Rabu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 11 September 2024 09:41 wib
19.598 views
Paus Datang, Kokohkan Moderasi Beragama dan LGBTQ
Oleh : Desti Ritdamaya
Lawatan Paus Fransiskus ke Indonesia sudah usai 6 September lalu. Tapi berbagai agenda dari lawatan ini masih hangat diperbincangkan netizen karena menimbulkan polemik bahkan kontroversi. Kedatangan Paus di masjid Istiqlal disambut dengan hadrah, bacaan ayat suci Al Quran dan injil serta nyanyian-nyanyian. Dilanjutkan dengan dialog lintas agama dan penandatanganan dokumen Istiqlal 2024. Ketika Paus pamit, Imam besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar mencium ridha kening Paus. Waktu maghrib saat live misa Paus Fransiskus di stadion Gelora Bung Karno (GBK), kumandang adzan di televisi diganti menjadi running text.
Dari berbagai agenda tersebut, nampak kedatangan Paus bukanlah lawatan tanpa makna tapi membawa misi tertentu. Rangkaian hadrah, bacaan ayat suci al Quran dan injil dan nyanyian-nyanyian yang dilakukan dalam masjid menampilkan sinkretisme secara gamblang di muka publik. Rangkaian ibadah tersebut jelas mencampuradukkan antara keimanan Islam dan kekufuran.
Dialog lintas agama dan penandatangan dokumen Istiqlal hanyalah deklarasi simbolik kerukunan beragama untuk kemanusiaan. Karena realitanya, Paus datang di negeri mayoritas muslim tapi tak ada ucapan belasungkawa terhadap muslim Palestina korban genosida Israel. Apatah lagi aksi nyata menghentikan perangnya. Terbukti dengan viral video Paus yang mencium tangan keluarga Rothschild (bankir Yahudi pendukung pendirian Israel).
Dialog lintas agama sudah sering dilakukan sebelumnya, dengan mengusung semangat pluralisme. Yaitu paham yang menganggap semua agama berkedudukan sama. Tak boleh ada klaim kebenaran absolut pada salah satu agama. Hal ini diperkuat dengan penegasan Nasaruddin Umar bahwa Istiqlal bukan hanya milik kaum muslim. Tapi rumah besar kemanusiaan (baca agama selain Islam).
Kumandang adzan diganti running text saat misa Paus, bukanlah toleransi yang sesuai al Quran dan hadits. Justru dominansi minoritas Kristen yang nihil toleransi pada mayoritas muslim sehingga muslim dipaksa mengalah. Mirisnya banyak umat Islam dan tokoh cendikiawan yang bangga dengan ‘penghinaan’ seperti ini.
Negara Amnesia Fatwa MUI
Kedatangan Paus disupport oleh negara. Tak hanya kegiatan di masjid istiqlal dan GBK, tapi juga di Istana Merdeka. Bahkan Presiden Jokowi mengucapkan terimakasih pada Paus atas kunjungannya ke Indonesia. Ini menunjukkan bahwa rangkaian kegiatan bernafas sinkretisme, pluralisme dan intoleransi direstui penuh oleh negara.
Negara menjadikan kedatangan Paus momen strategis untuk semakin menggencarkan proyek moderasi beragama. Proyek prioritas negara yang diaruskan oleh Kemenag sejak tahun 2018. Moderasi beragama dipahami sebagai praktik beragama yang moderat bukan radikal. Dianggap moderat jika inklusif (terbuka) dengan nilai kebangsaan, tradisi (adat istiadat), dan toleransi versi Barat (menerima pluralisme, sinkretisme, liberalisme, dan paham Barat lainnya). Sikap sebaliknya akan dianggap radikal. Lebih khusus lagi diksi radikal sebenarnya ditujukan pada sikap muslim yang berpegang tehuh pada syari’at Islam kaffah. Jelas diksi moderat dan radikal pun sebenarnya rancu dan lebih bermakna politis.
Padahal sejak tahun 2005, MUI telah mengharamkan paham sinkretisme dan pluralisme (bagian moderasi beragama) bagi umat Islam. Karena paham ini bertentangan dengan akidah Islam dengan dalil yang qath’i. Nampak fatwa MUI tak bernilai dalam kebijakan negara hari ini. Nampak negara tak melindungi akidah umat Islam dari paham yang sesat dan menyesatkan. Dapat dikatakan negara sengaja menjauhkan umat Islam dari kemurnian akidah dan ketaatan pada syari’at Islam kaffah.
