Rabu, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 1 April 2020 21:56 wib
3.918 views
Menguji Relevansi PSBB dan Darurat Sipil di Tengah Ancaman Corona
Oleh:
Aditya Nurullahi Purnama
Tenaga Ahli DPR RI
PRESIDEN Jokowi akhirnya memutuskan untuk menerapkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dibarengi dengan rencana Darurat Sipil sebagai langkah lanjutan untuk menangani wabah Covid-19. Keputusan tersebut jelas mengejutkan sejumlah pihak, dari kalangan masyarakat sampai pemerintah daerah. Kebijakan tersebut dinilai jauh dari ekspektasi yang menghendaki karantina wilayah sebagai alternatif. Bahkan sebelumnya, inisiatif muncul dari sejumlah daerah maupun masyarakat akar rumput untuk menerapkan karantina wilayah seperti di Tegal, Papua, dan masyarakat di kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta.
Inisiatif tersebut hadir sebagai langkah antisipatif untuk mencegah penularan virus mengingat dari waktu ke waktu terus terjadi lonjakan kasus dan meluasnya titik sebaran wabah. Kendati demikian, langkah inisiatif daerah tersebut dinilai sebagai langkah inkonstitusional mengingat wewenang untuk menerapkan kebijakan tersebut ada di pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah. Hal ini dikuatkan kembali oleh pernyataan Presiden Joko Widodo pada 30 Maret 2020 saat memimpin rapat terbatas dengan Gugus Tugas Percepatan Penangana Covid-19:
“Saya ingatkan kebijakan karantina kesehatan, termasuk karantina wilayah, adalah kewenangan pemerintah pusat, bukan kewenangan pemerintah daerah” sebagaimana dikutip dari Kompas, (30/3).
Jika mencermati kondisi terbaru terkait PSBB melalui pasal 59 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (KK) dan rencana darurat sipil melalui Perppu No 23 Tahun 1959 yang akan diterapkan pemerintah pusat, penulis mencatat terdapat tiga hal yang membuat kebijakan ini kurang relevan dengan apa yang dibutuhkan sekarang dalam penanganan wabah. Bahkan, tidak menutup kemungkinan penerapan kebijakan ini akan memperburuk situasi melalui dampak multidimensional yang ditimbulkan akibat kebijakan ini.
Pertama, aspek pemenuhan kebutuhan dasar hidup selama kondisi darurat kesehatan. Terkait kebijakan PSBB, pada pasal 59 sampai pasal 60 UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan (KK) tidak ada keterangan yang mengatur bagaimana peran negara dalam upaya memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari warga negara saat kondisi darurat kesehatan berlangsung. Begitupun dalam Perppu No 23 Tahun 1959.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan kebijakan Karantina Wilayah dalam UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana diatur dalam pasal 6, pasal 8, dan pasal 55 ayat 1. Meskipun dengan payung hukum yang sama, kebijakan karantina wilayah mengatur dengan jelas terkait ketersediaan sumber daya, hak kebutuhan pangan orang dan hewan ternak, serta kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak di wilayah karantina yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat.
Artinya, penerapan PSBB melalui UU No. 6 Tahun 2018 KK dan Perppu No 23/ 1959 ini berpotensi menjadi pembenaran secara yuridis bagi negara untuk lepas tanggung jawab dalam memberikan jaminan pemenuhan kebutuhan hidup bagi masyarakat selama masa darurat atau masa karantina diberlakukan. Di sisi lain, penerapan Perppu No 23/ 1959 juga berpotensi mengancam pekerja sektor informal seperti pengemudi ojol, pedagang, dan sejenisnya yang terpaksa harus memperoleh penghasilan dari kegiatan mereka di luar rumah. Hal ini dijelaskan pada pasal 19 poin (1) yang berbunyi:
“Penguasa darurat sipil berhak membatasi orang berada di luar rumah”
Oleh karena itu, jika Perppu ini terpaksa harus diterapkan, maka pemerintah juga perlu mempertimbangkan dengan serius aspek ekonomi bagi kelompok rentan miskin agar kebijakan darurat sipil yang diterapkan tidak bertentangan dengan aspek HAM.
