Vatikan, pusat gereja Katolik di Roma dikenal sebagai lembaga otoriter. Pimpinan tertinggi gereja merumuskan pendiriannya tentang kehidupan dan kematian.
Pendiriannya itu seringkali dipandang terlalu jauh dari kehidupan moderen. Dalam buku berjudul Kursi Petrus, penulis Belgia, Bart Demyttenaere menengok sekilas situasi di balik layar Vatikan, yang kendati makin meningkatnya sekularisasi, masih tetap saja berkembang.
Alasan pribadi
Vatikan, wilayah otonomi seluas hanya 44 hektar, terletak di jantung kota Roma, ibukota Italia. Di sanalah Sri Paus, Paus Benediktus XVI, berkantor dan di sana pula digariskan kebijakan agama Katolik. Stafnya terdiri dari sekitar 4000 orang.
Penulis Belgia Bart Demyttenaere berhasil mewawancarai beberapa orang staf itu. Ia menanyakan alasan pribadi masing-masing mengapa bekerja bagi sebuah lembaga yang terkesan begitu jauh dari kehidupan sehari-hari, namun berkuasa menetapkan hal-hal etik dan moral.
Demyttenaere bertemu kardinal, uskup tapi juga pengelola situs web serta penjahit pakaian Sri Paus. Di balik layar lembaga yang berkuasa ini, ternyata bekerja banyak orang dari latar belakang berbeda-beda.
"Banyak sekali keragaman. Dalam buku saya, dimuat banyak orang yang saling menentang satu sama lain soal banyak hal, juga butir-butir penting. Pertama saya terkejut. Tapi pada akhirnya saya merasa itu bagus juga, bahwa juga Vatikan menerima perbedaan pendapat. Yang pasti, lembaga itu bukanlah blok monolitik."
Tanpa kritik
Tapi Demyttenaere tahu bahwa Vatikan, dalam berkomunikasi ke dunia luar, hanya menyuarakan satu pendapat. Salah seorang staf tinggi Vatikan yang diwawancarai, monseigneur Dumon, mengakui bahwa di Vatikan akhirnya tidak ada peluang untuk kritik. Juga keputusan yang terasa asing tidak selalu dimengerti.
Struktur internal Vatikan dikenal memiliki hirarki ketat dan manipulasi yang tidak memungkinkan kritik, jelas Dumon.
Ketaatan besar staf merupakan salah satu butir penting lain mengapa pendapat Vatikan selalu menang di atas pendapat perseorangan, kata Demyttenaere. Melihat hal itu, setiap perbandingan dengan perusahaan multinasional moderen tidak berlaku.
"Mereka sibuk dengan agama, dengan sesuatu yang tinggi."
Rasa bersalah
Soal kepercayaan inilah yang terlihat jelas pada diri bruder Schillings.
"Ia seorang anggota ordo Fransiskan, hidupnya sempat begitu penuh gejolak. Ia sebenarnya tidak melakukan lain daripada selama sepuluh tahun, secara anonim, menerima pengakuan dosa peziarah dari seluruh penjuru dunia, di Roma. Ini sudah dilakukannya selama 10 tahun, saya pikir sangat luar biasa."
Tapi di jenjang yang lebih tinggi lagi di Vatikan, sulit ditemukan nuansa yang lebih manusiawi. Di sana, kata penulis Bart Demyttenaera, politik dan kekuasaan gereja tampak lebih penting dan pesan keluar terkesan 'sengaja menjengkelkan'.
"Kardinal Tauran, mantan menteri urusan negeri Paus Johannes Paulus II dan bekas tokoh penting ketiga Vatikan punya pendapat jelas. Ia pernah mengungkapkan bahwa tidaklah baik jika gereja tidak menjengkelkan lagi. Ungkapan menarik. Kami harus mengganggu orang lain. Yesus Kristus pun mengganggu banyak orang. Itulah jawaban resmi."
Belas kasihan
Menurut Demyttenaere, inti agama Katolik sulit ditemukan di Vatikan.
"Inti agama Katolik adalah belas kasihan, pengertian dan kemurahan hati - itu yang saya tidak temukan, apalagi dalam rapat resmi. Semuanya terdengar begitu kasar. Begitu kaku."
Tapi seusai menulis bukunya, Bart Demyttenaere sekarang tahu ini tidak berlaku bagi staf secara perseorangan.
[voa-islam/rnw]
Baca juga berita terkait:
- Mengaku Sarjana Islam, Pendeta Terbongkar Kedoknya.
- Awas Kristenisasi: Pendeta Bagikan Rumah Gratis!
- Kristenisasi di Indonesia: Dari Pendidikan Hingga Mistik.
- Bahaya!! Sinterklas Bisa Tularkan Flu Babi.
- Gereja Katolik Minta Maaf atas Wabah Pelecehan Seksual Pastur terhadap Anak-anak.
- Gereja Episkopal Calonkan Dua Pendeta Gay Sebagai Uskup.
- Pendeta Bajak Pesawat, Ngaku Dapat Wahyu Tuhan.