Selasa, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 28 Oktober 2014 09:51 wib
30.876 views
Abu Mohammad Al-Maqdisi: Menentang Perang Salib di Timur Tengah
AMMAN (voa-islam.com) - Pemerintah Jordania mengambil langkah sangat hati-hati dengan menahan seorang tokoh jihadis, Abu Mohammad al-Maqdisi. Al-Maqdisi ulama jihadis yang sangat berpengaruh, dan sikapnya sangat menentang hegemoni Amerika di Timur Tengah.
Penahanan terhadap al-Maqdisi ini sebagai langkah pemerintah Jordania, mengantisipasi semakin membanjirnya dukungan kepada kelompok jihadis, terutama ISIS melalui internet.
Tindakan pasukan keamanan Jordania menangkap tokoh jihadis yang sangat berpengaruh ini, Abu Mohammad al Maqdisi, karena dituduh melakukan kampanye 'terorisme' melalui internet, dan mendapatkan dukungan yang sangat luas, kata sumber keamanan di ibukota Jordan, Amman.
Para pejabat keamanan Jordan, mengatakan Maqdisi diperintahkan untuk ditahan selama 15 hari, dan Al-Maqdisi dipanggil untuk diinterogasi oleh jaksa keamanan negara. Al-Maqdisi didakwa dengan tuduhan telah menggunakan internet untuk mengkampanyekan dan menghasut mendukung organisasi-organisasi teroris dan kelompok jihad.
Ulama yang sangat terpandang di Jordania, dipandang sebagai mursyid (pembimbing) spiritual dari pemimpin kelompok Al-Qaidah di Irak, Abu Musab Al-Zarqawi, dan kalangan think tank di akademi militer West Point (AS), menilai, Al-Maqdisi sebagai tokoh paling berpengaruh di dunia Arab, saat ini.
"Al-Maqdisi tak lama ditangkap, dan kemudian muncul di kantor kejaksaan dan diinterogasi," kata seorang sumber keamanan kepada Reuters. Al-Madisi dalam beberapa bulan terakhir telah mengkritik ISIS. Namun, Al-Maqdisi berubah sikap dan bersimpati kepada ISIS, bersamaan dengan serangan udara AS terhadap kelompok ISIS di Irak dan Suriah.
Meskipun Al-Maqdisi tidak secara terbuka mengkritik pemerintah Jordania dan beberapa negara Teluk dipimpin oleh Arab Saudi yang bergabung dalam koalisi AS yang memerangi ISIS. Al-Maqdisi menggambarkannya sebagai Perang Salib melawan Islam. Kritikan terhadap pemerintah Jordania dan Arab serta sejumlah negara Teluk, yang ikut memerangi ISIS, membuat pemerintah Jordania terganggu.
"Jangan bersukacita ketika salah satu saudara kita menderita akibat agresi tentara Salib," kata Maqdisi dalamnya suratnya terakhir.
Betapapun Al-Maqdisi sangat marah dengan dunia Arab yang sekarang ini membantu AS memerangi ISIS, dan bahkan membiarkan Muslim Sunni dihancurkan oleh tangan AS dan Arab, dan memberi kemenangan kepada Syi'ah, seperti yang terjadi di Yaman.
Al-Maqdisi menghabiskan masa lima tahun di sebuah penjara di Jordania karena dituduh mendukung kelompok jihadis di berbagai negara, dan baru dibebaskan pada Juni lalu. Beberapa pejabat Jordania menyarankan agar pihak berwenang, yang sangat takut terhadap kelompok jihadis, membiarkan para jihadis melintasi perbatasan Jordania menuju Suriah, dan membebaskan Al-Maqdisi demi kepentingan keamanan Jordania.
Al-Maqdisi mengkritik proklamasi ISIS yang mendirikan Khilafah, dan mengatakan itu hanya memperdalam pertikaian diantara kelompok-kelompok jihad. Meskipun sekarang sesudah serangan udara AS dan koalisi Arab terhadap ISIS, al-Maqdisi berubah pendirian, dan berbalik menyerang negara-negara Arab yang berkoalisi dengan AS.