Kedua, prasyarat yang janggal. Pada Bab 1 Peraturan Umum pasal 1 poin (1) Perppu No 23 Tahun 1959 dijelaskan bahwa keadaan darurat sipil dinyatakan apabila keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan, atau akibat bencana alam sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa. Jika dicermati lebih lanjut, kondisi yang dihadapi oleh Indonesia saat ini bukanlah kondisi yang disebabkan oleh keamanan dan ketertiban yang kacau (social disorder) tetapi kondisi darurat kesehatan karena virus. Selain itu, jika terpaksa dikategorikan sebagai bencana, maka yang terjadi saat ini adalah bencana nonalam, yaitu wabah penyakit dan bukan bencana alam. Artinya, secara prasyarat Perppu No 23 Tahun 1959 tidak relevan dijadikan payung hukum untuk penanganan penularan wabah Covid-19.
Ketiga, mengancam keterbukaan informasi dan ranah privat warga negara. Pada pasal 13 Perppu No 23 Tahun 1959 dijelaskan bahwa penguasa darurat sipil berhak untuk;
“Penguasa darurat sipil berhak untuk mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian...”
Kemudian pada pasal 17 poin (1)
“Mengetahui semua berita-berita serta percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan dengan perantara telepon atau radio”
Kemudian pada poin (3) pada pasal 17, berbunyi;
“Menetapkan peraturan yang membatasi atau melarang pemakaian alat-alat komunikasi... yang dapat dipakai untuk mencapai rakyat banyak, pun juga menyita atau menghancurkan perlengkapan tersebut”
Jika ditinjau lebih dalam, pasal ini menjadi sangat rentan disalahgunakan untuk membungkam fungsi korektif di tengah derasnya kritik masyarakat terhadap pemerintah dalam penanganan wabah yang dinilai belum optimal. Transparansi informasi melalui surat kabar di media cetak maupun daring menjadi hal penting mengingat arus informasi ini membantu masyarakat untuk memperoleh pengetahuan lebih terkait langkah penanganan secara mandiri sekaligus mengakses perkembangan terbaru dari Covid-19. Keterbukaan informasi membuat publik lebih sigap untuk mengantisipasi. Oleh sebab itu, jika pembatasan informasi dilakukan, justru berpotensi menimbulkan kegaduhan publik karena mereka kehilangan pengetahuan alternatif sebagai pelengkap dan pembanding informasi.
Selain itu, pasal 17 poin (1) berpotensi memberikan legitimasi bagi negara untuk melakukan intervensi lebih jauh terhadap ranah privat warga, seperti mengetahui isi percakapan antar warga negara. Hal ini justru semakin menambah kecemasan publik. Selain merasa terancam karena virus, publik akan semakin dibebani oleh ketakutan yang diproduksi oleh kekuasaan. Potensi protes sosial meningkat dan pada akhirnya hanya akan menambah permasalahan. Padahal, kondisi riil yang terjadi saat ini adalah darurat kesehatan, bukan darurat keamanan.
Perlu dipahami bahwa derasnya kritik masyarakat terhadap negara sebenarnya sejalan dengan menurunnya performa negara dalam melakukan fungsi mitigasi bencana, khususnya perlindungan terhadap warga negara. Angka kasus dan kematian yang terus meningkat, ditambah koordinasi yang lemah antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat membuat banyak pihak frustasi dengan kinerja yang dilakukan selama ini. Oleh sebab itu, negara seharusnya mampu memaknai kritik tersebut sebagai masukan konstruktif yang berasal dari keresahan kolektif dan kebutuhan riil di lapangan sehingga ke depannya negara bisa lebih responsif dan efektif dalam mengambil keputusan. Keputusan yang cepat dan tepat akan memberi kesempatan bagi lebih banyak nyawa untuk terselamatkan.
Sebagai penutup, pemerintah pusat seyogyanya perlu mempertimbangkan kembali keputusan untuk memberlakukan PSBB dan rencana darurat sipil. Penyebaran dan penyakit adalah dua komponen utama yang harus segera ditangani pada situasi ini, bukan ketertiban dan keamanan. Kepatuhan warga negara terhadap imbauan pemerintah untuk membatasi aktivitas di luar sejatinya berbanding lurus dengan sebesar apa kehadiran negara dalam menjamin kebutuhan hidup dasar warga negara selama masa darurat. Maka, pendekatan humanis perlu diutamakan kendati dalam situasi krisis.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!