Ahad, 15 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Februari 2017 17:15 wib
9.037 views
Non-Muslim Bukan Kafir? Tanggapan Terkait Analisa Istilah Kafir dalam Al-Qur'an (Bagian-1)
Oleh Zaqy Dafa (Peneliti Pemikiran Islam)
Istilah Muslim-Kafir merupakan terma yang digunakan oleh Islam untuk membedakan antara orang yang memeluk agama Islam dan para pemeluk agama lainnya. Istilah Muslim-Kafir ini diambil dari Al-Quran-Hadits, digunakan mulai zaman Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama hingga empat belas abad kemudian sampai hari ini.
Dalam rentan waktu penggunaan istilah tersebut, antara Muslim dan non-Muslim tetap dapat hidup berdampingan secara harmonis tanpa ada yang mempermasalahan istilah pembeda Muslim dan Kafir, karena memang bagi Muslim istilah tersebut sudah menjadi keyakinan bagi diri mereka.
Akan tetapi, di beberapa waktu terakhir, istilah kafir menjadi sebuah masalah. Pasalnya, terdapat sebuah asumsi sebagian orang bahwa kata kafir itu menakutkan dan menjadi teror, sehingga dianggap menyalahi aturan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam benak sebagian orang, kafir itu halal darahnya dan boleh dibunuh. Dari dasar berfikir seperti ini, lalu ada pihak-pihak yang mengusulkan agar non-Muslim itu tidak dianggap semuanya kafir.
Tulisan ini akan membahas usulan sebagian kalangan tentang non-Muslim tidak semuanya kafir serta beberapa argumentasi yang mereka berikan yang kami ambil dari salah satu artikel di sebuah situs nasional, karena mereka juga berdalil dengan ayat-ayat Al-Quran sehingga boleh-boleh saja ditinjau kembali secara mendalam kekuatan hujjah mereka. Hal ini menjadi penting, karena usulan ini merupakan sesuatu yang tidak pernah ada sebelumnya, sehingga kemungkinan penyalahgunaan dalil untuk penyimpangan akidah dan meraih kepentingan duniawi sangat mudah terjadi. Tulisan ini juga akan sedikit mengulas bagaimana kedudukan istilah kafir dalam ranah kehidupan berbangsa dan bernegara, apakah memang sudah tidak relevan lagi ataukah tetap relevan.
Argumentasi Pertama: QS. Al-Bayyinah: 1
Kami mengawali pembahasan dengan mengutip argumentasi pertama dari artikel tersebut. Untuk menunjukkan bahwa tidak semua non-Muslim itu kafir, dia berdalil menggunakan QS. Al-Bayyinah: 1 dengan melakukan tinjauan bahasa sebagai pisau analisisnya. Dia menulis:
“Perhatikan redaksi dalam QS. al-Bayyinah/98: 1 berikut ini:
“Orang-orang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.”
Jika kita gunakan analisis bahasa, dalam ayat itu tersebut kata ‘min’ yang oleh mufasir disebut lit tab’îdz yang artinya sebagian. Jadi, orang kafir itu sebagian berasal dari Ahlul Kitâb. Artinya, tidak semua Ahlul Kitâb itu kafir.” (nu.or.id)
Tanggapan: Jadi, dengan memaknai lafazh “min” dengan makna “sebagian”, penulis artikel tersebut lalu menyimpulkan bahwa Ahlu Kitab dan Musyrikin tidak semuanya kafir. Sebagian kafir dan sebagian tidak, menurutnya.
Padahal, jika menilik beberapa keterangan ahli tafsir maka sangat berbeda dengan apa yang dia tulis diatas. Ahli tafsir kenamaan, Muhammad Amin al-Syanqithi menyatakan bahwa QS. Al-Bayyinah: 1 diatas menunjukkan bahwa label kafir mencakup semua Ahli Kitab dan Musyrikin, seperti halnya Musyrikin bukanlah Ahli Kitab dan sebaliknya. Hal ini sudah lumrah di kalangan ahli Kalam dan ahli tafsir. Mereka sepakat bahwa yang dimaksud Ahli Kitab adalah Yahudi dan Kristen, sedangkan Musyrikin adalah kaum politeis (penyembah berhala), dan label kafir mencakup kedua kelompok tersebut. (Muhammad Amin al-Syanqithi, Adlwa al-Bayan fi Tafsir al-Quran bi al-Quran, juz 9 hlm. 245)
Menurut ulama tafsir lain, Abu Barakat al-Nasafi menyebutkan bahwa maksud QS. Al-Bayyinah: 1 tersebut adalah orang-orang Ahli Kitab dan Musyrikin tidak meninggalkan kekafiran mereka hingga diutusnya Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama. Setelah beliau diutus, sebagian mereka masuk Islam dan sebagian mereka tetap kafir. (Abu Barakat al-Nasafi, Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Ta’wil, juz 4 hlm. 45) Dapat dilihat bahwa al-Nasafi selalu menggunakan istilah kafir untuk Ahli Kitab dan Musyrikin.
