PENERANG
BAGI PERTANYAAN PENDUDUK JAZIRAH
(Mashobih Al Muniroh Fir Rodd ‘Ala Asilati Ahlil Jazirah)
PENULIS: ABU MUHAMMAD ‘ASHIM AL MAQDISIY
ALIH BAHASA: ABU SULAIMAN AMAN ABDURRAHMAN
Segala puji hanya milik Allah, shalawat dan salam hanya dilimpahkan kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang loyal kepadanya.
Wa Ba’du,
Telah muncul pertanyaan-pertanyaan berikut ini kepada saya dari sebagian ikhwan muwahhidin dari kalangan jazirah Arab[4], dan ia adalah sangat singkat:
Sungguh saya sangat senang dan saya memuji Allah ta’ala dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan semacam ini dari negeri itu, karena kebiasaan yang kami ketahui dari mayoritas penduduknya —kecuali orang-orang yang Allah rahmati dan itu sangat sedikit— adalah mereka tidak peduli dengan masalah-masalah seperti ini dan bahkan mereka itu sangat alergi dari sekedar mengusiknya, serta mereka menganggap pembicaraan di dalamnya tergolong metode Khawarij, Takfiriy dan yang lainnya, dan bahkan sebagian mereka memandang masalah ini mengeraskan hati dan sama sekali tidak ada faidah dibaliknya. Dan ini demi Allah tergolong kebathilan yang paling bathil, karena ia seluruhnya berkaitan dengan Millah Ibrahim dan dengan autsaqu ‘ural iman (ikatan iman yang paling kuat) sedangkan hal seperti ini adalah tergolong inti ajaran dien ini, serta (tergolong) pondasi-pondasi dakwah para Nabi dan Rasul. Dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan ini lebih dahulu harus didahului dengan penjelasan realita keadaan pemerintahan-pemerintahan yang mencekik leher kaum muslimim ini.
Ketahuilah mudah-mudahan Allah merahmati engkau, bahwa pemerintahan-pemerintahan Jabriyyah (yang dipaksakan) yang mencengkram negeri-negeri kaum muslimin hari ini tidak ada yang ragu akan kekafirannya kecuali orang-orang yang Allah tutup mata hatinya dan Dia butakan dari cahaya wahyu seperti mereka, karena kekafiran mereka bermacam-macam dan beraneka ragam dari berbagai pintu, di antaranya :
1. Mereka kafir dari pintu pembuatan hukum dan perundang-undangan di samping Allah apa yang tidak Allah izinkan, di mana undang-undang dasar mereka yang bersifat nasional maupun internasional, baik tingkat lokal maupun tingkat PBB atau Liga Arab (seperti : OKI, ASEAN, dsb.Pent) dan yang lainnya menegaskan bahwa wewenang pembuatan hukum dan undang-undang itu berada di tangan mereka dan para wakil rakyat.
Dan ini adalah hal yang baku lagi dikenal dalam butir-butir undang-undang dasarnya yang kafir. Tidak mendebat di dalamnya kacuali orang-orang bodoh yang tidak mengetahui atau pura-pura tidak mengetahui dan tidak ingin mengetahuinya, Allah ta’ala berfirman :
“Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa ?” (QS. Yusuf :39)
2. Mereka kafir dari pintu ketaatan mereka kepada para pembuat hukum —baik lokal maupun internasional dan yang lainnya— dan pintu ittiba’ (mengikuti) mereka terhadap undang-undang kafirnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka dien[5] yang tidak diizinkan Allah ?” (QS. Asy Syuura: 21)
dan firman-Nya Subhanahu Wa Ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali kebelakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Dan yang demikian karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafiq) itu berkata pada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang Yahudi): “Kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan.” (QS. Muhammad : 25-26).
Ini bagi orang yang berkata “kami akan mematuhi kamu dalam beberapa urusan”, maka bagaimana dengan orang yang berkata kepada mereka (orang-orang kafir dan para Thaghut): “kami akan mematuhi kamu dalam banyak urusan atau dalam semua urusan”[6], terus mereka menyerahkan pengendalian mereka kepada para pembuat hukum/undang-undang/undang-undang dasar mereka dan mereka menerima aturan-aturan buatannya dengan sepenuhnya.
3. Dan mereka kafir dari pintu tawwaliy (loyalitas) mereka terhadap orang-orang kafir dari kalangan Nashrani, Yahudi, musyrikin, dan kaum murtaddin. Dan penjagaan serta perlindungan yang mereka berikan terhadap orang-orang kafir itu dengan tentara, senjata, harta dan ekonomi, bahkan mereka telah menjalin hubungan dengan kaum kafir itu sebagai kesepakatan dan perjanjian bantuan dengan personil, harta, lisan dan senjata di mana mereka tawwaliy (loyalitas) penuh terhadap orang-orang kafir itu, sedangkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Barangsiapa di antara kamu tawalliy kepada mereka, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka” (QS. Al Maidah : 51)
4. Dan mereka kafir dari pintu persaudaraan yang mereka jalin dengan orang-orang kafir kalangan timur dan barat, jalinan cinta, kasih sayang dengan mereka. Allah ta’ala berfirman:
“Kamu tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…” (QS. Al Mujadillah : 22)
Dan ini bukan tergolong pengkafiran dengan hal-hal bathin dan amalan hati, akan tetapi dengan amalan dan ucapan yang dhahir lagi jelas karena kasih sayang ini mereka menegaskan dan menampakannya di setiap kesempatan, dan sarana-sarana informasi mereka sangat sarat dengan hal itu.
