Rabu, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 12 Maret 2014 07:12 wib
10.138 views
Dari Perbedaan Menuju Kemenangan: Sebuah Keniscayaan
Salah satu kenyataan hidup adalah perbedaan. Maka Diinul Islam sebagai Diinul Fitrah pasti telah menyediakan perangkat nilai dan prasarana sistim guna mengakomodir kenyataan hidup ini. Karena itu, bukanlah hal yang benar apabila perbedaan menjadi dasar munculnya kesenjangan yang berujung kepada pergesekan untuk kemudian menimbulkan konflik berkepanjangan.
Terutama kalau perspektif perbedaan yang menimbulkan konflik dikembangkan dari hal-hal yang artifisial (dibuat-buat) atau sesuatu yang natural (alami). Yakni kalau konflik disulut oleh perbedaan hizb, kelompok, jama’ah atau bendera-bendera organisasi semata. Apalagi pengembangan konflik yang hanya didasarkan pada perbedaan suku, qobilah atau kebangsaan. Perbedaan artifisial dan natural yang berkembang menjadi konflik internal baik vertikal maupun horisontal atau peperangan antar bangsa sama sekali tidak diajarkan dalam Diinul Islam.
Sebagaimana Islam sejak awal kerasulan nabi Muhammad sholallohu ‘alaihi wa sallam selalu menentang perpecahan dan peperangan antar suku atau kabilah di jazirah Arab yang disulut dari sentimen keunggulan satu suku terhadap yang lainnya. Kalaulah harus terjadi peperangan maka dasarnya haruslah pertarungan nilai antara kebenaran dan kebathilan serta bukan didasari kepentingan semata-mata.
Sedangkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dengan berbeda tanah air bukanlah untuk menimbulkan konflik sesamanya, justru perbedaan tanah air dan perbedaan suku dimaksudkan Alloh agar memperluas muamalah (interaksi) sesamanya secara baik dimana hal itu dimulai dengan upaya saling mengenal satu sama lain.
Firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala :
“ Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Alloh ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. “ ( QS. Al Hujuraat : 13 )
Dalam menerangkan QS. Huud: 118-119, Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rohimahulloh berkata:
“Pada ayat ini, Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberitakan bahwasanya kalau Ia menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia semuanya sebagai umat yang satu menganut diinul Islam. Karena sesungguhnya kehendak-Nya tidak terbatas dan tidak ada suatu apapun yang menghalangi-Nya. Akan tetapi hikmah Alloh Subhanahu wa Ta’ala menetapkan mereka senantiasa berselisih pendapat, menyelisihi jalan yang lurus, mengikuti jalan-jalan yang mengantarkan ke neraka. Masing-masing memandang bahwa kebenaran itu ada pada pendapatnya, adapun kesesatan ada pada pendapat selainnya.
“Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu” maka Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberi petunjuk mereka kepada ilmu yang benar dan mengamalkannya serta memberi taufik di atasnya. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan kebahagiaan dan pertolongan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Taufik-Nya senantiasa menyertai mereka. Adapun selain mereka adalah orang-orang yang tertipu, menyandarkan urusannya kepada diri mereka masing-masing.
“Dan untuk itulah Alloh menciptakan mereka,” hikmah Alloh Subhanahu wa Ta’ala menetapkan bahwa mereka diciptakan agar ada dari sebagian mereka yang bahagia (selamat) dan ada yang celaka. Ada yang bersatu dan ada yang berselisih. Ada golongan yang Alloh Subhanahu wa Ta’ala beri petunjuk dan ada pula golongan yang tersesat. Agar nampak jelas keadilan dan hikmah-Nya bagi manusia. Juga supaya nampak apa yang tersembunyi pada tabiat manusia, berupa hal yang baik dan yang buruk. Juga untuk tegaknya jihad dan ibadah, yang mana keduanya tidak akan sempurna dan istiqamah, kecuali dengan adanya sebuah ujian dan cobaan.” ( Lihat Kitab Tafsir : Taisir Al-Karimir Rahman )
Bersatu dalam Ushul meniscayakan perbedaan dalam Furu’ Perbedaan yang muncul dari pemahaman terhadap nash-nash syar’i sehingga menimbulkan praktek ubudiyah yang berbeda pada tingkat furu’ pastilah akan terjadi di kalangan Imam–imam kaum muslimin.
