Kamis, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 6 Oktober 2016 14:30 wib
4.668 views
Wartawati Afghanistan: Warga Kunduz Lebih Takut Serangan Udara AS dan Pemerintah Dibanding Taliban
KABUL, AFGHANISTAN (voa-islam.com) - Taliban menyerang kota timur laut Afghanistan Kunduz pada Senin, mengambil kendali dari pusat kota dan benteng tentara. Menurut salah satu wartawati yang berhasil melarikan diri, Zarghouneh Hasan, kota itu sekarang terkunci dan teman-teman dan keluarganya yang tidak mampu melarikan diri sekarang bersembunyi di dalam ruangan perlindungan.
Zarghouneh Hasan adalah seorang wartawati lokal. Dia telah diancam beberapa kali oleh Taliban karena pelaporannya yang menyudutkan mujahidin.
Bagaimanapun, dia mengatakan kepada FRANCE 24 hari Selasa (4/10/2016) bahwa mereka lebih takut serangan udara pasukan pemerintah dan AS dibandingkan dengan Taliban.
Dia menceritakan detik-detik penyerbuan yang membuat dia akhinya kabur untuk menyelamatkan diri.
"Ahad malam, kami mendengar suara bentrokan. Mereka mengambil tempat di desa-desa di sekitar kota. Jenis bentrokan antara Taliban dan tentara semacam ini tidak langka, jadi kami tidak terlalu khawatir. Plus, kota ini penuh dengan pasukan tentara, jadi kami pikir kami akan aman," katanya. "Ketika mereka (Taliban) memasuki kota pada sekitar 16:30 sore pada hari Senin, kami terkejut. Toko dan pasar tutup segera, dan dalam hitungan jam, kota terpadat di timur laut Afghanistan itu menjadi kota hantu. Taliban cepat bergerak maju jalan demi jalan, menancapkan bendera mereka di bagian yang paling penting dari kota."
Zarghouneh Hasan melanjutkan, "Ketika saya mendengar bahwa bentrokan mendekati lingkungan saya, saya mengenakan burqa untuk menyembunyikan identitas saya dan pergi. Pertama, saya naik sebuah minibus penuh dengan puluhan wanita dan anak-anak dan beberapa pria. Bus ini membawa kami ke pinggiran kota, yang masih dalam perimeter dikepung oleh Taliban. Untuk menyeberangi garis Taliban, kita harus berjalan, berusaha menyembunyikan diri sebaik mungkin untuk menghindari penangkapan. Saya tidak tahu berapa lama kami berjalan - jam demi jam - sampai kami mencapai kota lain, yang dari sana saya mengambil mobil menuju ke Kabul, tempat saya sekarang.
"Ketika aku pergi dari Kunduz, saya melihat puluhan warga sipil tewas - mereka telah terjebak dalam baku tembak.
"Bom tidak bisa membedakan antara pemberontak dan warga sipil"
Dia menceritakan bahwa banyak orang yang tidak seberuntung dirinya, dan tidak bisa melarikan diri.
"Para wartawan dan aktivis harus bersembunyi di rumah teman, karena Taliban memiliki beberapa pendukung di Kunduz, dan pendukung ini mungkin mengarahkan mereka ke alamat rumah tersebut. Banyak orang juga telah mengungsi di bandara, yang tetap di bawah kontrol militer.
"Ketakutan terbesar saya - dan saya tahu itu juga ketakutan terbesar dari teman-teman dan keluarga saya yang terjebak di Kunduz - tidak terlalu khawatir pada Taliban namun pada kemungkinan bahwa kota kita akan dibom oleh tentara Afghanistan dan pasukan AS. Terakhir kali mereka (militer AS dan Afghanistan) melakukan intervensi seperti itu, pada tahun 2015, bom mereka membunuh begitu banyak warga sipil. Mereka tidak bisa membedakan antara warga sipil dan pemberontak Taliban."
Menurutnya merebut kembali kota tidak diragukan lagi akan memakan waktu berpekan-pekan, karena tentara harus mencari pejuang Taliban dari rumah ke rumah, yang merupakan misi sangat memakan waktu. "Ini benar-benar situasi yang mengerikan. Saya khawatir bahwa teman-teman saya dan keluarga mungkin terbunuh bukan hanya oleh Taliban, tetapi juga oleh serangan Afghanistan atau Amerika," pungkasnya.
42 tewas dalam serangan udara AS di rumah sakit MSF di Kunduz
Taliban pertama kali digulingkan dari Kunduz pada tahun 2001. Mereka merebut kembali kota itu pada September 2015, tapi dua minggu kemudian, mereka mengumumkan untuk mundur.
Perebutan kota itu menyebabkan kerugian sipil besar, dengan PBB memperkirakan bahwa lebih dari 800 warga sipil tewas atau terluka ketika Taliban berperang dengan pasukan Afghanistan dan AS untuk kontrol Kunduz. Perkiraan itu mencakup korban dari serangan udara AS di sebuah rumah sakit yang dijalankan oleh Medecins sans Frontiers (MSF). Kelompok bantuan itu mengatakan setidaknya 42 warga sipil termasuk staf medis tewas dalam insiden tersebut. (st/f24)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!