5. Mereka kafir dari pintu sikap mereka memerangi wali-wali Allah, mendukung kaum musyrikin dan membantu mereka terhadap wali-wali Allah. Allah ta’ala berfirman :
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang munafiq berkata kepada saudara-saudara mereka yang kafir di antara Ahli Kitab : ”Sesungguhnya jika kamu diusir, niscaya kami pun akan keluar bersama kamu, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapa pun untuk (menyusahkan) kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantu kamu.” Dan Allah menyaksikan bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al Hasyr : 11).
Perhatikanlah bagaimana Allah mengkafirkan orang-orang yang menjanjikan terhadap kaum musyrikin untuk membantu mereka terhadap kaum muwahhidin dan menjadikan mereka sebagai bagian dari saudara-saudara kaum musyrikin dengan sekedar janji yang dusta[7], maka bagaimana dengan orang yang menjalin bersama mereka kesepakatan bantuan dan dukungan untuk menjepit kaum muwahhidin, serta betul-betul membantu kaum musyrikin terhadap kaum muwahhidin dengan pengejaran, pembunuhan, penyeretan ke persidangan, dan pemenjaraan.
6. Mereka kafir dari pintu penghalalan yang haram dengan pemberian izin untuknya, melindunginya, menjaganya, bermufakat dan bersepakat terhadapnya, seperti lembaga-lembaga dan gedung-gedung riba, kebejatan, zina serta hal-hal haram lainnya. Allah ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya mengundur-undurkan bulan Haram itu adalah menambah kekafiran, disesatkan orang-orang kafir dengan mengundur-undurkan itu, mereka menghalalkan pada suatu tahun dan mengharamkannya pada tahun yang lain agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang Allah mengharamkannya, maka mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Syaitan) menjadikan mereka memandang baik perbuatan mereka yang buruk itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir” (QS. At Taubah : 37).
7. Dan mereka kafir dari pintu memperolok-olokan terhadap ajaran Allah. Pemberian izin bagi orang-orang yang memperolok-olokan, melindungi mereka dan membuat undang-undang yang memberikan izin bagi mereka dan memudahkan hal itu bagi mereka, baik lewat media cetak, televisi, radio atau yang lainnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“…Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman…” (QS. At Taubah: 65-66).
Dan pintu-pintu kekafiran yang mereka masuk dan terjerumus di dalamnya, baik beramai-ramai maupun sendiri. Dan setiap pintu dari pintu-pintu ini memiliki ratusan bahkan ribuan dalil-dalil dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam yang menunjukan bahwa ia adalah pintu-pintu yang mengkafirkan. Sehingga ia adalah lebih terkenal dari sekedar debat dengan orang-orang yang mendebat, sedangkan ini bukan tempat untuk menjabarkannya. Namun, yang dimaksud dari hal itu adalah pengisyaratkan yang cukup bagi orang-orang yang berakal dan memberikan pengetahuan kepadanya bahwa pemerintah-pemerintah ini adalah thaghut-thaghut yang diikuti dan ditaati selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Bila hal ini sudah diketahui, maka jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini adalah kami katakan: Bahwa hal itu adalah terdapat dalam firman Allah yang di dalamnya Dia menjelaskan tujuan utama dari pengutusan para rasul seluruhnya. Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Dan sesungguhnya kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah saja dan jauhi thaghut itu”. (QS. An Nahl : 36)
Tujuan yang karenanya Allah menciptakan makhluk dan mengutus para rasul, dan seseorang tidak selamat kecuali dengannya adalah dia mentauhidkan Allah ta’ala saja dengan ibadah dan menjauhi peribadatan kepada selain-Nya. Akan tetapi di sana ada faidah yang sangat indah, yaitu bahwa saat Allah ta’ala berbicara tentang Diri-Nya Yang Maha Agung, Dia menyebutkan bahwa yang Dia tuntut adalah ibadah dan pentauhidan-Nya sebagaimana firman-Nya dalam ayat yang lain :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz Dzariyat : 56).
Adapun ketika Allah berfirman tentang thaghut, maka sesungguhnya Dia menuturkan dan mengajak untuk menjauhinya secara mutlak dan tidak membatasinya dengan ibadah, sehingga dalam hal itu terdapat dilalah (indikasi) bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala mencintai bagi kita agar menjauhi thaghut dalam segala hal ibadah dan segala hal lainnya, baik itu hal besar ataupun hal kecil. Dan di antaranya adalah tidak bekerja pada thaghut walaupun dalam pekerjaan yang tidak ada kemungkaran di dalamnya. Inilah yang paling baik, paling utama dan paling sempurna bagi sang muwahhid yang mengajak manusia untuk kafir kepada para thaghut dan bara’ (berlepas diri) darinya serta menjauhinya.
Adapun dari sisi hukum syar’iy tentang bekerja di seluruh instansi pemerintah-pemerintah yang kafir ini, maka kami tidak mengatakan bahwa seluruhnya kekafiran dan seluruhnya haram, namun ada rincian di dalamnya, dan dalam hal itu ada hadits yang diriwayatkan Al Bukhari dalam Shahih-nya pada Kibal Ijarah bab : “Apakah seorang boleh mengupahkan dirinya bekerja pada orang musyrik di negeri harbiy” : [Dari Khabab radliyallahu 'anhu, berkata : “Saya adalah pandai besi, kemudian saya bekerja untuk Al ‘Ash Ibnu Wail, sehingga terkumpul hak upah saya di sisinya, kemudian saya mendatanginya untuk meminta upah itu darinya”, maka ia berkata : “Tidak, demi Allah. Saya tidak akan membayar upahmu sampai kamu kafir kepada Muhammad !”, maka saya berkata : “Demi Allah, tidak akan saya lakukan sampai kamu mati kemudian dibangkitkan sekalipun”, ia berkata : “Apa saya akan mati kemudian dibangkitkan ?”, saya berkata : “Ya !”, dan ia berkata : “Ya, berarti di sana saya akan memiliki harta dan anak, kamudian saya akan membayar upahmu”, maka Allah ta’ala menurunkan firman-Nya :
“Maka apakah kamu telah melihat orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami dan ia mengatakan, “Pasti aku akan diberi harta dan anak” (QS. Maryam : 77).]
