Selasa, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 18 Maret 2014 14:08 wib
31.252 views
Citra Jokowi: Bukti Penjajahan Media terhadap Rakyat di Era Liberal Kapitalistik
Solo (voa Islam ) - Bagi siapa saja yang ingin bangsa ini selamat dunia dan akherat, merasa gundah gulana. Kenapa ? Karena nyata-nyata bangsa ini sebenarnya belum pernah merdeka dalam makna yang sejatinya. Benar, jika tentara Kerajaan Belanda atau pasukan Kekaisaran Jepang tidak lagi hadir dan wira-wiri di sekitar rakyat. Namun apakah tentara dan polisi yang direkrut dari bangsa ini serta semua pelayan negara (birokrat) sudah betul-betul menjalankan hakekat kemerdekaan yang dijadikan kebanggaan kalangan nasionalis itu?
Mungkin, ada yang punya asumsi kalau hidup dalam penjajahan bangsa asing maka semua penduduk asli pribumi akan hidup melarat. Pakaiannya compang-camping dan semua hanya makan bulgur (ampas padi). Sehingga kalau sekarang banyak rakyat sudah berpakaian bagus, makan yang enak-enak dan berkendaraan baik, mereka meyakini itulah kemerdekaan sejati.
Atau bagi yang mereka maniak kerja berpendapat bahwa isi kemerdekaan sesungguhnya adalah pembangunan proyek-proyek materiil ansich. Jika sebuah bangsa mampu menampilkan perolehan kemajuan materi maka itulah kemerdekaan yang sebenarnya. Jalan, jembatan, lapangan terbang, pelabuhan, terminal hingga bangunan-bangunan bertingkat yang tinggi menjulang serta berbagai sarana penunjang kehidupan yang semakin canggih dan praktis adalah sederet bukti tercapainya tujuan kemerdekaan versi kelompok ini.
Sungguh sayang sekali, Rabb yang telah menciptakan mereka tidak membenarkan apa yang mereka anut sekarang ini, bahkan IA membantah dan merendahkan keyakinan palsu mereka. Perhatikan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
“Dan mereka (orang-orang yang ingkar terhadap Pencipta-nya) berkata: ‘ Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja. Kita mati dan kita hidup, dan tidak ada yang mematikan kita melainkan masa (ad dahr).” Dan sekali-kali mereka tidak memiliki pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS. Al Jaatsiyah: 24)
“ Mereka (orang-orang kafir itu) hanya menngetahui yang lahir (nampak) saja dari kehidupan dunia sedangkan tentang kehidupan akherat mereka adalah lalai.” (QS. Ar Ruum: 7)
Dari ayat-ayat suci diatas, artinya bahwa jika kita memandang kehidupan hanya dari segi materi saja maka kita sejatinya adalah termasuk kalangan orang-orang yang mendustakan Tuhan. Walau secara lantang mengakui wujudnya Ketuhanan Yang Maha Esa dalam ideologi negara. Bahkan seandainyapun kita meyakini adanya kehidupan akherat yang lebih kekal dan nyata dibanding kehidupan dunia sekarang namun kita tetap lebih condong kepada kehidupan duniawi ini, maka kitapun akan tetap digolongkan sebagai orang-orang yang ingkar kepada Alloh Rabbul ‘alamiin.
Firman-Nya:
“Dia-lah Alloh yang memiliki segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan celakalah bagi orang-orang yang kafir karena siksaan yang sangat pedih. (yaitu) orang-orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akherat dan menghalang-halangi manusia dari jalan Alloh serta menginginkan agar jalan Alloh itu bengkok. Mereka dalam kesesatan yang nyata.” (QS Ibrahim: 3)
Salah Memilih Sistim Hidup dan Pemimpin: Sebab Kekufuran
Ketika dunia dijadikan tujuan hidup dan seluruh dinamika kehidupannya hanya berorientasi materi, maka ketertipuan dalam hidup akan menjadi keniscayaan. Wallohu a’lam. Buktinya, bangsa ini tidak pernah keluar dari lingkaran setan sejak jaman penjajahan hingga era yang disebut sebagai zaman kemerdekaan sekarang ini.
Lingkaran setan yang dimaksud adalah semua kondisi dimana ajaran Tuhan (Al Islam) hanya dijadikan sebagai ornamen atau suplemen kehidupan. Bukan dijadikan tuntunan yang tuntutannya mesti dijalankan. Mulai dari songkok (peci) yang menutup kepala, hingga Qur-an diletakkan diatasnya saat bersumpah. Namun semua itu tidak bisa menutupi pembangkangan banyak pemimpin bangsa ini yang melakukan permusuhan terhadap Syari’at yang diturunkan Alloh kepadanya.
