Kamis, 17 Jumadil Akhir 1446 H / 17 September 2009 00:00 wib
36.068 views
Yakinlah, Setiap Kesulitan Pasti Mendatangkan yang Lebih Baik
Hidup memang medan ujian. Setiap kita pasti mengalami kondisi buruk dan sempit sebagai bagian dari kehidupan. Tapi ujian kesempitan itu tidak berarti sebagai beban, hukuman atau kesulitan yang tak mempunyai arti di sisi Allah swt. Ujian yang di alami setiap hamba Allah swt, sebenarnya salah satu bentuk kebaikan Allah swt. Korelasi ujian dan kebaikan Allah swt itu jelas dipaparkan Rasulullah saw, “Barangsiapa yang dikehendaki Allah kebaikan pada dirinya maka Dia menimpakan cobaan kepadanya.” (HR Bukhari)
Berikut adalah beberapa alasan agar kita yakin setiap kesulitan pasti beriring kemudahan. Dan setiap kesempitan pasti mendatangkan yang lebih baik.
1. Lebih baik karena bisa mendatangkan lipatan pahala.
Musibah, ujian dan kesulitan dalam hidup ini sebenarnya syarat agar kita bisa meraih sesuatu yang lebih baik, antara lain mendapatkan lipatan pahala dari Allah swt. Berbeda dengan kenikmatan, kesempitan adalah sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu. Berat rasanya saat menghadapi kondisi musibah dengan kerugian yang tak mungkin dilukiskan. Tapi jika seseorang mampu bersabar menghadapi kesulitan dengan melawan kehendak hawa nafsunya, berarti dia mampu menahan diri dalam kondisi sulit, maka Allah awt akan mengganjarnya dengan surga. Sesungguhnya surga hanya bisa di raih dengan sesuatu yang tidak disukai hawa nafsu manusia. Rasulullah saw bersabda, “Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai (oleh hawa nafsu) dan sedangkan neraka itu dikelilingi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Surga itu dikelilingi dengan hal-hal yang tidak disukai (oleh hawa nafsu) dan sedangkan neraka itu dikelilingi dengan hal-hal yang disukai hawa nafsu.(HR. Bukhari dan Muslim)
Kesabaran dan keridhaan kita menerima musibah adalah kunci untuk membuka pintu surga, dan tidak ada baladan bagi orang yang bersabar dan ridha menerima takdir Allah melainkan surga. Allah swt berfirman dalam hadits Qudsi, “Tiada suatu balasan yang lebih pantas di sisi-Ku bagi hamba-Ku yang beriman, jika Aku telah mencabut nyawa seseorang yang disayangi-nya dari penghuni dunia ini kemudian dia bersabar atas hal itu melainkan surga.” (HR. Bukhari)
Saat kita dilanda musibah apapun bentuknya, ketika kita terbaring sakit, merasakan kesempitan hidup, terluka, terdzalimi, kehilangan orang yang dikasihi, ingatlah bahwa Allah swt sedang menganugerahkan bentuk cinta-Nya kepada kita. Renungkanlah hadits Rasululullah saw, “Sesungguhnya besarnya pahala tergantung seberapa beratnya ujian, Dan sesungguhnya Allah apabila mencintai suatu kaum, maka Dia menguji mereka, barangsiapa yang ridha (menerima cobaan dan ujian itu), maka dia mendapatkan keridhaan, dan barangsiapa yang murka (tidak ridha menerima cobaan dan ujian itu), maka dia mendapat kemurkaan.” (HR. At Tirmizi)
2. Lebih baik karena bisa menghapuskan dosa.
Kesempitan, rasa sakit secuil apapun bagi seorang Mukmin pasti memberi efek kebaikan pada dirinya. Rasulullah saw menyebutkan, bahwa semua rasa sakit yang dialami seorang Muslim bisa menaikkan derajat orang tersebut di sisi Allah swt, dan menghapuskan kesalahan orang tersebut. Perhatikanlah sabdanya, “Tiadalah seorang Muslim tertusuk duri atau yang lebih dari sekedar itu, melainkan ditetapkan baginya karena hal itu satu derajat dan menghapus pula satu kesalahan karena hal itu.” (HR. Muslim)
Lihatlah sabda Rasulullah saw lain, yang menyebutkan, “Bencana selalu menimpa seorang Mukmin dan Mukminah pada dirinya, anaknya dan hartanya, sehingga dia bertemu dengan Allah, dalam keadaan tidak memiliki kesalahan.” (HR. At Tirmizi, Ahmad dan Al Hakim). Rasulullah saw juga bersabda, “Tiada seorang mukmin yang mengalami kesusahan terus menerus, kepayahan, penyakit dan juga kesedihan, bahkan sampai kepada kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan hal itu dosa-dosanya.” (HR Muslim)
Tiada seorang mukmin yang mengalami kesusahan terus menerus, kepayahan, penyakit dan juga kesedihan, bahkan sampai kepada kesusahan yang menyusahkannya, melainkan akan dihapuskan dengan hal itu dosa-dosanya.(HR Muslim)
Bahkan boleh jadi kita dalam catatan takdir termasuk orang yang mempunyai kedudukan yang tinggi dan mulia di sisi Allah swt, dan kita tidak mungkin bisa mencapai derajat mulia dan tinggi itu kecuali setelah kita mendapatkan kesulitan dan kesempitan. Kita juga tidak bisa mengandalkan amal ibadah yang dilakukan untuk bisa mendapatkan posisi terhormat di sisi Allah, karena ibadah yang selama ini kita lakukan tidak lah cukup untuk membawa kita pada kedudukan mulia itu. Lalu, Allah swt memberikan ujian, cobaan berupa kesempitan dan kesulitan yang bisa mengantarkan kita pada keridhaan Allah swt.