Dan perbedaan ijtihadi diantara para ‘Ulama itu menjadi sebuah keniscayaaan karena beberapa sebab yakni :
1. Perbedaan pendapat mereka tentang shohih dan tidaknya suatu nash syar’i yang dipakai sebagai hujjah.
2. Perbedaan pendapat dalam menafsirkan nash-nash syar’i tertentu.
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil hukum syar’i yang bersifat ijtihadiyah, seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, dan lain sebagainya.
4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perkembangan zaman terkait dengan situasi, kondisi, tempat , masyarakat, dan semacamnya ( dalam literatur kontemporer disebut dengan Fiqhul Waqi’ atau Ibnu Qoyyim Al Jauziyah menyebutnya dengan Fahmun Naas).
Yang harus dicegah dan diwaspadai adalah munculnya perbedaan pada tingkat Ushul karena hal inilah yang mengakibatkan perpecahan ummat Islam dalam bentuk munculnya sekte-sekte yang sesat dalam tubuh kaum muslimin seperti Khawarij, Syi’ah, Mu’tazilah, Murji’ah dan lain-lain.
Macam Perselisihan Syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Iqtidha Ash Shirothil Mustaqim menyebutkan bahwa perselisihan dalam Islam itu ada dua yakni :
1. Ikhtilaf Tanawwu’, yakni perselisihan yang menumbuhkan keberdiinn dalam koridor Qur-an dan Sunnah . Perselisihan semacam ini dibolehkan syara’. Perselisihan semacam ini sepanjang bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah syar’iyyah maka ini adalah perselisihan yang terpuji.
2. Ikhtilaf Tadhod, yakni perselisihan yang justru menimbulkan sikap saling bertolak belakang sesama kaum muslimin . Ini perselisihan yang diharamkan syara’. Sedangkan perselisihan model ini biasanya telah ditunggangi hawa nafsu dan pastinya dilahirkan dari kebodohan hingga tercela dalam pandangan syari’at.
Kondisi obyektif yang amat menyedihkan dalam kehidupan kaum muslimin hari ini adalah betapa mereka bukan saja gemar memperselisihkan hal–hal furu’ dimana dengan landasan perbedaan yang furu’ itu mereka meletakkan wala’ wal baro’. Namun sebagian mereka juga terus tenggelam dalam impian tentang persatuan ummat tanpa memperdulikan pelurusan hal–hal yang prinsipil.
Hingga menjadi sesuatu yang aneh dan memuakkan ketika muncul diantara mereka yang meneriakkan slogan kebersamaan sekalipun berkoalisi dengan para pendukung setan (seperti demokrasi, misalnya) tapi sengit bermusuhan kepada da’i–da’i yang memurnikan tauhid.
Sementara pada waktu yang bersamaan, musuh-musuh Alloh dan musuh kaum muslimin terus merangsek dan menjarah negri-negri kaum muslimin. Tidak jarang sebagian penguasa negri kaum muslimin yang telah menjadi boneka kuffar dimana tanpa belas kasihan terus melakukan pemangkasan potensi dan kekuatan Islam dengan payung UU yang dihasilkan parlemen mereka dan didukung fatwa para ‘Ulama Suu’ yang memojokkan Jihad dan Mujahidin.
Lihatlah ribuan korban-korban dari kaum muslimin di Palestina, Afghanistan, Irak, Suriah, Rohingya dan di seantero negri–negri mereka akibat kampanye Perang terhadap Islam yang dikamuflase sebagai perang melawan terorisme. Jelas kenyataan pahit ini adalah hasil dari kebodohan kita hingga terjebak dalam perangkap setan yang selalu ingin menyesatkan manusia.
