Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 12 November 2018 20:45 wib
5.099 views
Habib Rizieq Shihab 'Selilit' Sang Rezim
Oleh: Harits Abu Ulya (Pengamat Intelijen & Terorisme)
Media Indonesia seolah tidak ada habisnya untuk memberitakan soal Habib Rizieq Shihab (HRS).
Tentu publik mulai sadar dan belajar; bahwa sosok HRS karena beberapa hal memang punya magnitude kuat untuk menjadi obyek pemberitaan, di sisi lain juga belajar bahwa kadang media obyektif jujur apa adanya hanya menyampaikan fakta, mengabarkan fakta dan peristiwa. Kadang menyuguhkan berita dalam satu framing persepsi dan opini tertentu.
Dan pada kasus sosok HRS publik kadang merasakan aroma determinasi subyektifitas sebagian besar media.
Menilik kasus terbaru; HRS dimintai keterangan oleh pihak berwajib Saudi terkait pelaporan adanya bendera bertuliskan kalimat Tauhid nempel didinding luar rumah kediaman HRS.
Bagi HRS bisa jadi hal ini sesuatu yang biasa. Tapi ternyata terkesan tidak bagi rezim dan sebagian media mainstream yang ada di Indonesia.
Publik melek; Ketika kasus HRS ini dianggap sangat "sesuatu" maka justru mengisyaratkan ekspos kasus yang menimpa HRS itu ada target dan pesan tertentu yang ingin di sampaikan ke publik. Dan substansi pesan itu bisa di jejak dari alur dan bagaimana framing narasi media itu disuguhkan.
Dan jika kita mencermati bagaimana kasus itu terjadi dan kemudian distribusi kabar kasus ke dan dari jejaring media abal-abal hingga viral merambah ke media mainstream akan mengantarkan pada satu kesimpulan; ini by design.
Analisa saya; dari evident (indikasi-indikadi) yang ada, apa yang menimpa HRS adalah produk operasi intelijen.
Ada upaya menjatuhkan HRS dalam kubangan masalah. Paling tidak untuk mengunci semua langkah HRS selama di Saudi. Bahkan kalau perlu akan di buat opsi "di-munir-kan".
Ketika dikulik soal keimigrasian; HRS lolos, berikutnya niscaya akan dicoba dengan modus lain. Kali ini modusnya adalah;
Membangun image kedekatan dan keterkaitan HRS dengan kelompok-kelompok yang di labeli ekstrimis bahkan teroris.
Tembok luar rumah kediaman HRS di pasang bendera Tauhid, di dokumentasikan lanjut dilaporkan kemudian diasosiasikan dengan kelompok ISIS, HT dan sebagainya di mana Saudi sangat alergi bahkan keras bersikap terhadap kelompok-kelompok tersebut. Ini cara atau modus murahan.
Bisa jadi aktor perencana menilai pasca seruan HRS kepada umat Islam Indonesia agar mengibarkan bendera Tauhid sebagai respon terhadap kasus pembakaran bendera Tauhid di Garut Jabar itu dianggap relevan dengan bertenggernya bendera Tauhid di tembok luar kediaman HRS.
Dengan begitu HRS mudah dijadikan target oleh aparat keamanan Saudi. Dengan resiko penjara sampai hukuman mati. Padahal cara ini potensi blunder bagi pihak-pihak yang merencakan dan aktor lapangan.
Di sisi lain ada indikasi pihak rezim yang berkuasa di Indonesia melalui KBRI di Saudi ingin meraup keuntungan; Narasi yang dibangun di atas kasus yang menimpa HRS di Saudi adalah rezim ternyata peduli bahkan siap advokasi kasus yang dihadapi HRS.
Jadi stressing analisanya; Rezim ingin meraup citra positif sembari cuci tangan seolah-olah tidak terlibat atau tidak tahu menahu dengan peristiwa yang menimpa HRS.
Dan ketika kasus ini bagi HRS adalah hal biasa namun bagi rezim penguasa di Indonesia dan ekspos media menjadikan seolah-olah kasus ini besar maka ini adalah cara untuk membuat citra negatif bagi HRS, sedang dibangun image HRS adalah trouble maker dimanapun berada. Targetnya untuk membuat untrush (ketidak percayaan) publik khususnya umat Islam Indonesia kepada HRS. Hulu dan muaranya ini semua adalah soal kekuasaan; pertarungan pilpres 2019.
Pada konteks inilah relasi HRS dengan rezim bisa di ibaratkan; HRS menjadi selilit bagi rezim. Eksistensi HRS membuat "tidak nyaman" bagi rezim. Maka niscaya design demi design dibuat untuk mencongkel "selilit" ini.
Saya melihat jika ada keinginan dari pihak FPI agar HRS pulang atau di pulangkan itu adalah ide yang positif. HRS dan keluarganya adalah WNI, tidak ada alasan negara untuk menolak kepulangannya. Sekiranya pulang kemudian HRS karena satu dan lain hal kemudian kembali masuk ke tahanan atau lapas maka saya yakin itu bukan hal yang menakutkan bagi beliau. Beliau sudah pernah merasakan hal itu.
Tapi dari sisi kepentingan umat yang lebih luas tentu hadirnya HRS di Indonesia akan jauh lebih besar maslahatnya.
Puncak bahaya bagi HRS adalah di "munirkan". Tapi disaat umat islam pada level kesadaran berpikir dan kesadaran politiknya sangat baik, maka jika kalau HRS di "munirkan" itu akan memantik kontraksi sosial yang luar biasa. Dan rezim yang bercokol hari ini akan menjadi pihak yang paling tertuduh dan harus bertanggungjawab dengan segala resikonya.
Jadi menurut hitung-hitungan saya; HRS pulang balik ke Indonesia itu lebih baik. Saya melihat jutaan Umat Islam siap disisi HRS. Dan HRS tidak hanya "selilit" tapi juga buahsimalakama bagi rezim saat ini. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!