Hal itu terjadi di Makkah sedang saat itu ia adalah Darul Harbiy dan turunlah ayat ini berkenaan dengannya, dan Nabi shalallahu‘alaihi wa sallam mengetahui hal itu serta mengakuinya.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam Fathul Bari : “Mushanif (penulis) tidak memastikan dengan hukum-hukum kebolehan, karena ada kemungkinan hal itu boleh dengan syarat darurat, atau karena kebolehan itu terjadi sebelum ada izin untuk memerangi kaum musyrikin dan menghantam mereka serta sebelum ada perintah agar orang mu’min tidak menghinakan dirinya sendiri.” Kemudian ia menukil ucapan Al Muhallab:
[Para ulama memakruhkan hal itu –yaitu bekerja pada kaum musyrikin– kecuali karena darurat dengan dua syarat:
Kemudian beliau menukil kebolehan bekerja pada kafir dzimmiy di toko-toko mereka, sedangkan orang-orang kafir dzimmiy itu adalah orang-orang kafir yang hidup di Darul Islam seraya tunduk kepada hukum Islam dan memberikan jizyah langsung dari tangan mereka, sedang mereka hina.”
Dan kesimpulan adalah dikatakan: Sesungguhnya dimakruhkan bekerja pada kaum musyrikin kecuali karena kebutuhan atau darurat, dan dengan syarat dalam perbuatannya tidak ada macam maksiat kepada Allah ta’ala.
Dan tidak dikatakan: bahwa kami mengharamkan setiap pekerjaan atau kedinasan, namun suatu yang terdapat di dalamnya nushrah (bantuan) atau pengokohan terhadap undang-undang dan hukum-hukum mereka yang bathil serta pemufakatan bersama mereka terhadapnya, maka ia adalah kekafiran (seperti polisi, tentara, anggota parlemen, dsb.) Dan pekerjaan yang terdapat maksiat di dalamnya maka ia haram, sedangkan pekerjaan yang tidak tergolong ini dan itu maka kami tidak mengatakan di dalamnya kecuali makruh saja.
Dan sebab kami mengatakan makruh adalah kekhawatiran dari sikap mereka mencengkram orang muslim dan menahan haknya kecuali bila ia mau menuruti mereka dalam apa yang mereka cintai dan mereka inginkan, sebagaimana orang kafir itu meminta dari shahabat Khabab hal itu dan menahan upahnya, dan karena kekhawatiran dari munculnya macam rasa akrab dan kasih sayang karena sebab terlalu lama bergaul dengan orang kafir dan sering duduk-duduk dengan mereka, sehingga lembeklah masalah Al Wala dan Al Bara’ dan juga masalah cinta dan benci di jalan Allah, dan engkau telah melihat bagaimana Khabab saat bekerja pada orang kafir dalam keadaan merasa mulia (dengan agamanya) lagi menampakan diennya dan tidak mudahanah (basa-basi) kepada orang kafir walaupun dalam kondisi tertindas. Dan barangsiapa berhujjah dengan kisahnya maka ia mesti memperhatikan keadaan shahabat Khabab radliyallahu ‘anhu ini.
Ini adalah ucapan kami dalam bab ini, dan Allah-lah yang meluruskan dan membimbing kepada kebenaran. Barangsiapa ingin lebih dapat tambahan maka silahkan merujuk kepada kitab kami: “Kasyfun Niqab An Syari’atil Ghab”
Dan dari bab yang lalu ini munculah cabang sebagai jawaban dari masalah yang kedua, yaitu hukum ikut serta dalam barisan tentara, polisi-polisi pemerintah ini, dan lembaga-lembaga intelejennya, karena dinas-dinas ini merupakan anshar (pelindung) pemerintah, auliya (aparat)nya yang membelanya, melindungi serta mengokohkan singgasananya. Oleh sebab itu Allah telah menyertakan mereka dalam kejahatan, kesalahan dan azab bersama thaghut dan para menterinya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Fir’aun dan Haman beserta bala tentaranya adalah orang-orang yang bersalah” (QS. Al Qashash: 8)
dan dalam ayat azab, Dia Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Maka Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu kami lemparkan mereka ke dalam laut. Maka lihatlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim” (QS. Al Qashash: 40)
Dan telah lalu firman Allah tabaraka wa ta’ala:
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang munafik yang berkata kepada saudara-saudaranya yang kafir di antara Ahli Kitab : “Sungguh, jika kamu diusir niscaya kamipun akan keluar bersama kamu, dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun demi kamu, dan jika kamu diperangi pasti kami akan membantumu”. Dan Allah menyaksikan bahwa mereka benar-benar pendusta.” (QS. Al Hasyr : 11)
Lihatlah bagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjalinkan persaudaraan antara orang-orang yang menampakan Islam dengan kaum musyrikin tatkala orang-orang yang menampakkan Islam itu membisikan kepada mereka janji untuk membantu mereka terhadap kaum muwahhidin, padahal sesungguhnya Allah mengetahui dan menyaksikan bahwa mereka itu dusta dalam janji mereka ini[8]. Maka bagaimana dengan orang yang terang-terangan yang menyatakan bahwa ia itu bagian dari tentara thaghut, aparatnya, pasukannya dan intelejennya, serta bersumpah untuk setia kepadanya, melindungi undang-undangnya yang kafir, bergadang dalam rangka menjaga dan mengokohkannya, dan bahkan bisa jadi mati di jalannya. Tidak diragukan bahwa orang-orang seperti ini telah lepas darinya agama ini, dan dia sama sekali tidak mencium bau tauhid serta tidak mengenal keindahan warnanya.