Namun, fihak keamanan pemerintah Jordania mulai mengkhawatirkan, ketika al-Maqdisi dan para ulama lainnya di seluruh wilayah Timur Tengah, berjuang menengahi konflik diantara kelompok jihadis, dan mencoba menghentikan konflik, sejak awal bulan lalu. Ini dipandang akan menguntungkan kelompok jihadis.
Pemerintah Arab, sangat mengkawatirkan langkah al-Maqdisi berserta ulama lainnya, yang mencoba dengan sungguh-sunggun ingin mengakhiri konflik di antara para kelompok jihadis, ungkap sebuah sumber yang dekat dengan keamanan Jordania.
Para pemimpin Arab yang sudah ikut dalam koalisi dengan AS, tidak ingin melihat adanya persatuan diantara kelompok mujahidin. Usaha-usaha melemahkan mereka terus dijalankan. Dengan cara mengadu-domba, sampai terjadi perang diantara kelompok jihadis.
Pemerintah Jordania bukan hanya menahan Al-Maqdisi, tapi juga melakukan penangkapan besar-besaran terhadap sejumlah ulama dan aktifis di Jordania yang cenderung simpati kepada ISIS. Meskipun dukungan mereka baru sebatas melalui internet.
Seorang diplomat dan pejabat di Jordania mengatakan, dalam dua bulan terakhir, dinas intelijen Jordania telah memperketat keamanan di sekitar zona sensitif pemerintah dan meningkatkan pengawasan terhadap kelompok-kelompok yang dituduh sebagai 'fundamentalis'.
Sejak Raja Husien berkuasa, Jordania menjadi sekutu utama AS. Hubungan bilateral dengan Zionis-Israel pun dibuka. Sekarang Jordania, dipimpin Raja Abdullah, anak dari Raja Husien, dan meneruskan kebijakan pemerintahannya yang pro-AS.
Jordania yang separuh penduduknya warga Palestina sangat berhati-hati dan selalu mengambil langkah keras, terutama menghadapi kelompok-kelompok Islam yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah Jordania, termasuk Jamaah Ikhwanul Muslimin.
Tapi, bersamaan dengan perkembangan regional, dan munculnya gerakan jihad yang bermula dari invasi AS di Irak, lahir kelompok-kelompok jihadis di Timur Tengah. Sekarang ribuan warga Jordania yang ikut terjun ke medan jihad di Suriah dan Irak.
Ini tidak telepas dari peran tokoh jihadis, di antaranya Al-Maqdisi. Inilah konsekuensi dari tindakah invasi AS di Irak, yakni melahirkan kelompok jihad. Sejak AS meninggalkan Baghdad, maka berikutnya terjadi perang antara kelompok Sunni dan Syi'ah.
AS sudah mencoba membuat skenario dengan melengserkan Perdana Menteri Irak, Nuri Al-Maliki, yang sangat fanatik, dan digantikan Haedar Al-Abadi dan mengakomodasi kelompok Sunni dalam pemerintahannya. Tapi ini tidak menghentikan perang yang sudah berkecamuk antara Sunni-Syiah di Irak dan Suriah. Karena akar konflik sudah sangat dalam.
Sekarang, justru negara-negara Arab Sunni berkolaborasi dengan AS dan Syiah, ikut menghancurkan Muslim Sunni. Karena para pemimpin Arab melihat kelompok-kelompok Sunni, yang sekarang membentuk kelompok-kelompok jihad yang bertujuan membebaskan negara-negara Arab Islam dari ancaman perang Salib, mengancam kekuasaan mereka.
Raja, Pangeran, dan Perdana Menteri, semua mereka takut kehilangan kekuasaan, sehingga bergabung dengan koalisi pimpinan AS. Mereka menjadi alat AS, dan memerangi saudara mereka sendiri Muslim. Wallahu'alam.
mashadi1211@gmail.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!