Maka untuk keluar dari situasi jelek ini, kita mesti mengupayakan wujudnya beberapa faktor kunci yang menjamin equalitas pendapat kita dengan Qur-an dan Sunnah, yaitu:
1. Niat yang ikhlas.
2. Paham yang benar terhadap Diinul Islam.
3. Ilmu yang memadai mencakup ‘Ulumul Syar’i dan pengetahuan umumnya.
4. Tabi’at yang baik.
Kebalikan salah satu apalagi semuanya dari faktor–faktor kunci inilah yang kemudian menimbulkan perbedaan meruncing dan menjadi perselisihan yang saling bertolak belakang (ikhtilaf tadhod) sehingga menimbulkan permusuhan sesama kaum beriman.
Maka tidak ada jalan lain agar kaum muslimin bisa meraih kemuliaan Diinulloh dan kehidupannya, kita harus menerapkan Syari’at Islam di negri-negri manapun kita berada. Dimana tahkiimus syar’i secara otomatis akan mampu merekatkan segala perbedaan yang ada dalam tubuh kaum muslimin dan menihilkan perselisihan yang muncul diantara mereka seminimal mungkin.
Semua itu menghajatkan wujudnya pemerintahan yang Islami, baik ditimbang dari aspek dustur (Aturan Perundang-undangannya) maupun kelengkapan struktur (Aparat Pelaksana)-nya yang amanah dan kapabel/layak. Kalau bukan pergerakan kaum muslimin sendiri yang memulainya, lantas siapa lagi?
Mari terus bersemangat untuk menuntut Ilmu dan membangun ketaqwaan agar menjadi orang beriman yang akan dipilih oleh Alloh Azza wa Jalla sebagai MujahidNya. Karena tanpa hal itu, kita hanyalah orang pemberani tapi dungu dan selalu mengobarkan perselisihan tanpa dasar yang benar ditengah-tengah kaum muslimin, na’udzubillahi min dzalik!
Dalam Al Qur-an, Alloh menunjukkan jalan menuju kemenangan dengan urutan sebagaimana yang dimaktubkan dalam surat Al Maa-idah ayat ke-35 yang berbunyi:
" Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Alloh dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepadaNya serta berjihadlah di jalan Alloh supaya kamu mendapat kemenangan!"
Jadi berdasar ayat diatas, setiap kaum muslimin harus merealisasikan:
1. Pemurnian Iman (Tauhid) dari segala bentuk takhayul, bid'ah dan khurafat secara konsisten agar tidak ada celah sedikitpun bagi kesyirikan untuk masuk dalaam keyakinan kita. Baik berupa ritus konyol para tradisionalis berupa pemujaan (penghuni) kubur maupun ritus politik yang menyekutukan Alloh dalam RubbubiyahNya seperti demokrasi.
2. Membangun etos dan praktek ketaqwaan hakiki kepada Alloh Azza wa Jalla, paling tidak sebagaimana yang diungkapkan oleh Ali bin Abi Thalib rodhiyallohu 'anhu. (Yakni: takut kepada Alloh, beramal dengan yang diturunkanNya, bersyukur dengan apa yang diberikanNya, bershabar dengan sedikitnya rezeki dan bersiap diri menghadapi Hari dimana kita akan menghadapNya kelak)
3. Mengupayakan Wasilah Taqarrub kepada Alloh, baik berupa konsep, aturan, tatanan maupun amal-amal yang menterjemahkan perintah-perintah dan larangan-larangan Alloh dan RasulNya dengan pengerahan potensi semaksimal mungkin (Ijtihad).
4. Menunaikan kewajiban Jihad Fii Sabilillah dalam makna dan kaedah yang selaras dengan tuntunan dan tuntutan syar'i. Kebangkitan Mujahidin di abad ke-21 ini, alhamdulillah telah dimulai sejak Jihad Afghanistan melawan Uni Sovyet hingga sekarang. Dimana karakternya semakin menguat semenjak peristiwa 9/11 di Amerika dan revolusi di Suriah.
Semoga apa yang sedang terjadi pada kaum Mujahidin di Syam hari ini, walaupun pahit hanyalah sebuah proses -atas izin Alloh- yang semakin mendekatkan kaum muslimin pada kemenangan yang selalu dimohonkan dalam doa-doa panjang mereka ...
Wallohu ‘Alamu bis showwab! (Abu Fatih/voa Islam)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!