Terkadang, ujian itu juga datang melalui beragam tantangan dan pengorbanan yang kita lakukan di jalan Allah swt, yang tidak habis-habis. Lalu kita bersabar dan tetap berprasangka baik kepada Allah swt, dan hal itulah yang menyebabkan kita mendapat kedudukan tinggi di sisi Allah swt. Perhatikanlah baik-baik keterangan terkait hal ini dari hadits yang disampaikan Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya seseorang benar-benar memiliki kedudukan di sisi Allah, namun tiada suatu amal apapun yang bisa menghantarkannya ke kedudukan tersebut, maka Allah memberikan cobaan kepadanya secara silih berganti dengan sesuatu yang tidak dia sukai, sehingga Allah mengantarkannya untuk sampai kepada kedudukan tersebut.” (HR. Abu Ya’la, Ibnu Hibban Al-Hakim)
3. Lebih baik karena bisa menambah keimanan, ketundukan dan kepasrahan pada Allah.
Al-Qur’an menyebutkan manusia mempunyai karakter zaluumun kaffar, yakni zalim dan kufur terhadap nikmatbAllah swt. Banyak di antara kita yang lupa menjalani kewajiban bersyukur kepada Allah swt, meski telah diberikan guyuran kenikmatan yang banyak. Malah justru yang sering dirasakan manusia adalah, menganggap diri sendiri selaku orang yang paling berat masalahnya, paling berat beban hidupnya, paling sulit kondisinya. Kita kerap merasakan mendapat musibah, kesulitan, ujian yang sungguh berat, tapi melupakan ragam kenikmatan, kemudahan, dan kemurahan Allah swt yang sangat jauh lebih banyak. Dan kenikmatan, kemudahan serta kemurahan itu bisa dirasakan ketika kondisi sudah berubah menjadi sebaliknya.
Kenikmatan dan kemudahan sering memancing diri untuk bersikap sombong, angkuh, bangga dan ujub lantaran seseorang merasa ia bisa melakukan apa saja yang diinginkan. Namun dengan adanya musibah dan ujian yang Allah swt berikan, maka penyakit-penyakit hati seperti itu bisa sirna, lalu jiwa menjadi bersih karena rahmat dan karunia Allah. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Hati dan ruh bisa mengambil pelajaran yang bermanfaat dari penderitaan dan penyakit, kebersihan hati dan ruh itu tergantung sejauh mana penderitaan jasmani dan kesulitannya.” Lebih lanjut ia mengatakan, “Kalau bukan karena cobaan dan musibah di dunia ini, niscaya manusia terkena penyakit hati seperti: al kibr (kesombongan), al ujub (bangga diri), dan al qaswah (keras hati). Padahal sifat-sifat itulah uang menyebabkan kehancuran bagi seseorang di dunia dan di akhirat. Di antara rahmat Allah, kadang-kadang manusia tertimpa musibah, shingga dirinya terlindungi dari berbagai penyakit hati dan terjaga kemurnian ubudiyyahnya (kepada Allah). Mahasuci Allah yang merahmati manusia dengan musibah dan ujian.” (Tuhfatul Mariidh/25)
Maka, harusnya kesulitan dan musibah mendorong kita lebih merasakan kekerdilan di hadapan Allah swt. Ketika itulah kita lebih mendalami makna ketundukan, kepasrahan dan ketawakkalan kepada Allah swt. Terbitlah kembali sinar keimanan dalam diri kepada Allah swt. Hangatlah jiwa dengan kedekatan kepada Allah swt. Jika itu terjadi, sesungguhnya ketika itulah rahmat Allah swt turun kepada orang tersebut. Allah berfirman : “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-Rasul kepada umat-umat sebelummu, kemudian Kami timpa mereka dengan kesengsaraan dan kemelaratan, supaya merka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk dan merendahkan diri.” (QS. Al-An’am:42)
Majalah Tarbawi, 9 November 2007
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!