Jum'at, 25 Jumadil Awwal 1446 H / 14 Juni 2019 13:28 wib
4.627 views
Investasi, antara Gemerlap dan Nestapa
Oleh: Rina Yulistina
Madiun, bukan lagi menjadi kota kecil namun sekarang dalam proses menuju kota gemerlap. Siapa sangka nilai investasi di kota Madiun mencapai Rp 5 triliun. Menurut Kepala Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), koperasi dan Usaha Mikro Kota Madiun, Harum Kusumawati, yang dilansir di laman Antaranews.com nilai Rp 5 Triliun tersebut disumbang dari bidang perdagangan dan jasa. Seperti sejumlah hotel berbintang, pusat pembelanjaan, restoran dan tempat hiburan di Kota Madiun. Jadi jangan heran jika hotel berbintang berjamur dimana-mana, cafe dan hiburan malam dipenuhi oleh mobil yang berjejer rapi.
Semakin meningkatnya investasi tentunya akan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) apalagi dengan sistem otonomi daerah maka hal ini sangat menggiurkan. Pasalnya semakin tinggi PAD suatu daerah maka semakin makmur nasib masyarakat di dalamnya. Di Madiun sendiri PAD tahun 2018 tembus Rp 220,9 Miliar (Pojokpitu.com). Tentunya di tahun 2019 target PAD akan dinaikan.
Investasi, Apa yang Salah?
Berbicara perihal investasi, sekilas tak ada yang salah ketika pemilik modal menanamkan modalnya di kota yang terkenal dengan pecel dan brem ini. Namun dengan semakin gemerlapnya Kota Madiun, timbul sebuah pertanyaan apakah meroketnya investasi berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat secara riil dan kuatnya moral masyarakat?
Ketika kita tengok data BPS di tahun 2019 bulan April inflasi di Kota Madiun sebesar 0,41% dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 133,13. Inflasi Kota Madiun termasuk tertinggi di Jatim setelah Jember sebesar 0,45%. Itu artinya terjadi kenaikan harga-harga terutama kebutuhan pokok. Ketika terjadi kenaikan harga sedangkan pendapatan rakyat tetap tidak naik tentunya rakyat menjadi kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya terutama masyarakat menengah kebawah. Mereka berusaha mengencangkan ikat pinggangnya supaya dapur tetap mengepul.
Semakin sulit rakyat memenuhi kebutuhan pokok hidupnya maka daya beli masyarakat akan merosot itu artinya roda perekonomian kota Madiun pun ikut terganggu. Di tahun 2018 saja garis kemiskinan kota Madiun cukup tinggi yakni Rp 446.525 per kapita per bulan atau meningkat hampir Rp 42 ribu dibanding tahun sebelumnya (Madiuntoday.id). Bisa kita bayangkan di tahun 2019 ini berapa kali lipat jumlah rakyat yang miskin mengingat semua kebutuhan dasar naik dari TDL, BBM, elpiji, apalagi nilai mata uang rupiah terus melemah terhadap dolar. Perekonomian menjadi serba sulit.
Dengan kondisi ekonomi serba sulit, alhamdulillah 66,56 persen penduduk Kota Madiun telah memiliki tempat tinggal dengan status milik sendiri (Madiuntoday.id). Namun perlu diperhartikan bahwa jumlah RTLH (Rumah Tidak Layak Huni) di tahun 2017 mencapai 11.709 unit (Rri.co.id). Berdasarkan visi dan misi RTLH akan melakukan renovasi rumah supaya layak huni, di tahun 2017 baru 692 unit rumah yang berhasil direnovasi. Itu artinya terdapat 680.291 unit yang belum tersentuh.
Kondisi rumah tidak layak huni bisa dipastikan sanitasi yang dimiliki pun cenderung tidak layak. Padahal keberadaan sanitasi yang layak sangat dibutuhkan karena terkait kesehatan. Salah satu penyumbang stunting di Kota Madiun adalah sanitasi yang kurang layak ditambah kurangnya asupan gizi ketika masa kehamilan hingga balita. Terdapat 995 anak balita yang mengalami stunting (Regional.kompas.com). Sungguh ironis di tengah gemerlapnya kota.
