Sabtu, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 8 Februari 2020 00:23 wib
3.402 views
Mendamba Jaminan Sertifikasi Halal Paripurna, Mungkinkah?
Oleh: Ragil Rahayu, SE
Mahalnya biaya sertifikasi halal menjadi masalah bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Pasalnya, sertifikasi itu diperuntukkan ke masing-masing produk. Misalnya rumah makan Padang memiliki 10 menu, maka seritikat halal harus dimiliki untuk masing-masing menu tersebut. Jika biaya sertifikat per produk sebesar Rp 10 juta maka biaya sertifikasi semua menu tersebut bisa mencapai Rp 100 juta. Hal ini tentu berat bagi UMKM. Kementerian Koperasi dan UMKM pun mengusulkan agar sertifikasi bukan lagi pada produk jadi, namun pada bahan bakunya.
Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki menjelaskan, misalnya pisang goreng harus disertifikasi halal. Bahan pisang goreng adalah pisang, minyak goreng, terigu, susu dan gula. Nantinya yang disertifikasi bukan pisang gorengnya, tapi bahan bakunya. Dengan begitu, kalau mereka memproduksi dari bahan-bahan yang sudah tersertifikasi pada hulunya, pelaku UMKM tidak perlu sertifikasi lagi (kompas.com, 01/02/2020). Usulan ini masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang akan disahkan tahun ini.
Jaminan Halal adalah Hak Rakyat Muslim
Usulan pemerintah tersebut bertentangan dengan kewajiban sertifikasi halal sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Apalagi Islam adalah agama mayoritas dari penduduk di negeri ini yakni 87,17 persen. Berarti mayoritas rakyat butuh jaminan kehalalan produk yang mereka konsumsi. Negara wajib untuk memberikan rasa aman pada warga negara muslim terkait kehalalan produk yang beredar di pasar.
Kehalalan sebuah produk tidak hanya ditentukan oleh bahan bakunya, namun juga proses pembuatan produk tersebut. Misalnya pabrik roti, bahan baku utama berupa terigu, telur, gula, dan lainnya bisa jadi dipastikan halal dari pemasok. Namun proses pembuatan adonan, pemanggangan hingga menjadi roti siap makan bisa jadi ada yang tidak halal. Maka pemantauan kehalalan produk tidak hanya di hulu, tapi juga di hilir.
Terkait kesulitan UMKM untuk mengurus sertifikat halal, negara bisa bersikap pro aktif. Penguasa hendaknya memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat. Hal ini sebagaimana hadis Rasulullah SAW yang artinya :
Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus (HR al-Bukhari dan Ahmad).
Berbagai kendala yang menghambat UMKM untuk mendapat sertifikat halal, perlu dibantu penyelesaiannya. Yaitu dengan sistem jemput bola. Negara mengirim tim untuk melakukan inspeksi ke pabrik UMKM sehingga pengusaha tidak perlu repot meninggalkan usahanya ke kantor LPPOM MUI. Kendala lain adalah biaya, agar semua produk bisa tersertifikasi halal, sebaiknya tarif pengurusan sertifikat halal digratiskan. Mengenai biaya operasional petugas, laboratorium dan lainnya bisa diambilkan dari kas negara yakni dari pos-pos yang memang untuk kemaslahatan rakyat. Toh, rakyat memiliki kekayaan alam yang dikelola negara. Rakyat juga membayar pajak melalui Dirjen Pajak. Rakyat juga membayar zakat melalui BAZNAS. Dana-dana tersebut jika dikelola dengan amanah, tidak diserahkan ke asing dan tidak dikorupsi akan bisa membiayai penggratisan sertifikat halal bagi UMKM.
Halal-Haram dalam Sistem Islam
Halal-haram adalah perkara penting dalam Islam. Terutama dalam hal makanan. Karena makanan yang dimakan seseorang mempengaruhi diterima dan tidaknya amal soleh seseorang.
Allah SWT berfirman:
“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan; karena sesungguhnya syaithan adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. 2:168)
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Allah Ta’ala itu baik, tidak menerima kecuali yang baik, dan bahwa Allah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan apa yang diperintahkannya kepada para rasul dalam firman-Nya: ‘Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.’” (Qs. al-Mu’minun: 51). Dan Ia berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu.” (Qs. al-Baqarah: 172). Kemudian beliau menyebutkan seorang laki-laki yang kusut warnanya seperti debu mengulurkan kedua tangannya ke langit sambil berdo’a: ‘Ya Rabb, Ya Rabb,’sedang makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, ia kenyang dengan makanan yang haram, maka bagaimana mungkin orang tersebut dikabulkan permohonannya?”
Sistem Islam sangat menjaga kehalalan produk yang beredar di pasar. Rasulullah SAW melakukan inspeksi ke pasar setiap hari, untuk memastikan tidak ada barang haram yang beredar di masyarakat. Beliau juga melarang produksi zat haram seperti khamr. Hal ini diikuti oleh para penguasa Islam sepeninggal beliau SAW. Para khulafa'ur rasyidin memberi sanksi bagi orang yang kedapatan mabuk. Hal ini untuk mencegah munculnya permintaan bagi produk haram.
Laits bin Abi Sulaim meriwayatkan bahwa Khalifah Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada para wali yang memimpin daerah, memerintahkan agar mereka membunuh babi dan membayar harganya dengan mengurangi pembayaran jizyah dari non muslim (Al Amwaal, Abu Ubaid hal. 265). Ini dalam rangka melindungi umat dari mengkonsumsi dan memperjualbelikan produk haram.
Demikianlah jaminan kehalalan produk yang paripurna diwujudkan oleh sistem Islam. Jaminan ini tak bisa diwujudkan dalam sistem kapitalis seperti saat ini karena standard mengkonsumsi produk bukan halal-haram, melainkan manfaat. Itulah sebabnya sertifikat halal diadakan jika menguntungkan, sebaliknya sertifikat halal diabaikan ketika dirasa memberatkan. Sebagai muslim, tidakkah kita menginginkan jaminan kehalalan paripurna seperti yang ditawarkan sistem Islam? Wallahu a'lam bishshowab.
*)Pengasuh Majelis Taklim Mar'atus Solihah Sidoarjo
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!