Jadi hukum asal para tentara, intelejen dan yang semisal ini adalah bahwa mereka itu pasukan yang setia kepada thaghut, wali-walinya dan aparat pelindungnya. Sedangkan orang seperti itu maka hukum asal padanya adalah bahwa ia itu statusnya sama dengan status thaghutnya, karena tanpa mereka (tentara, polisi, intelejen dan yang serupa dengannya tentulah thaghut tidak bisa berkuasa dan berdiri[9].
Dan oleh sebab itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah memfatwakan tentang para pembantu orang-orang zalim bahwa status mereka adalah sama dengan status orang-orang yang langsung berbuat zalim itu, dan bahwa sama dalam hal itu orang yang sekedar membantu dengan orang yang berbuat langsung menurut jumhur ulama (Majmu Al Fatawa: 3/61).
Jadi, siapa yang membantu mereka terhadap kekafiran mereka maka status dia sama dengan status mereka.
Dan begitu juga beliau memvonis murtad orang-orang yang bergabung dengan bala tentara budak undang-undang atau Yasiq Tattar, di mana beliau berkata dalam Fatawa-nya: “Dan setiap orang yang membelot kepada mereka dari komandan-komandan pasukan dan yang lainnya, maka status dia sama dengan status mereka. Di tengah mereka banyak terdapat macam riddah (kemurtaddan) dari syari’at Islam sejauh kadar apa yang dia campakan dari syari’at Islam ini. Bila saja salaf telah menamakan orang-orang yang menolak dari membayar zakat sebagai kaum murtaddun padahal mereka itu melaksanakan shaum dan shalat, padahal mereka itu tidak memerangi jama’ah kaum muslimin, maka apa gerangan dengan orang yang bergabung dengan musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya lagi memerangi kaum muslimin?” (Majmu Al Fatawa: 28/530).
Begitu juga Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah, beliau telah menggolongkan dalam pembatal-pembatal keislaman yang membuat kafir pelakunya: “Membantu kaum musyrikin dan bekerja sama dengan mereka terhadap kaum muslimin”. Dan beliau juga berkata: “Dan begitu juga kami mengkafirkan orang yang memperindah syirik di hadapan manusia dan menegakkan syubhat-syubhat yang bathil untuk melegalkannya, dan begitu pula orang yang melindungi tempat-tempat kemusyrikan dengan pedangnya, dia berperang dengan senjata dalam rangka mempertahankannya, dia mengingkari dan memerangi orang-orang yang berupaya melenyapkannya.” (Majmu’atir Rasail Asy Syakhshiyyah: 60)
Begitu juga setiap orang yang menjaga thaghut dan sarang-sarangnya, dia bekerja dalam rangka mengokohkan pemerintahannya yang kafir, dan mengingkari orang yang berupaya untuk menghancurkannya dari kalangan mujahidin muwahhidin, karena hukum asal bagi setiap orang yang berperang di jalan thaghut adalah bahwa ia itu termasuk golongan orang-orang kafir. Allah ta’ala berfirman:
“Dan orang-orang kafir adalah berperang di jalan thaghut” (QS. An Nisa’: 76).
Akan tetapi walaupun demikian, kami tidak mengingkari bahwa bisa saja ada pada barisan tentara thaghut itu ada orang yang menyembunyikan sikap pengkafirannya terhadap thaghut tersebut dan menyembunyikan sikap bara’ dari kebathilannya, serta ia mencari kesempatan untuk keluar dan lari dari pasukan dan tentara thaghut atau untuk berjuang bagi agama Allah dan membela-Nya. Di antara mereka itu ada yang jujur, yang diberi hidayah oleh Allah saat dia berada di dalam dinas ketentaraan, di mana ia mengenal kebenaran dan tauhid, dan ia mengungkapkan kekafiran dia terhadap thaghut serta sikap bara’ah dari kebathilannya dengan suatu amalan yang besar yang di dalamnya ia menolong Islam ini dan para penganutnya, serta di dalamnya ia menampakan sikap bara’ah dari thaghutnya, dan pengingkarannya terhadap segala kebathilannya, ataupun dengan keluar dari tempat dinasnya serta menjauhi langsung setelah Allah memberinya hidayah kepada kebenaran, petunjuk dan cahaya.
Dan di antara mereka itu ada orang yang bohong yang mengklaim bahwa ia itu berbuat untuk agama Allah, padahal ia itu pada hakikat sebenarnya bekerja untuk saku dan perutnya di mana ia menjual tauhidnya dan ikatan iman yang paling kokoh dengan harga yang murah, yaitu beberapa dirham saja. Dan alangkah serupanya mereka itu dengan orang-orang yang Allah firmankan:
“Yang demikian itu disebabkan karena sesungguhnya mereka mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat, dan bahwasanya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum kafir” (QS. An Nahl: 107).