Di lain sisi berdasarkan data BPS Provinsi Jatim, susenas Maret 2016 menyatakan bahwa 52,53 persen pengeluaran perkapita masyarakat Madiun masuk ke dalam golongan 6 yaitu menghabiskan uangnya hanya untuk konsumsi lebih dari Rp 1 juta. Sisanya 10,27% untuk Rp 750-999 ribu, 20,40% untuk 500-749 ribu, 13,93% untuk 300-499 ribu, 2,87% untuk 200-299 ribu. Ketika sebagian besar masyarakat Madiun menghaburkan uangnya untuk berbelanja di mall, nongkrong di cafe, atau bersenang-senang di tempat hiburan. Sedangkan 47,47 persen masyarakat Madiun yang lain harus menahan diri untuk melakukan hal tersebut. Artinya masyarakat Madiun masih didominasi oleh masyarakat menengah, dan menengah ke bawah.
Ekonomi Kapitalis, Apa Efeknya?
Adanya ketimpangan antara si kaya dan si miskin hanya terjadi pada konsep ekonomi kapitalis dimana perekonomian hanya difokuskan pada pemilik modal. Investor merupakan anak emas, karena dari usaha bisnis yang dilakukan oleh investor otomatis akan meningkatkan Gross Domestic Bruto (GDB) dan meningkatkan pendapatan perkapita Madiun. Namun, GDB dan pendapatan perkapita hanyalah angka yang tidak mempengaruhi kualitas hidup masyarakat umum yang tak memiliki modal, malah mereka disulap untuk menjadi konsumtif dengan semakin gemerlapnya kota Madiun. Sifat konsumtif inilah yang dimanfaatkan oleh investor untuk meraup keuntungan. Sehingga kekayaan tetap berputar pada pemilik modal saja.
Sifat konsumtif berasal dari gaya hidup materialistis nan hedonis serba wah terbukus indah dalam 3 F yaitu food, fun dan fasion. Gaya hidup seperti ini sangat berbahaya bagi kehidupan bermasyarakat, banyaknya penyakit sosial berasal dari sini. Mulai dari prostitusi online maupun offline bahkan "bong cino" nama tempat prostitusi yang sepertinya semua masyarakat Madiun tahu merupakan tempat garis merah HIV AIDS (Jateng.trinunnews.com). Belum lagi adanya pesta eLGeBeTe yang diadakan disalah satu hotel di Madiun (Tribunnews.com). Kasus narkoba mulai dari Januari hingga November 2018 terdapat 29 kasus (Antaranews.com).
Kota gemerlap bukan sebatas bangunan fisik namun lebih dari itu. Banyak PR yang harus dilakukan pemkot, sebab kota yang ingin maju merupakan kota yang bersedia mendengarkan keluh kesah warganya sebagai cermin kinerja kedepannya. Meroketnya investor sudah selayaknya untuk disyukuri dan dikelola dengan sebaik baiknya untuk kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat dan sebagai penguat moral bangsa.
Indonesia negara mayoritas muslim, tidak terkecuali kota Madiun. Tidak ada yang salah jika kita menengok bagaimana Islam mengatur masalah ekonomi terutama dalam bidang investasi. Di dalam Islam yang terpenting adalah meratanya kesejahteraan rakyat bukan tingginya GDP, ataupun pendapatan perkapita oleh karenanya meratanya distribusi kekayaan merupakan tugas wajib bagi pemerintah. Pemerintah harus memastikan bahwa seluruh lapisan masyarakat terpenuhi seluruh kebutuhan sandang, pangan dan papan dengan harga yang stabil. Memberikan lapangan pekerjaan yang luas dengan upah yang tinggi, dan memastikan bahwa zakat terdistribusi dengan benar sesuai aturan islam yaitu 8 golongan.
Investasi dalam Islam
Terkait soal investasi, Islam sangat mengatur masalah investasi jangan sampai investasi yang dilakukan mengundang azab Allah. Di dalam Islam investasi tidak boleh dilakukan di bidang bisnis yang membahayakan dan haram seperti narkoba, minuman keras, klub malam, cafe remang-remang, prostitusi, dll. Oleh karenanya investasi yang diperbolehkan hanya yang terkait dalam hal yang halal saja. Karena keberkahan itu jauh lebih penting dibandingkan dengan keuntungan yang banyak.
Dengan pengaturan investasi yang jelas maka akses kepada aktivitas haram bisa diminimalisir keberadaannya. Masyarakat lebih fokus mencari rizki yang halal dan membelanjakan uangnya kepada yang halal. Selain itu Islam pun menjelaskan perbedaan kebutuhan dengan keinginan dalam memiliki suatu barang. Maka dengan masyarakat memahami apa itu kebutuhan dan apa itu keinginan diharapkan mampu menekan hawa nafsu dalam food, fun dan fasion.
Semoga dengan menerapkan aturan Islam, Rahmat Allah senantiasa menaungi ibu pertiwi, memberkahi kehidupan seluruh rakyat dengan tidak meninggalkan aturan Allah. Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)
Ilustrasi: Google
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!