Yang juga harus disadari kaum muslim, tahun 2020 Paus merestui pernikahan sesama jenis. Walaupun di Indonesia, Paus tak berbicara LGBTQ, tapi ketika negara menyambut hangat Paus, secara tak langsung negara mendukung penyakit amoral tersebut. Negara turut mempromosikan liberalisasi pemikiran yang dipropagandakan Paus tersebut. Tak layak negara berlaku ‘keji’ seperti ini pada mayoritas muslim di negeri ini, hanya untuk membahagiakan orang kafir serta mengokohkan nilai dan peradaban Barat.
Akidah Islam Tolak Moderasi Beragama dan LGBTQ
Islam adalah haq, tak ada ruang bercampur dengan kebatilan. Frasa ummatan wasathan dalam urat al Baqarah ayat 143 sering dibajak sebagai dalil moderasi beragama. Padahal frasa ummatan wasathan dalam tafsirnya bermakna umat pilihan dan adil dengan menegakkan ajaran Islam.
Islam mengharamkan pemenuhan gharizah na’u melalui LGBTQ, seperti dilakukan kaum Nabi Luth. Al Quran (Surat An Naml ayat 54-58) menyebut LGBTQ sebagai alfaahisyah (keji dan hina). Allah SWT pun memberikan sanksi berat pada pelakunya. Hal ini disampaikan lewat lisan Rasulullah SAW yang mulia
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
Artinya : Siapa menjumpai orang yang melakukan perbuatan homo seperti kelakuan kaum Luth maka bunuhlah pelaku dan objeknya (HR. Ahmad dan Abu Daud).
Ini menunjukkan bahwa moderasi beragama dan LGBTQ tertolak dalam Islam. Dalam kitab al ahkam as sulthaniyyah, Mawardi menjelaskan bahwa negara punya kewajiban menegakkan din (agama) dan mengatur kehidupan dunia dengan syari’at Allah. Sehingga negara harus menjaga akidah dan syari’at umat Islam dari moderasi beragama dan LGBTQ.
Terkait toleransi, Islam adalah pakarnya. Will Durrant sejarawan non Muslim dalam bukunya ‘The Story of Civilization’ menggambarkan keharmonisan antara Muslim, Yahudi dan Kristen selama 800 tahun Islam berkuasa di Spanyol. Pun sama dengan TW. Arnold sejarawan dalam bukunya ‘The Preaching of Islam, A History of Propagation of The Muslim Faith’ menjelaskan kekagumannya kehidupan toleransi di Turki Ustmani yang sebelumnya tidak dikenal di dunia Eropa.
Al Quran dan hadits menuntun muslim betoleransi pada penganut agama lain. Dalam surat al Kafiruun terdapat perintah bagi muslim untuk menafikkan ibadah sesembahan orang-orang kafir dan tabarru’ (berlepas diri) terhadap sesembahannya. Ayat ke 6 semakin menegaskan bahwa tidak ada toleransi dalam Islam dengan cara sinkretisme yang mencampurkan antara Islam dan kemusyrikan/kekufuran.
Dalam surat Al Baqarah ayat 256 menjelaskan tak ada paksaan untuk memasuki Islam. Orang-orang non muslim tak boleh dirayu dan diintimidasi untuk berIslam. Karena akidah Islam bukan dogma tapi penuh rasionalitas, yang menuntut berIslam dengan kesadaran dan keyakinan diri. Ayat ini menunjukkan kehormatan Islam dan kemuliaannya.
Bahkan saat futuhat Rasulullah SAW berpesan pada para shahabat : laa tuqaatiluhum hatta tad’uhum. Pesan ini menjelaskan bahwa dalam futuhat, Rasulullah SAW memerintahkan dakwah terlebih dahulu (sesuai surat an Nahl ayat 125). Jika penduduk setempat menolak dakwah, harus dibiarkan mereka dalam agama masing-masing disertai ketundukan mereka pada pemerintah Islam dengan membayar jizyah. Perang adalah alternatif terakhir yang hanya bertujuan untuk memerangi penghalang fisik dakwah. Bahkan Rasulullah SAW bersabda
مَنْ آذَى ذِمِّيًا فَقَدْ آذَانِيْ، وَمَنْ آذَانِيْ فَقَدْ آذَى اللهِ
Artinya : Barangsiapa menyakiti seorang zimmi (non Muslim yang tidak memerangi umat Muslim), maka sesungguhnya dia telah menyakitiku. Dan barang siapa yang telah menyakitiku, maka sesungguhnya dia telah menyakiti Allah (HR.Thabrani).
Toleransi dalam Islam berarti bersikap lapang dada dan memaklumi adanya perbedaan keyakinan penganut agama lain tanpa menganggunya. Tanpa berpartisipasi dalam akidah dan syariat agama lain. Tanpa menghinakan diri pada penganut agama lain. Karena Rasulullah SAW bersabda :
الْإِسْلَامِ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى
Artinya : Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi daripadanya (HR. al-Daraqutni).
Wallahu a’lam bish-shawab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!