Dan di antara macam yang akhir ini adalah orang-orang yang tinggal di Makkah setelah hijrah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka absen dari hijrah dan (absen) dari keluar dari barisan orang-orang kafir ke barisan orang-orang yang bertauhid karena berat dengan tanah air, tempat tinggal dan harta, dan karena lebih mementingkan hal itu daripada agama padahal bumi Allah itu sangat luas dan mereka memiliki kemampuan untuk keluar dan bergabung dengan barisan para muwahhidin andaikata mereka mau, akan tetapi mereka malah diam dan betah serta berat untuk meninggalkan buminya, kemudian tatkala mereka sampai pada hari penentuan, yaitu hari bertemunya dua pasukan (di Badar), maka kaum musyrikin memaksa mereka keluar dan menjadikan orang-orang itu di barisan terdepan, sehingga bila kaum muslimin menembakkan panah, mereka membunuh sebagian orang-orang itu, oleh sebab itu Allah Subhanahu Wa Ta’alamenutunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: “Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”. mereka menjawab: “Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekkah)”. Para Malaikat berkata: “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?” Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An Nisa’: 97)
Allah mencap mereka sebagai orang-orang yang zalim kepada diri mereka sendiri, karena di antara kezaliman diri yang paling besar adalah ia terhalang dari menemani kaum muwahhidin, membela mereka dan bergabung di barisan mereka, dan mereka malah tinggal di tengah kaum musyrikin atau barisan kaum murtaddin, kemudian Allah ta’ala menurunkan kepada kita pertanyaan malaikat terhadap mereka “dalam keadaan bagaimana kami ini ?”, yaitu di barisan siapa kalian ini berada dan di tentara siapa kalian…?, serta pasukan siapa kalian, apakah tentara dan pasukan thaghut ataukah tentara dan pasukan muwahhidin…?. Mereka itu tidak berada di barisan kaum muwahhidin, tidak bergabung dengan tentara mereka serta tidak pula memblok kepada pasukan mereka, akan tetapi mereka berhujjah sebagaimana yang biasa dilakukan banyak orang-orang yang sesat pada hari ini dengan alasan istidl’af (ketertindasan), darurat dan keterpaksaan yang dusta. Mereka mengatakan :“adalah kami orang-orang tertindas di negeri (Makkah)”.
Dan begitulah jawaban setiap orang yang sesat dari kalangan yang memasukkan dirinya dalam bala tentara (aparatur) thaghut, di mana pada umumnya mereka itu beralasan dengan alasan darurat, mata pencaharian, tempat tinggal, isteri, orang tua, atau anak dan yang lainnya berupa materi kehidupan dunia dan tipu dayanya, padahal sesungguhnya Allah adalah Sang Pemberi Rizqi lagi Maha Kokoh, padahal pintu-pintu rizqi-Nya adalah sangat luas dan siapa yang bertaqwa kepada Allah, maka Dia menjadikan baginya jalan keluar, oleh sebab itu malaikat menjawab hujjah mereka yang lemah ini dengan ucapan mereka : “Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu bisa berhijrah di bumi itu?, orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”.
Perhatikanlah wahai saudaraku… perdebatan yang menakutkan ini ditempat yang besar itu, dan perhatikanlah akhir perjalanan yang buruk ini, kita berlindung kepada Allah darinya. Perhatikanlah Tauhid kalian, pegang teguhlah hal itu jangan kalian lepaskan dia demi gaji, pekerjaan atau materi dan pernak-pernik dunia yang fana ini, dan janganlah kalian menjadi bagian tentara para thaghut dan tentara iblis yang Allah Subhanahu Wa Ta’ala firmankan:
“Suatu tentara yang besar yang berada di sana dari golongan yang berserikat pasti akan dikalahkan”. (QS. Shaad: 11)
dan firmanNya Subhanahu Wa Ta’ala :
“maka mereka (sembahan-sembahan itu) dijungkir ke dalam neraka bersama orang-orang yang sesat dan bala tentara iblis semuanya”. (QS. Asy Su’ara : 94-95)
Akan tetapi larilah kalian kepada Allah, dengan membawa agama dan tauhid kalian dari setiap pekerjaan dan kedinasan yang seperti itu, dan jadilah kalian bagian dari tentara Allah yang bertauhid sebagaimana firman-Nya:
“Dan sesungguhnya tentara kami, itulah yang pasti menang” (QS. Ash Shafaat : 173)
Bukti di sini adalah bahwa Allah tidak mengudzur orang-orang yang mengaku Islam tatkala mereka mati di barisan (tentara) kaum musyrikin, kecuali di antara mereka yang benar-benar tertindas dari kalangan wanita dan anak-anak yang tidak memiliki daya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), dan Allah juga tidak menganggap berdosa orang yang membunuh mereka dan memerangi mereka dari kalangan muwahhidin, akan tetapi Dia memberikan pahala dan balasan yang besar bagi mereka, di mana setiap orang yang mengikuti perang Badar memiliki keistimewaan khusus dan keutamaan yang besar. Dan ini serupa dengan pembinasaan Allah ta’ala terhadap pasukan yang hendak menginvasi Ka’bah seluruhnya, sedangkan di tengah mereka ada orang yang tidak keluar bersama mereka untuk berperang, akan tetapi hanya memperbanyak jumlah mereka saja dan yang lainnya.
Syaikhul Islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu Al Fatawa: 28/537 : “Allah ta’ala telah membinasakan pasukan yang ingin mengotori kehormatan-kehormatan-Nya (tanah suci) —yang dipaksa di antara mereka dan yang tidak dipaksa— padahal Dia mampu memilah-milah di antara mereka, padahal (juga) Dia membangkitkan mereka di atas niat-niat mereka, maka bagaimana wajib atas kaum mu’minin mujahidin untuk memilah-milah antara orang yang dipaksa dengan orang yang tidak dipaksa sedangkan mereka tidak mengetahui hal itu?”
