Kamis, 27 Jumadil Awwal 1446 H / 5 November 2020 20:54 wib
3.869 views
Imam Besar HRS dan Politik Islam
Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. || Direktur HRS Center
BERITA kepulangan Imam Besar Habib Rizieq Syihab (IB HRS) demikian super viral. Pemberitaan meluas di berbagai saluran media. Ummat menunggu hari penjemputan, berbagai persiapan penyambutan terus dioptimalkan. IB HRS tepat mendarat di hari yang tepat, peringatan hari Pahlawan 10 Nopember 75 tahun yang lalu. Hari itu merupakan hari spesial dan lagi fenomenal.
Sosok IB HRS menjadi ‘magnet politik’ yang mampu mengubah konstelasi electoral system melalui Ijtima Ulama. Ijtima Ulama yang mengusung Capres-Cawapres Prabowo Sandi tahun 2019 yang lalu, bukanlah kali pertama. Sebelumnya, pada tahun 2016 pernah dilakukan Konvensi Gubernur Muslim, melalui Majelis Tinggi Jakarta Beryariah yang diketuai oleh IB HRS. Majelis Tinggi Jakarta Beryariah dihasilkan dalam forum muzakarah Alim Ulama, Habaib, Tokoh dan Cendekiawan Muslim.
Tujuan strategis yang diproyeksikan adalah dalam rangka menghadapi Pilkada Jakarta tahun 2017. Majelis Tinggi Jakarta Beryariah berupaya mengikhtiarkan satu pasang calon dan sekaligus memperjuangkan pemenangannya. Konvensi Gubernur Muslim merupakan suatu terobosan paradigma, terlibatnya ummat dalam politik praktis. Konvensi yang mengusung Cagub dan Cawagub indenpenden pada akhirnya tidak diimplementasikan, sebab terjadi penistaan terhadap Al-Maidah: 51 oleh Basuki T. Purnama alis Ahok. Konsentrasi dan energi difokuskan pada pengawalan kasus a quo. Pada saat itulah dibentuk Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF-MUI) yang kini dikenal dengan GNPF-Ulama.
IB HRS telah menjadi ‘bintang pemandu’ koalisi keummatan, itu tidak dapat dipungkiri. Terlepas koalisi keummatan dimaknai sebagai ‘politik identitas’, pada prinsipnya koalisi keummatan merupakan konsekuensi logis dari politik Islam. Tidak dapat dibenarkan pandangan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa dalam masalah politik, Islam hanya memiliki nilai-nilai normatif saja, tidak otoritatif. Justru, tegaknya hukum Allah di muka bumi merupakan amanah yang harus direalisasikan. Hukum Allah tidak akan mungkin bisa tegak tanpa politik pada umumnya dan kekuasaan pada khususnya. Terdapat postulat, “Islam adalah manisnya politik, oleh karenanya tidak mungkin bisa Islam sebagai agama dipisahkan dengan politik”.
Di sini, antara Islam dan politik walaupun dapat dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Keduanya ibarat ‘dua sisi mata uang’ yang sama. Secara esensial, politik Islam merupakan legal policy yang merepresentasikan nilai-nilai syariat Islam agar terealisasi secara spesifik. Islam memiliki suatu pandangan bahwa kehidupan dunia merupakan ladang bagi adanya kehidupan akhirat. Kehidupan dunia mesti diatur semenawan mungkin, sehingga manusia bisa mengabdi kepada Allah secara lebih sempurna. Kehidupan dunia harus senantiasa tegak berdasarkan aturan-aturan agama. Konsep ini dimaknai sebagai representasi tujuan siyasah dalam Islam, yakni “iqamah al-din (hirasah al-din) wa siyasah al-dunya”, yang berarti menegakkan agama dan mengatur urusan dunia. Pada hakikatnya, Islam merupakan agama komprehensif dalam arti mencakup keseluruhan sendi kehidupan manusia.
Sementara itu, kembalinya IB HRS ke Tanah Air mendapatkan tanggapan baik yang pro maupun yang kontra. Pihak yang kontra selalu mendalilkan permasalahan overstay dan bahkan berkeinginan dibukanya kembali perkara yang telah dihentikan (SP3) maupun perkara lainnya. Padahal, kesemuanya itu adalah bentuk ‘kriminalisasi’, sesuatu yang direkayasa. Publik membaca adanya upaya ke arah kriminalisasi lanjutan.
Jika itu benar terjadi, asumsi penulis menyebutnya sebagai upaya membendung koalisi keummatan. Dikatakan demikian, oleh karena kehadiran IB HRS tentunya akan semakin memperkokoh konsolidasi guna integrasi dalam rangka implementasi politik Islam. Di sisi lain fenomena propaganda anti Khilafah dan Syariah semakin masif terjadi dengan penyematan radikalisme dan intoleran. Berbagai persekusi dan kriminalisasi terhadap ulama dan aktivis masih terus berlangsung dengan menggunakan delik “ujaran kebencian dan permusuhan” dan delik ‘hoaks’.