Kemerdekaan sejati bagi seorang muslim sesungguhnya ketika ia secara bebas dapat mengaktualisasikan semua kehendak Rabb-nya dalam setiap sendi kehidupan, baik dalam ranah skaral maupun profan. Kemerdekaan beribadah kepada Alloh secara vertikal dan menerjemahkan tuntunanNya saat berinteraksi (muamalah) dengan sesama manusia secara horisontal.
Maka saat memilih Al Islam sebagai sistim hidup dan boleh menolak sistim hidup lainnya dengan sebenarnya maka itulah kemerdekaan hakiki. Dimana Al Islam sendiri memiliki prosedur prinsip dan mekanis yang standar dalam menentukan kepemimpinan.
Justru ketika kita hidup dalam kemerdekaan yang semu (pseudo Liberty) sebagaimana kita alami sekarang maka Islam mengajarkan kita untuk berjuang dan melawan semua simbol-simbol kepalsuan tersebut beserta para pendukung-pendukungnya. Paling tidak, kita sebagai muslim tidak mudah menerima segala informasi yang ditebarkan media untuk menguasai alam pikiran kita.
Media sebagai Pilar keempat Demokrasi
Pada tataran idealnya, media semestinya menyuarakan kebenaran dari fakta-fakta yang ada. Jadi bukan sebaliknya menjadikan fakta-fakta yang ada sebagai ukuran kebenaran finalnya. Idealisme membutuhkan frame yang universal, integral dan komprehensip sedangkan media yang menjadi pelacur idealisme menjadikan bingkai kepentingan dan keuntungan dengan mengorbankan prinsip-prinsip kebenaran. Fakta-fakta akan dipilih dan dipilah berdasarkan konteks ‘pelacuran idealisme’ kemudian diplot kedalam cawan keuntungan atau kepentingan semata-mata.
Jika saja ada yag berpendapat bahwa kerja media adalah pekerjaan yang mulia maka pendapat ini tidak boleh lepas dari integritas dan kapabilitas profesional yang berdiri diatas pilar dan sendi kebenaran. Keluar sedikit saja dari konteks ini maka media tak ubahnya menjadi kumpulan orang yang tega melacurkan idealisme profesionalnya atau paling rendah jadi pengemis ‘elit’ yang hidup dari belas kasihan kalangan beruang, bisa pengusaha ataupu penguasa.
Demokrasi sebagai sistim politik yang lahir dari liberal kapitalistik (sekularisme), dengan sendirinya akan kesulitan mewujudkan profesionalis media yang berintegritas. Integritas disini sekurang-kurangnya mengandung unsur Kejujuran, Disiplin dan Tanggung Jawab. Kapabilitas profesional tanpa integritas dimaksud biasanya malah akan menjadi senjata makan tuan bahkan ancaman bagi kehidupan sekitarnya. Sehingga dalam kutub ekstrim, media bisa menjadi common enemy bagi sebuah komunitas masyarakat.
Media jurnalistik dengan kemampuan investigasi adalah sebuah badan yang beda-beda tipis dengan kerja badan intelejen ataupun penyidikan. Bahkan saat berkiprah dalam ranah ilmiah, media jurnalistik juga akan bekerja menjadi semi lembaga riset. Disinilah integritas awak media akan diuji, apakah ia akan jadi insan terdepan pengabar atau malah menjadi pengabur informasi. Independensi media mestinya diterjemahkan sebagai aktualisasi keberpihakan pada kebenaran bukan selainnya.
Fenomena Pencitraan Media untuk Jokowi
Setelah kesuksesan politik pencitraan yang dilakoni SBY sepuluh tahun lalu, kini muncul pula politik pencitraan gaya baru. Kali ini melibatkan dukungan massif semua media baik cetak, elektronik, online, maupun sosial.
Adalah seorang Jokowi yang digadang-gadang untuk jadi presiden dan diblow-up habis-habisan oleh media-media mainstream. Dukungan secara massif itu bisa dibilang tidak wajar karena Jokowi yang adalah seorang ‘muslim’ justru tidak “laku” di media Islam seperti voa-Islam, Arrahmah, Suara-Islam, dll. Bukankah kalau seorang muslim sangat luar biasa dalam memimpin, maka media-media muslim justru akan ikut memberitakannya dengan bombastis? Tapi bukannya diberitakan secara bombastis, Jokowi justru diberitakan secara negatif di media-media muslim tersebut.
