Kamis, 4 Jumadil Awwal 1446 H / 16 Mei 2013 08:19 wib
12.638 views
Istilah Baku Tembak Menyesatkan dan Harus Dibongkar!
JAKARTA (voa-islam.com) – Adakalanya seorang jurnalis berlagak seperti pengamat saat melakukan tugas reportase terkait isu terorisme. Lantas bagaimana seharusnya jurnalis meliput kasus terorisme saat berada di lapangan?
Menurut Koordinator Journalist Indonesia Forum (IJF) Mustofa B Nahrawardaya kepada sejumlah wartawan, seyogianya seorang jurnalis tidak mendahului statemen resmi dari pihak aparat. Kalau aparat masih menggunakan kata terduga, maka wartawan hendaknya tidak langsung menyebut kata teroris (tidak menggunakan kata terduga).
“Itu namanya melampaui batas dan kewenangan. Kalao media atau jurnalis belum dapat bukti nyata berupa fakta di depan mata, maka tidak berhak memberitakan. Jangan pula hanya mengandalkan satu sumber berita saja dari pihak kepolisian, tapi harus ada penyeimbangnya,” ujar Mustofa.
Dikatakan Mustofa, kasus terorisme itu sangat tertutup. Lihat saja, pengacaranya dari kepolisian, sedangkan wartawan hanya melihat dari jauh dan sekedar mengambil gambar. Padahal suara tembakan di TKP tidak bisa memastikan siapa yang terlibat dalam peristiwa tersebut. Kita tidak tahu.
“Saya kira, istilah baku tembak itu harus kita bongkar. Kata menembak dengan baku tembak itu berbeda. Istilah baku tembak itu menyesatkan. Sebutan baku tembak itu seolah ada dua arah yang saling tembak. Tapi ini tidak fair, seolah baku tembak menjadi kunci bagi media untuk melegalkan penegakan hukum.”
Mustofa meminta agar semua pihak membuka kamus untuk membedakan antara baku tembak, menyerbu, saling tembak, dengan menembak. “Suara tembakan yang bertubi-tubi belum tentu suara baku tembak. Apakah seorang jurnalis tahu jenis senjata yang digunakan. Kita hanya mendengar suara senjata yang tidak kita pelajari sebelumnya.”
Lebih lanjut Mustofa mengatakan, kalau seluruh senjata Densus dibunyikan secara bersamaan atau berulang-ulang, maka kita akan tertipu bahwa itu seolah-olah baku tembak, padahal itu adalah senjata yang sama dari semua aparat.
Terkadang seorang jurnalis bersahabat dengan Densus untuk mendapatkan bocoran. Lantas bolehkah wartawan mendapat bocoran dari Densus yang berencana melakukan aksi penyergapan? “Dalam rangka mencari informasi atau investigasi, wartawan punya cara untuk mendapatkan informasi. Tapi, mohon maaf, Densus jaga jarak dengan media Islam yang punya sudut pandang berbeda terkait pemberitaan terorisme. Bahkan Densus merasa tidak familiar ketika melihat jurnalis media Islam dengan tampilan jidat hitam, celana cungkring, dan berjenggot," kata Mustofa.
Jujur Memberitakan
Media itu harus fair dan jujur, tidak menambah-nambahkan. Mustofa juga memberi masukan kepada media Islam, agar tidak berlebihan dalam menyajikan informasi, terutama dalam memberi judul. “Sebagai contoh, jenazahnya wangi banget tujuh hari tidak busuk. Seharusnya buat judul yang wajar-wajar saja. Biasanya kalau judulnya bombastis, pembaca jadi malas membacanya. Ini agar pembaca lebih percaya kepada media kita. Kalau semua media Islam memberitakan hal yang sama terkait itu, tentu menjadi tidak lazim."
Media Islam boleh memberitakan ketika ada ribuan pelayat menghantarkan jenazah yang disertai dengan fotonya. Kalau tidak ada fotonya lalu diberitakan jumlahnya ribuan, itu berlebihan.
Hal yang tak dipungkri adalah ketika seorang wartawan di lapangan berseberangan dengan Pemrednya dalam mengendalikan informasi terkait terorisme. “Saya lebih memilih keluar jika tidak jujur memberitakan yang tidak sesuai dengan faktanya. Saya yakin rezeki sudah disediakan Allah,” kata Mustofa yang 10 tahun bekerja sebagai jurnalis di sebuah media ternama. [desastian]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!