Penganut sekularisme ekstrem memang tidak akan pernah mau menerima bekerjanya sistem politik yang Islami. Posisi ‘politik dinasti’ dan ‘oligarki politik’ akan semakin tergerus, jika koalisi keummatan dengan IB HRS sebagai medan magnetnya menunjukkan peran optimal. Sikap apatis (pasif) sebagian ummat Islam akan mengalami pergeseran, menjadi pro aktif mengikuti arus koalisi keummatan.
Kondisi demikian tentu akan berkorelasi dengan Pemilu tahun 2024. Seiring dengan itu, koalisi rezim Jokowi tidak ada jaminan akan terus berlanjut pada Pilpres 2024. Politik dinasti dan oligarki politik akan menemui ajalnya. Lain halnya dengan politik Islam, keberadaannya bukan dongeng. Politik Islam telah diamalkan lebih dari seribu tahun lamanya. Politik Islam bukan pula sebagai pajangan (etalase), namun menjiwai koalisi keummatan. Politik Islam sebagai kekuatan diyakini mampu membangun kemaslahatan berdasarkan prinsip-prinsip universalitas syariat Islam.
Oleh karena itu, kemaslahatan harus diupayakan dengan serangkaian konsep, strategi dan upaya yang dijalankan secara kontinyu, berkesinambungan dan terlembaga secara sistematik-integral dan energik-sinergis. Dengan demikian terkonfirmasi hubungan antara agama dengan negara. Hal ini sesuai dengan paradigma ‘negara simbiotik’ yang dianut dalam konstitusi.
Terkait Pilpres 2024 yang akan datang, maka diperlukan suatu model penyaluran dukungan dan pencalonan Capres dan Cawapres, termasuk anggota legislatif. Model dimaksud melalui dekonstruksi, yakni ‘pembalikan hierarki’ pencalonan yang selama ini hanya berpusat pada Partai Politik yang berkoalisi. Dekonstruksi bekerja untuk menampilkan pihak yang selama ini kepentingannya tidak tertampilkan dan karena itu juga tidak terbicarakan. Pihak dimaksud adalah para alim ulama dan habaib, termasuk para tokoh dan cendekiawan muslim.
Selama ini, mereka ditampilkan lebih banyak ketika kepentingan politik memerlukannya, misalnya dalam kepentingan kampanye elite politik. Setelah itu, peran mereka relatif ‘disirnakan’. Dalam proses dekonstruksi, hubungan ummat Islam dan Partai Politik harus dikonstruksi ulang sebagai dua entitas yang interdependen. Kedua entitas tersebut dalam hubungan harmonis, simbiosis mutalistis.
Terlebih lagi, sistem multi partai telah melahirkan banyak Partai Politik. Kepentingan politik praktis telah pula menyebabkan Partai Politik lebih dekat dengan agenda pragmatis dan cenderung tidak populis. Banyaknya Partai Politik yang berbasiskan (platform) Islam, belum menunjukkan kemampuannya untuk sampai ke tahap konsolidasi untuk menuju tahap selanjutnya, integrasi.
Upaya awal konsolidasi memang dilakukan, tetapi hanya sebatas pada upaya penggalangan dukungan untuk pemenangan calon dalam bentuk koalisi. Namun, koalisi tidaklah ada yang permanen, koalisi lebih bersifat strategi elite politik. Koalisi bukan dimaksudkan untuk integrasi politik menuju kemaslahatan umat. Oleh karena itu, koalisasi keummatan dalam perspektif Politik Islam merupakan suatu keniscayaan.
Penulis berharap, koalisi keummatan akan menemukan wadahnya. Kehadirannya sebagai big power yang mengarahkan konstituen muslim. Melalui pewadahan koalisi keummatan, maka suara ummat Islam diharapkan tidak terpecah-belah, tidak seperti saat ini. Majelis Tinggi Jakarta Bersyariah sepatutnya ditingkatkan menjadi Majelis Tinggi Indonesia Bersyariah. Keberadaannya menjadi the new institusion, wadah koalisi keummatan. Pemimpin agama bertemu dengan pemimpin Partai Politik menyusun blueprint berbasiskan syariah dan akhlaqul karimah dalam rangka membangun peradaban bangsa. Rakyat harus dijauhkan dari segala mudarat. Rakyat harus berdaulat, bermartabat dan hidup maslahat. Pada akhirnya selamat dunia dan akhirat. Wallahu ‘alam.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!