Al-Qatthan menyebutkan bahwa makna QS. Al-Bayyinah: 1 tersebut adalah para Ahli Kitab dan Musyrikin berkata sebelum Nabi Muhammad diutus, “Kami tidak akan lepas dari agama kami hingga diutus Nabi yang dijanjikan dalam Injil dan Taurat, yaitu Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama.” (al-Qatthan, Taisir al-Tafsir, juz 3 hlm. 444) Berarti konteks ayat diatas adalah sebelum Rasulullah diutus, bukan setelahnya.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa penggunaan dalil QS. Al-Bayyinah: 1 untuk mengatakan bahwa tidak semua non-Muslim itu kafir menyalahi keterangan para ulama tafsir. Menurut kami, “min” yang ada dalam ayat tersebut dalam tinjauan ilmu Nahwu bukan “min tab’idl” yang bermakna sebagian, di samping tidak ada sumber siapa mufassir yang berkata demikian. Melihat keterangan beberapa mufassir diatas, yang tepat adalah “min tabyin” yang bermakna “yaitu”, karena memang semua Ahli Kitab dan Musyrikin adalah kafir dalam istilah Al-Quran.
Argumentasi Kedua: Tidak Semua Ahlul Kitab Sama
Ini merupakan dalil kedua yang diajukan penulis artikel diatas. Dia mengatakan:
“Yang disepakati mayoritas, Ahlul Kitâb adalah Yahudi dan Nasrani. Ahlul Kitab tidak sama. Ada yang menolak ajaran Nabi tetapi bersahabat dengan Nabi dan pengikutnya. Ada juga yang menerima ajaran Nabi tetapi menolak dan memusuhi orangnya. Perhatikan ayat berikut ini:
“Mereka itu tidak sama. Di antara Ahlul Kitâb ada golongan yang berlaku lurus. Mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam-malam hari, sedang mereka bersujud” (QS. Ali Imran/3: 113).
Di ayat lain, Allah berfirman yang menegaskan bermacam-macam sifat Ahlul Kitâb yang tidak tunggal:
“Dan sesungguhnya di antara Ahlul Kitâb ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepadamu dan apa yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah, dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran/3: 199)
Orang-orang Yahudi menolak dan mengingkari risalah Nabi bukan karena ajarannya, tetapi orangnya. Ajaran monoteisme Yahudi sama dengan tauhid yang dibawakan Nabi. Yang mereka tolak adalah Nabi yang berasal dari bangsa Arab. Oleh mufasir, al-magdzûb alaihim (orang-orang yang dimurkai) dalam QS. al-Fatihah merujuk kepada orang Yahudi yang dicela karenaarogansi rasial mereka. Al-Qur’anbanyak sekali mengecam Yahudi dengan nada keras.” (nu.or.id)
Tanggapan: Perlu ditegaskan, bahwa asbabun nuzul dari QS. Ali Imran: 113 diatas adalah tentang beberapa petinggi Yahudi yang masuk Islam seperti Abdullah bin Salam, Tsa’labah bin Sa’yah, Usaid bin Ubaid, dan beberapa orang lainnya. Mereka dikatakan tidak sama dengan Ahlul Kitab lainnya karena mereka mau jujur menerima ajaran Taurat yang benar untuk beriman kepada nabi akhir zaman yaitu Nabi Muhammad ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama, lalu masuk Islam. (lihat: Syihabuddin al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, juz 3 hlm. 179; Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 2 hlm. 411)
Sedangkan asbabun nuzul dariQS. Ali Imran: 199, sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini turun kepada beberapa Yahudi yang mendapat hidayah lalu masuk Islam. Sebagian lain mengatakan ayat ini turun tentang empat puluh orang Kristen Najran, dua puluh tiga Kristen Habasyah, dan delapan Kristen Romawi yang masuk Islam. Sebagian lain mengatakan ayat ini turun kepada Raja Kristen Habasyah Najasyir (Negus) yang meninggal lalu Rasulullah ShallaLlahu ‘alaihi wa Sallama meminta untuk shalat Ghaib kepadanya. (lihat: al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf, juz 1 hlm. 367; Jalaluddin al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsur, juz 3 hlm. 24) Perlu diketahui juga bahwa Negus termasuk raja Kristen yang masuk Islam di akhir hayatnya. (Muhammad al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Quran, juz 4 hlm. 312)