Dalam hal ini ada faidah yang wajib diperhatikan, yaitu bahwa orang yang berada di barisan pasukan tentara thaghut maka sesungguhnya kaum muwahhidin diudzur, bahkan dapat pahala dalam membunuh orang tersebut, memerangi dan memperlakukannya sebagai orang kafir walaupun dia mengklaim bahwa ia menyembunyikan Tauhid dan Iman, karena kita dalam hukum dunia ini diperintahkan untuk menghukumi berdasarkan dhahir, dan adapun masalah bathin maka kita tidak memiliki jalan untuk mengetahuinya setelah keterputusan wahyu.
Oleh sebab itu sebagian ulama telah membagi tentara thaghut atau kaum musyrikin kepada dua macam :
Dalam hal itu Syaikh Muhammad Ibnu Abdullathif Alu Asy Syaikh rahimahullah berkata: “Tidak dikatakan bahwa ia dengan sekedar berkumpul dan tinggal bersama orang musyrik adalah menjadi kafir, akan tetapi yang dimaksud adalah bahwa orang yang tidak mampu keluar dari tengah kaum musyrikin terus mereka mengeluarkannya dengan paksa bersama mereka (untuk memerangi kaum muslimin), maka status orang tersebut sama dengan status mereka dalam hal dibunuh dan diambil hartanya, tidak dalam kekafirannya. Adapun bila ia keluar bersama mereka untuk memerangi kaum muslimin secara sukarela dengan kemauan sendiri, dan ia membantu mereka dengan badan dan hartanya maka tidak ragu lagi bahwa status orang tersebut adalah sama dengan status mereka dalam kekafirannya.” (Majmu’atur Rasaa’il wal Masa’il : 2/135).
Maka hati-hatilah dari tempat-tempat yang menjerumuskan ini, dan bersegeralah berlepas diri dari musuh-musuh Allah, kufur terhadap mereka, dan menjauh dari mereka. Sesungguhnya orang yang tidak merealisasikan itu di dunia, maka ia akan berangan-angan saat penyesalan tidak berguna untuk bisa kembali ke dunia, bukan untuk shalat, bukan untuk zakat, dan bukan pula untuk shaum, akan tetapi untuk merealisasikan terlebih dahulu pokok agung ini, yaitu bara’ah (berlepas diri) dari musuh-musuh Allah ta’ala, karena tanpa hal itu tidaklah bermanfaat shalat, zakat, dan shaum sebagai mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti : “Seandainya kami dapat kembali (kedunia) pasti kami akan berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka berlepas diri dari kami”, Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka, dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka”. (QS. Al Baqarah : 167)
dan firman-Nya ta’ala :
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikan di dalam neraka, mereka berkata : “Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul”, dan mereka berkata :“Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, limpahkanlah kepada mereka azab dua kali lipat, dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar”. (QS. Al Ahzab : 66-68)
Inilah, sedangkan di dalam bab ini terdapat banyak hadist yang mengancam dan menghati-hatikan dari pekerjaan-pekerjaan semacam ini di sisi para penguasa (muslim) yang aniaya dan zalim, maka bagaimana dengan bekerja dengan hal serupa pada para penguasa yang kafir, musyrik dan murtad?? Dan di antara hadist-hadist itu antara lain :
Hati-hatilah kamu jangan sampai tergolong orang-orang yang binasa…!
Maka janganlah sampai kamu tergolong orang-orang yang mengikuti…awas, janganlah seperti itu!
Perhatikanlah bagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menganggap banyaknya polisi sebagai bagian dari fitnah (bencana) yang beliau khawatirkan atas umatnya. Dan di dalam asal hadist ini sesungguhnya shahabat (yang meriwayatkan hadist ini) memandang bahwa fitnah ini telah terbukti pada zamannya, oleh karena itu mengangan-angankan untuk mati, maka bagaimana dengan zaman ini yang banyak keburukannya dan sedikit kebaikannya?, maka hati-hatilah kamu dari jalan-jalan dan berbagai trik musuh-musuh Allah.
Bahasan ini panjang pembicaraan di dalamnya, akan tetapi dalam kadar ini terdapat kecukupan bagi orang-orang yang menginginkan hidayah.
Dan dari uraian yang lalu ini jelaslah di hadapanmu jawaban dari pertanyaan ketiga, karena ajaran kafir adalah satu, baik itu lokal maupun internasional, sedangkan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau Persekongkolan Bajingan Bajingan adalah lembaga kafir yang dikendalikan Yahudi yang tidak berdiri kecuali untuk melindungi kepentingan orang-orang kafir, baik itu Yahudi, Nashrani, maupun orang-orang mulhid. Bila saja kami tidak membolehkan bagi diri kami dan bagi ikhwan kami kaum muwahhidin untuk menjadi tentara dan anshar bagi satu negara dari negara-negara kafir itu dan kami menganggap itu bagian dari kekafiran, maka bagaimana boleh mereka menjadi hal seperti itu untuk negara-negara itu seluruhnya yang berserikat ? Yang di mana tentara-tentara itu membantu resolusi-resolusinya, politik-politiknya, dan putusan-putusannya yang muncul dari mahkamah kafir mereka, yaitu Mahkamah Internasional, sehingga mereka menjadi tentara yang setia terhadapnya dan terhadap undang-undang internasional yang kafir itu. Mereka berangkat untuk melindungi resolusi-resolusinya dan membela undang-undangnya dengan kekuatan senjata dan bisa jadi mereka terbunuh di jalannya. Kita memohon keselamatan dan ‘afiyah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Inilah yang sama sekali tidak bisa diterima oleh orang-orang yang memiliki sedikit akal saja, apalagi oleh orang yang telah mencium wangi tauhid.