Keanehan ini ditambah dengan adanya informasi bahwa kebanyakan media mainstream terindikasi dibayar untuk pencitraan Jokowi. Menurut informasi, media-media tersebut adalah:
1) First Media Grup (beritasatu1.TV beritasatu .com, suara pembaruan, Jakarta Globe, Suara Pembaruan, The Straits Times, Majalah Investor, Globe Asia, The Peak, Campus Asia, Student Globe, Kemang Buzz, Campus Life, Termasuk Beritasatu FM. First Media Grup adalah milik James Riady (Lippo Grup), konglomerat yang bersahabat baik dgn Bill Clinton dan terlibat Lippo Gate yg terjadi di AS, ketika James Riady cs tertangkap memberikan dana politik illegal jutaan dollar kepada timses capres Demokrat Bill Clinton untuk pemenangan Clinton pada pemilihan Presiden AS. Uang sumbangan James Riady cs itu kemudian terbukti berasal dari China Global Resources Ltd, sebuah perusahaan kedok milik China Military Intelligence (CMI).
2) Media lain yang dikontrak mahal untuk pencitraan palsu Jokowi adalah Detik Grup. Ngakunya milik Chairul Tanjung alias CT, tapi sebenarnya milik Salim Grup. Detik.com Setiap hari, detikcom memuat berita tentang pencitraan palsu Jokowi puluhan bahkan kadang lebih 100 berita. Chairul Tanjung hanya dipinjam nama dan bertindak untuk dan atas kepentingan Antony Salim (Salim Grup).
3) Kompas /Gramedia Grup memang tidak segila detikcom siarkan Jokowi, tapi tetap punya KANAL BERITA KHUSUS untuk mempromosikan Jokowi dan Ahok. Diprediksi menjelang masa pilpres 2014, Kompas dan Gramedia Grup akan habis – habisan mendukung Jokowi – Ahok karena sejalan dengan misi medianya, pelemahan Islam di Indonesia.
4) Jawa Pos Grup. Tidak melibatkan semua media milik Dahlan Iskan yang jumlahnya 185 TV, Koran, Online media, dll itu. Sekitar 40% JawaPos Grup dikontrak. Namun, dipastikan jika Dahlan Iskan mau sebagai capres, Jawa Pos Grup tidak akan terlalu mendukung Jokowi kecuali mendapat permintaan khusus dari Chairul Tandjung, tokoh yang merekomendasikan Dahlan Iskan ke Presiden SBY untuk ditunjuk sebagai Menteri BUMN tahun 2011 lalu.
5) Yang paling gencar jilat Jokowi adalah Koran Rakyat Merdeka. Ada saja berita (palsu) istimewa tentang Jokowi. Kontraknya puluhan Milyar.
6) Tempo (majalah dan Online) adalah media pelopor yg orbitkan Jokowi dengan penghargaan “10 Tokoh Terbaik (penghargaan abal-abal), hanya karena bisa pindahkan Pedagang Kaki Lima (PKL), itu pun dilakukan setelah hampir setahun bolak balik mengunjungi dan mengundang PKL makan bersama. Fakta terakhir, PKL Solo kembali ke lokasi awal sebelum pindah karena di tempat baru dagangan mereka tidak laku.
7) Tribunnews Grup (Bosowa dan Kompas) juga dikontrak untuk pencitraan palsu Jokowi. Demikian juga Fajar Grup (Alwi Hamu / Dahlan Iskan). Alwi Hamu juga merupakan patner bisnis Dahlan Iskan di media dan PLTU Embalut, Kaltim yang sarat korupsi itu.
8) Metro TV, tidak tahu sekarang dibayar berapa untuk kontrak pencitraan palsu Jokowi sampai 2014. Tapi saat Pilkada DKI puluhan Milyar. Sejak dapat bisnis iklan dari Konglomerat – konglomerat pendukung Jokowi, Metro TV jadi corong nomor satu Jokowi, disamping jadi corong kampanye dan pencitraan Dahlan Iskan yang memberikan kontrak iklan luar biasa besar dari BUMN – BUMN kepada Metro TV.
9) SCTV grup. Pemiliknya Edi dan Popo Sariatmadja malah menjadi cukong utama. Koordinator media pencitraan Jokowi, membantu James Riady. Dukungan promosi dan kampanye yang diberikan untuk Jokowi gratis alias tanpa bayaran, meski diduga sebenarnya sudah mendapatkan imbalan dari dana pemenangan Jokowi yang telah terkumpul puluhan triliun dari sumbangan para konglomerat hitam Indonesia.