Melihat beberapa keterangan mufassir diatas, maka Ahlul Kitab memang semuanya tidak sama. Namun ketidaksamaannya adalah ada yang akhirnya mendapat hidayah lalu masuk Islam, ada yang tidak. Selama tidak masuk Islam, semua Ahlul Kitab dianggap sama saja secara akidah baik Yahudi maupun Kristen. Adapun sikap mereka yang sebagian bersahabat atau tidak secara sosial, maka hal itu disikapi secara sosial juga tanpa harus menyinggung ke ranah akidah.
Adapun ucapan bahwa ajaran monoteisme Yahudi sama dengan Tauhid dalam Islam, maka hal itu keliru. Yahudi sudah lama tercampur akidahnya dengan penyembahan berhala. Dalam Al-Quran, Yahudi pernah menyembah patung sapi emas dan menganggap Uzair itu anak Tuhan. Nama Tuhan dalam agama Yahudi pun bukan Allah, akan tetapi YHWH yang menjadi misteri Tetragrammaton. Jelas tidak sama antara akidah Yahudi dan Islam.
Argumentasi Ketiga: Teologi Nasrani Sesat, tapi Sikap Sosialnya Bersahabat
Demikian asumsi yang dikemukakan oleh penulis artikel di atas. Dia lalu berdalil menggunakan ayat Al-Quran berikut:
“Sungguh akan kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan orang musyrik. Dan sungguh akan kamu dapati orang-orang yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman adalah orang-orang yang berkata, ‘sesungguhnya kami ini orang Nasrani.’ Yang demikian karena di antara mereka terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, dan juga karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri” (QS. al-Maidah/5: 82).
Dia menulis:
“Jika kita perhatikan ayat-ayat ini, al-Qur’an mengecam Yahudi dengan nada keraskarena kesombongan dan kedengkiannya terhadap Nabi, meskipun tauhid mereka lurus. Di sisi lain, al-Qur’an mencela teologi Nasrani yang sesat, tetapi memuji sikap sosial mereka yang bersahabat.” (nu.or.id)
Tanggapan: QS. Al-Maidah: 82 diatas memang Allah menyebutkan tentang tipikal agama Kristen yang lebih friendly daripada Yahudi. Akan tetapi, perhatikan kutipan keterangan dari ahli Fiqh Qadli Abu Ya’la berikut:
“Mungkin sebagian orang jahil menyangka bahwa ayat ini menyanjung Kristen, padahal tidak begitu. Ayat ini hanya menyanjung umat Kristen yang akhirnya mau beriman, dan hal ini ditunjukkan pada ayat setelahnya. Sudah tidak diragukan bahwa ajaran Kristen lebih buruk dari Yahudi.” (Abu Farj Ibn al-Jauzi, Zad al-Masir, juz 2 hlm. 254)
Ulama kenamaan, Ibn Jarir al-Thabari juga menyebutkan, “Ayat ini (QS. Al-Maidah: 82) dan ayat setelahnya turun tentang sekelompok Kristen Habasyah yang datang kepada Rasulullah, lalu ketika mereka mendengar Al-Quran maka mereka masuk Islam dan mengikuti ajaran beliau.” (Ibn Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Quran, juz 10 hlm. 499)
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa jika ayat diatas digunakan untuk menghilangkan label kafir yang diyakini oleh umat Islam maka hal itu salah besar. Mestinya penulis artikel tersebut tidak mencampuradukkan antara ranah sosial dan ranah akidah. Selain itu, Tauhid dalam Islam tidak seperti ajaran Yahudi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!