Di dalam Shahih Bukhari, Kitabul Fitan bab: “Orang-orang yang benci memperbanyak jumlah orang-orang dalam fitnah dan kedzaliman” : Dari Abul Aswad berkata : “Ditetapkan keharusan mengirim pasukan atas ahli Madinah, maka saya mendaftarkan diri di dalamnya, kemudian saya menjumpai Ikrimah, lalu saya mengabarkan hal itu, maka dia sangat melarangnya, kemudian berkata : “Ibnu ‘Abbas mengabarkan kepada saya bahwa sejumlah dari kaum muslimin dahulu memperbanyak jumlah kaum musyrikin melawan Rasulullah, kemudian datang panah yang ditembakkan mengenai kepada salah seorang dari mereka sehingga membunuhnya, maka Allah menurunkan firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang di wafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri…” (QS. An Nisa’: 97)
Perhatikanlah —semoga Allah merahmatimu— larangan mereka dari menjadi utusan dalam pasukan yang memperbanyak jumlah orang-orang yang zalim, maka bagaimana dengan orang yang menjadi utusan dalam pasukan yang memperbanyak jumlah orang-orang kafir, musyrikin dan murtaddin? Maka hati-hatilah kamu jangan sampai menelantarkan agamamu karena ia adalah hal termahal yang engkau miliki, sedangkan selain itu adalah menuju kepada kehancuran.
Inilah yang bisa diutarakan dalam kesempatan yang singkat ini, saya memohon kepada Allah agar menjadikan saya dan saudara-saudara saya kaum muwahhidin bagian dari orang-orang yang mendengarkan ucapan, lalu mengikuti yang paling baik di antaranya, agar Dia mengokohkan kami atas Al Haq Al Mubin, serta menjadikan kami bagian dari anshar dien-Nya dan orang-orang pilihan-Nya, serta mengakhiri kehidupan kami dengan kesyahidan di jalan-Nya. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan
Dan Akhir seruan kami adalah segala puji milik Allah Rabbul ‘Alamin, dan shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada Nabi-Nya Muhammad, keluarganya dan para shabatnya.
Pertengahan Bulan Safar 1414 H
Abu Muhammad ‘Ashim Al Maqdisiy
Penterjemah berkata: Selesai diterjemahkan siang hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal 1427 H
**************
Ini adalah tiga judul materi perihal rincian status bekerja di dinas pemerintahan thaghut, dan silahkan pembaca menyimpulkannya sendiri dan jangan tertipu oleh fitnah Khairul Ghazali yang mengada-ada.
Nasehat saya kepada Khairul Ghazali dan orang-orang yang serupa dengannya, hendaklah mereka takut kepada Allah ta’ala dan selalu mengingat bahwa di sana ada hari pembalasan yang mana para thaghut yang mereka bela-bela itu akan berlepas diri dari para pembelanya, dan hendaklah ingat bahwa tindakan mereka itu adalah mendatangkan murka Allah dengan bukti bahwa para thaghut sangat meridlai perbuatan mereka dan menjajakannya kepada umat manusia dengan diajak berkeliling kemana-mana, dan menyebar luaskan karya-karya mereka. Padahal ridla Allah tidak mungkin berkumpul dengan ridla thaghut, dan hendaklah diingat selalu bahwa kebathilan akan segera lenyap walaupun untuk sementara menjadi popular karena peran thaghut, dan adapun al haq akan meresap dan menetap di dalam bumi walaupun segala upaya perintangan terhadapnya dilakukan. Maka silahkan Khairul Ghazali menikmati sesaat apa yang dia dapatkan dari ridla thaghut tersebut, karena sesudahnya akan ada balasan kebalikannya dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala, andai mereka tidak taubat sebelum ajal tiba.
[1] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Orang dikala menghalalkan sesuatu yang disepakati keharamannya atau mengharamkan sesuatu yang disepakati kehalalannya, atau merubah syari’at yang sudah disepakati, maka dia itu kafir murtad dengan kesepakatan para fuqaha.” (Majmu’ Al Majmu 3/267)
Coba perhatikan: Sekarang perjudian dibolehkan di tempat-tempat tertentu yang sudah dilokasikan, pelacuran dibolehkan di tempat-tempat khusus bahkan ada pajak atas kedua hal itu, praktek riba diberikan perlindungan hukum. Bukankah ini di antara bentuk penghalalan?
Bahkan bukankah Allah menetapkan bahwa tidak ada pilihan dalam menerima ajaran-Nya itu? tapi sekarang mereka menetapkan sistem yang memberikan hak bebas bagi rakyat untuk memilih apa yang mereka sukai tergantung suara mayoritas? bukankah ini bentuk perubahan akan syari’at ? (pent).
[2] Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata: “Siapa yang meninggalkan hukum yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah penutup para Nabi dan dia malah berhukum kepada syariat-syariat lain yang sudah dihapus, maka dia itu kafir, maka apa gerangan dengan orang yang berhukum kepada Yasiq (hukum buatan) dan lebih mengedepankannya terhadap hukum syariat itu, maka siapa yang melakukannya maka dia itu kafir dengan ijma’ kaum mushmin. (AI Bidayah Wan Nihayah 13/119).