10) Media raksasa lain seperti Vivanews grup (TV One, ANTV, Vivanewscom dll) milik Bakrie meski kontrak dgn Cukong Jokowi tapi porsinya kurang dari 30%, dan masih melihat perkembangan situasi dan kondisi politik nasional mengingat Aburizal Bakrie masih berstatus Ketum Golkar dan kandidat capres.
11) Selain media cetak, televisi mainstream, sosial media seperti twitter, facebook, kaskus dll juga dikontrak khusus. Lihat saja di sini. Bahkan di twitter juga mulai ada akun relawan yang berusaha menjelaskan dengan kata-kata manis mengenai tingkah-polahnya yang anomali pada tiap akun yang berkomentar negatif. Rumornya ia memiliki buzzer sebanyak 1500-2000-an yang mengelola lebih dari 10.000 akun sosial media . Buzzer adalah semacam pasukan bayaran online, yang siap menjaga reputasinya di internet dengan cara menyusup di berbagai forum dan kolom komentar untuk mendongkrak citranya. Para buzzer bayaran ini akan berkomentar positif tentangnya dan menyerang habis-habisan mereka yang tidak melihatnya sebagai “dewa”. Dulu waktu pilkada DKI, selain orang-orang yang permanen kelola akun untuk pencitraan Jokowi, dibentuk juga Tim Jasmev. Puluhan Milyar biayanya.
(lihat: http://radennuh.org/2014/02/28/rahasia-dibalik-citra-dan-popularitas-jokowi-2/)
Rakyat Masih Percaya Mantera Media
Menguasai suara mayoritas rakyat di negri ini konon tidak mahal. Demokrasi yang bathil ini berporos pada Vox Populi Vox Dei, Suara Rakyat adalah Suara Tuhan. Tidak lagi melihat siapa yang bersuara, profesi apapun, mulia atau tercela, selama ia termasuk rakyat maka boleh bersuara. Tidak salah kalau ada yang bilang bahwa dalam demokrasi suara pelacur (PSK) atau Gigolo sama dengan suara ‘Ulama (kiyai haji, ustadz/ah dll).
Bahkan menurut cerita Ustadz Fahmi Salim dari Majelis Ulama Indonesia melalui jejaring sosial, seorang pengusaha besar berani memastikan bahwa ongkos pemenangan seorang calon Presiden di Indonesia tidak lebih mahal bahkan jauh lebih murah daripada akuisisi Facebook terhadap Whatsapp. Facebook mengeluarkan dana hingga 19 Milyar US $ untuk hal itu, sedangkan untuk memenangkan Pemilu Pilpres di negri ini cukup hanya dengan merogoh kocek tidak lebih dari 1 Milyar US $.
Kalau uang senilai itu tidak perlu diberikan kepada 100 juta pemilih (dimana masing-masing kurang lebih mendapat Rp. 110.000,-) namun digelontorkan bagi kerja-kerja media maka bisa dibayangkan ‘rejeki’ pemilik dan awak media yang mau menggadaikan idealismenya.
Fenomena penguasaan (baca: penjajahan) media terhadap opini rakyat tampaknya sulit untuk dibantah. Rakyat kebanyakan adalah penggemar semua yang serba instan, termasuk informasi. Bagi mereka yang sudah ditempa kesulitan hidup hari demi hari ataupun mereka yang terbiasa hidup aman nyaman menikmati jabatan serta kalangan masyarakat menengah keatas yang mampu mengakses berbagai jenis hiburan, maka bisa dipastikan akan malas mengerenyitkan kening sedikit untuk memvalidasi informasi yang tersaji dari media massa baik cetak maupun elektronik. Mereka akan serta merta ‘menyantap’ informasi siap saji tersebut. Apalagi ketika ukuran kebenaran kian kebablasan.
Hasilnya, media tidak lagi mengambil peran penyuaraan kebenaran bahkan berubah menjadi ‘dukun-dukun’ yang seolah mampu memberikan solusi atas segala permasalahan. Termasuk meng-create sosok pemimpin yang sejatinya bisa menjadi teladan bagi keselamatan hidup di dunia kini dan akherat di masa mendatang. Saat media tidak lagi berideologi maka kwalitas pemimpin bukan ukuran. Yang penting, keuntungan masuk ke kantong adalah kepastian. (Abu Fatih/dbs/voa Islam)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!