Jum'at, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Februari 2020 17:55 wib
4.240 views
Omnibus Law: RUU Cilaka, Nasib Buruh Celaka?
Oleh:
Ulfiatul Khomariah
Founder Ideo Media, Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
BERANGKAT pagi pulang petang. Berjibaku dengan kemacetan menjadi rutinitas harian. Keringat bercucuran menekuni pekerjaan selama berjam-jam. Jatah bersama keluarga pun semakin berkurang. Beginilah keseharian buruh di sebuah pabrik yang gajinya bisa dibilang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Miris memang!
Kenaikan gaji pertahun nyatanya tak mampu merubah keadaan. Karena kenaikan gaji selalu diiringi kenaikan harga kebutuhan. Kenaikan harga TDL, gas elpiji, serta kebutuhan pokok yang harganya terus melambung tinggi. Jauh dari kata berkecukupan. Nasib pekerja buruh justru semakin memilukan. Belum lagi nasib karyawan outsourcing yang tidak bisa menjamin tetap sampai kapan masa kerja akan diperpanjang.
Berharap ada kabar gembira di pemerintahan masa mendatang. Yang terjadi justru pekerja buruh dihantui bayang-bayang kesuraman. Hadirnya Omnibus Law menjadi cikal bakal nasib buruh terancam celaka, terutama saat adanya RUU Cipta lapangan Kerja (Cilaka). Tentu, keberadaan RUU Cilaka ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Bahkan menjadi perbincangan hangat di kalangan aktivis Mahasiswa untuk didiskusikan.
Pemerintah dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja mengubah beberapa ketentuan soal ketenagakerjaan untuk meningkatkan investasi dalam negeri. Dikutip dari draft Omnibus Law Cipta Kerja, Sabtu (15/2/2020), ada beberapa hal menarik salah satunya soal lembur buruh yang jauh lebih lama. Pernyataan tersebut tertuang di dalam Omnibus Law Bab IV soal Ketenagakerjaan pasal 78.
Sebagaimana yang dilansir di kompas.com, 16/02/2020, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengungkapkan ada sembilan alasan mengapa Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja harus ditolak karena dianggap banyak membawa kerugian bagi sebagian kalangan terutama bagi pekerja buruh.
Sembilan alasan itu diantaranya: (1) hilangnya upah minimum, (2) hilangnya pesangon, (3) outsourcing bebas diterapkan di core bisnis, (4) kerja kontrak tanpa batas waktu, (5) waktu kerja yang eksploitatif, (6) TKA buruh kasar berpotensi bebas masuk ke Indonesia, (7) mudah di PHK, (8) jaminan sosial terancam hilang, dan (9) sanksi pidana hilang.
Kesembilan alasan itu berangkat dari tiga prinsip buruh yang dianggap KSPI tidak terdapat dalam Omnibus Law RUU tersebut. Presiden KSPI Said Iqbal menyampaikan alasan-alasan tersebut saat konferensi pers terkait RUU Cipta Kerja di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020).
Sebenarnya untuk apa Omnibus Law ini diberlakukan? Benarkah hadirnya RUU ini mampu menggenjot perekonomian nasional yang sedang ambruk? Nyatanya kebijakan yang diterapkan justru diduga kuat hanya berpihak pada keuntungan yang akan diraup oleh para pengusaha. Berdalih agar investasi terus mengalir sebagai syarat terciptanya lapangan kerja, justru pemerintah mengabaikan nasib rakyat sebagai pekerja.
Bak mimpi di siang bolong. Harapan bisa hidup sejahtera dalam pemerintahan yang baru nyatanya hanya fatamorgana. Kebijakan berganti kebijakan, ternyata tak mampu membawa perubahan pada kesejahteraan. Rezim berganti rezim, kemiskinan justru semakin menggurita. Janji manis saat kampanye begitu mudah dilupakan dan dikhianati begitu saja.
Rasanya sudah pusing kepala memikirkan permasalahan negeri yang tak ada ujungnya. Masalah perburuhan tidak pernah menemukan titik terangnya menuju keadilan. Karena sejatinya masalah itu terletak pada sistem korporatokrasi yang diterapkan di negeri ini. Sistem yang hanya berpihak pada kepentingan penguasa dan pengusaha.
Dalam sistem korporatokrasi, kebijakan yang diterapkan akan dijalankan layaknya sistem dalam perusahaan. Wajar jika RUU yang diberlakukan akan menghasilkan peraturan yang condong pada keuntungan para pemilik modal. Karena dalam sistem ini akan menciptakan transaksi politik antara penguasa dan pengusaha tanpa mempertimbangkan nasib rakyat jelata. Jika seperti ini, masih adakah harapan kesejahteraan bagi para buruh?
Dari sini seharusnya kita bisa mengambil banyak pelajaran, bahwa ketika manusia dibiarkan begitu saja membuat peraturan maka yang terjadi adalah kekacauan karena syarat dengan kepentingan. Apalagi dengan adanya sistem korporatokrasi, sudah bukan hal baru lagi jika setiap kebijakan yang dibuat adalah hasil kongkalikong antara penguasa dan pengusaha dengan asas kepentingan. Jadi masih mau tetap bertahan dengan sistem yang seperti ini? Wallahu a’lam bish-shawwab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!