Bila ini status orang yang berhukum kepada undang-undang buatan, maka apa gerangan dengan orang yang menghukumi dengan undang-undang buatan itu? Ini namanya thaghut. Mereka mendirikan lembaga untuk penggodokan hukum dan perundang-undangan, merubah, menambah, mengganti dan seterusnya(pent).
[3]. Seperti yang ada pada Sumpah Pegawai Negeri Sipil RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1975 pasal 6 yang berbunyi:
Demi Allah, Saya Bersumpah:
Bahwa saya untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;
Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
Bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu menurut sifatnya atau menurut perintah saya harus merahasiakan;
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara
[4] Maksudnya Saudi dan sekitarnya karena Saudi adalah negara kafir dan pemerintahnya adalah pemerintah kafir juga (lihat: Kawasyif Al Jaliyyah Fi Kufri Ad Daulah As Su’udiyyah). Bila hukum-hukum yang akan diutarakan adalah tentang pegawai pemerintah Saudi yang tidak frontal (terang-terangan) akan kekafirannya, maka apa gerangan dengan aparatur Negara Republik Indonesia ??? (Pent.)
[5] Di antara makna Dien adalah aturan/hukum/undang-undang sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala :
مَا كَانَ لِيَأْخُذَ أَخَاهُ فِي دِينِ الْمَلِكِ
“Tiadalah patut Yusuf menghukum saudaranya menurut undang-undang raja” (QS. Yusuf : 76) Pent
[6] Seperti yang ada pada Sumpah Pegawai Negeri Sipil RI, berdasarkan Peraturan Pemerintah No.21 Tahun 1975 pasal 6 yang berbunyi :
“Demi Allah, Saya Bersumpah :
Bahwa saya untuk diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil akan setia dan taat sepenuhnya kepada Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, Negara dan Pemerintah;
Bahwa saya, akan mentaati segala peraturan perundang-undangan yang berlaku dan melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepada saya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggung jawab;
Bahwa saya akan senantiasa menjunjung tinggi kehormatan Negara, Pemerintah, dan martabat Pegawai Negeri serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan Negara daripada kepentingan saya sendiri, seseorang atau golongan;
Bahwa saya akan memegang rahasia sesuatu menurut sifatnya atau menurut perintah saya haruus merahasiakan;
Bahwa saya akan bekerja dengan jujur, tertib, cermat, dan bersemangat untuk kepentingan Negara.” (Pent.)
[7] Berjanji untuk melakukan kakafiran walaupun janji yang dusta dan tidak ada niat dihati untuk merealisasikannya adalah kekafiran dan orangnya divonis kafir, seperti PNS yang berjanji dengan janji tadi, sedang ia tidak ada niat untuk patuh di dalam hatinya.(Pent.)
[8] Di dalam ayat ini ada faidah lain yang besar, yaitu bahwa tawalliy kepada orang-orang kafir dan membantu mereka terhadap kaum muwahhidin adalah kufur amaliy yang mengeluarkan dari millah (agama), meskipun pelakunya tidak meyakini atau tidak menghalalkannya di dalam hatinya. Dan kami telah membantah mereka dan membongkar syubhat mereka yang paling masyhur dalam risalah kami yang berjudul “Imta’un Nadlar Fi Kasyfi Syubhati Murji’atil ‘Ashri”, maka silahkan merujuk ke sana.
[9] Yang mana tentara, polisi, dan intelejen itu ibarat pasak/paku yang mengokohkan bangunan (sistem dan kekuasaan) yang bila mereka tidak ada, maka bangunan kekuasaan thaghut itu tidak akan berdiri.(Pent)
[10] Ini kalau jika ada kekafiran lain seperti sumpah dan yang lainnyya.(Pent)
[11] Tarikh Baghdad : 10/284, 12/63
[12] ‘Arif adalah tokoh masyarakat dari setiap suku dan yang lainnya yang diangkat sebagai perantara antara penguasa dan masyarakat yang menyampaikan masalah-masalah yang dialami masyarakat kepada penguasa(Pent)
[13] Maksudnya mereka mengakhirkan shalat dan melaksanakannya di akhir waktu sebelum waktu habis (Pent)
Sumber: millahibrahim.wordpress.com
FREE ONGKIR. Belanja Gamis syari dan jilbab terbaru via online tanpa khawatir ongkos kirim. Siap kirim seluruh Indonesia. Model kekinian, warna beragam. Adem dan nyaman dipakai.
http://beautysyari.id
Di sini tempatnya-kiosherbalku.com. Melayani grosir & eceran herbal dari berbagai produsen dengan >1.500 jenis produk yang kami distribusikan dengan diskon sd 60% Hub: 0857-1024-0471
http://www.kiosherbalku.com
Mau penghasilan tambahan? Yuk jadi reseller tas TBMR. Tanpa modal, bisa dikerjakan siapa saja dari rumah atau di waktu senggang. Daftar sekarang dan dapatkan diskon khusus reseller
http://www.tasbrandedmurahriri.com
Suplier dan Distributor Aneka Obat Herbal & Pengobatan Islami. Melayani Eceran & Grosir Minimal 350,000 dengan diskon s.d 60%.
Pembelian bisa campur produk >1.300 jenis produk.
http://www.anekaobatherbal.com
Di Akhir Desember Harus Semakin Khawatir Bencana, Kenapa?Kamis, 26 Dec 2024 12:03 |
|
Feminisme dan Delusi Kesetaraan GenderRabu, 25 Dec 2024 20:55 |