Senin, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 13 April 2020 13:35 wib
5.326 views
Buya Hamka, Nelson Mandela dan Anies Baswedan
Oleh:
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
RAKYAT Indonesia tahu Buya Hamka pernah dipenjara. Soekarno, presiden Indonesia pertama yang memenjarakannya. Bukan kasus kriminal, tetapi ini soal politik. Penyebabnya Cuma karena Ketua MUI Pusat asal Sumatera Barat ini terlalu kritis terhadap Presiden Soekarno.
Buya Hamka juga bersyukur. Dari dalam penjara, sebuah buku tafsir Al-Quran 30 juz rampung ditulis. “Nggak mungkin dikerjakan jika tak di penjara, “kata Buya Hamka. Inilah hikmahnya.
Menjelang akhir hayat, Soekarno pesan kepada keluarganya, “nanti kalau meninggal, Soekarno ingin Buya Hamka yang jadi imam sholat jenazah”. Ketika Buya Hamka dikasih kabar bahwa Soekarno meninggal, dan diminta untuk jadi imam sholat, Buya Hamka merespon. Dengan senang hati.
Buya Hamka pun mengimami shalat janazah Soekarno ketika itu. Selesai sholat, Buya Hamka melantunkan doa-doa terbaik untuk Soekarno. Harapannya semoga Soekarno khusnul khotimah. semoga Allaah SWT mengampunya segala kesalahan Soekarno, dan menerima semua amal kebaikannya. Menempatkan Soekarno di syurganya Allaah bersama dengan para penghuni syurga yang lain.
Padahal Soekarmo adalah Presiden yang pernah memenjarakan Buya Hamka selama 2,4 tahun. Sebelumnya Buya Hamka dijemput dengan paksa di rumahnya pada bulan suci Ramadhan.
Selain Buya Hamka, ada Nelson Mandela. Tokoh politik dan presiden Afrika Selatan ini pernah dipenjara 27 tahun lamanya. Saat situasi politik berubah, ia keluar dari penjara, dan akhirnya terpilih jadi presiden.
Saat itu, seorang wartawan bertanya kepada Nelson, anda sekarang sudah jadi penguasa. Kenapa orang-orang yang dulu berbuat dzalim dan memenjarakan tidak anda penjarakan? Apa jawab Nelson? “Selama 27 tahun saya dipenjara. Saya tak mau lagi terpenjara oleh dendam”.
Begitulah mestinya seorang pemimpin bersikap. Itulah pemimpin yang berkarakter, dan memiliki kelapangan jiwa yang tinggi. Pemimpin yang bermatabat dan berkelas. Mengukir kisah hidupnya untuk mewariskan sebuah keteladanan kepada generasi penerusnya.
Dari Buya Hamka dan Nelson Mandela inilah, mungkin Anies Baswedan, gubernur DKI ini belajar membangun karakter dan jiwa kepemimpinannya. Anies belajar untuk sabar, teguh dan kuat dalam menjaga prinsip-prinsip moral dan kemanusiaan.
Anies Perlakukan AE Priyono
Sebuah kesaksian yang baru-baru ini ditulis oleh wartawan senior bernama Muhammad Subarkah viral. Subarkah menceritakan kisah Lukman Hakiem, mantan anggota DPR dari PPP, yang juga penasehat Wapres Hamzah Haz dan staf Perdana Menteri Muhammad Nasir.
Saat AE Priyono sakit, Lukman Hakiem WA dan telp Anies. Lukman minta kepada Anies untuk membantu AE Priyono. Mulai dari mencarikan rumah sakit, tes Swab dan pelayanan tim medis. Anies merespon dengan sangat cepat. Anies mengerahkan tim medis untuk segera urus AE Priyono. Alhamdulillaah, AE Priyono akhirnya mendapatkan pelayanan medis dengan patut dan semestinya.
Beberapa hari kemudian, Lukman Hakiem telepon Anies lagi. Apa yang bisa saya bantu? What can I help you? Itu kalimat yang sering kita dengar dari film-film Barat. Standar etika komunikasi dalam peradaban Barat. AE Priyono meninggal dunia, kata Lukman Hakiem. Mohon dibantu pemakamannya, lanjut Lukman. Anies menjawab Siap. Anies pun bergegas instruksikan kepada tim Satgas Covid-19 DKI Jakarta untuk mengurus pemakaman AE Priyono.
AE Priyono adalah wartawan senior dan aktifis Jogja saat kuliah. Ia dikenal sebagai Ahokers tulun dan akut. Kritiknya kepada Anies, jangan lagi dibilang dan dijelaskan. Bisa dilihat pada jejak-jejak digitalnya. Layaknya Ahoker-Ahoker yang lain. Anda pasti bisa membayangkan bagaimana sikap Anies. Apakah Anies akan dendam? Subhanallaah, ternyata tidak. Anies justru memberikan AE Priyono pelayanan yang terbaik.
Pada konteks ini, terlihat kalau Anies terus berupaya keras untuk mengakhiri keterbelahan politik di negeri ini. Mengakhiri identifikasi sosial-politik yang bernama Jokowers, Ahokers dan Aniesers. Nggak sehat dan kontra produktif terhadap peradaban dan masa depan bangsa. Caranya? Gampang saja.
Pertama, semua warga DKI adalah rakyatnya Anies. Mau pendukung atau non pendukung. Ini hal yang prinsip. Kedua, mereka mendapatkan hak untuk diperlakukan secara sama dan dilayani secara adil. Tidak boleh ada pembedaan diantara Jokowers, Ahokers dan Aniessers.
Ketiga, Anies merangkul dan mengayomi semua pihak layaknya “Bapak Ibu kota.” Keempat, melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk para “haters” dalam pembangunan masa depan DKI. Kelima, tidak melayani, merespon, apalagi menuntut mereka yang membully, fitnah dan mencaci-maki Anies. Apalagi yang dilakukan oleh oknum-oknus “haters”.
Sabar dan selalu memaafkan mereka. Menjauh dari sifat-sifat sebagai pendendam. Tampaknya sikap inilah yang sedang diteladani Anies dari Buya Hamka dan Nelson Mandela. Dua tokoh besar lintas negara.
Kisah AE Priyono hanyalah satu dari sekian kisah yang tak terekspos dan terbaca oleh publik. Begitulah seharusnya seorang pemimpin bersikap. Harus ada karakter yang bisa dijadikan rujukan dan panutan buat rakyatnya. Tidak saja rakyat hari ini, tetapi juga rakyat 100-1000 tahun yang akan datang.
Kisah dan sikap seorang pemimpin akan ditulis dalam sejarah. Akan selalu diingat sepanjang sejarah ke depan. Generasi mendatang anak-anak bangsa ini akan membacanya.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!