Jum'at, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 25 November 2016 04:30 wib
7.563 views
Standar Ganda Penguasa dan Media Menzholimi Suara Umat Islam
Sahabat VOA-Islam...
Aksi Bela Islam II 411 mengukir sejarah baru perjuangan kaum muslimin menegakkan keadilan demi membela agama Allah Swt. Aksi damai yang sungguh spektakuler dan murni didorong oleh keimanan kepada Allah Swt ini ternyata menyisakan cerita yang menyesakkan dada kaum muslimin. Pemberitaan negatif dan penolakan penguasa terhadap suara kaum muslimin menjadi bukti baru kezaliman dan standar ganda penguasa terhadap kaum muslimin.
Jokowi yang katanya merakyat justru tak mau menemui para ulama yang menjadi wakil dari peserta aksi damai. Padahal aksi damai tersebut adalah wujud aspirasi rakyat. Pidato Jokowi setelah melarikan diri dari peserta aksi, justru menimbulkan opini di masyarakat seolah-olah ada aktor politik yang menggerakkan massa untuk kepentingan politik (Pilkada). Hal ini berhasil mengaburkan opini terhadap suara kaum muslimin yang benar-benar murni membela Islam lewat aksi damai 411.
Media nasional yang sekuler pun massif menulis berita yang tak sesuai dengan fakta. Mereka bersekongkol mencitra burukkan Aksi Bela Islam 411 dengan menebar fitnah dan kebohongan. Mereka dengan gencar memberitakan rusuh di pertengahan aksi seolah-olah peserta aksi lah dalang dari kerusuhan tersebut. Media juga gencar memberitakan kasus penjarahan di Penjaringan yang tidak ada kaitannya dengan aksi damai.
Media asing pun sama massifnya memberitakan aksi 411 tersebut dengan berita yang tidak akurat dan lagi-lagi tak sesuai fakta. Mereka bahkan mengecilkan jumlah angka peserta aksi 4/1. Dikutip dari Antara, Media Inggris, BBC memberitakan dengan judul “Indonesian Protest : Jakarta Anti-Governor Rally Turns Violence” (Demonstrasi Indonesia: Unjuk Rasa Anti Pemerintah Jakarta Berubah Menjadi Kekerasan). BBC menyebutkan jumlah peserta aksi 50 ribu orang.
Sidney Morning Herald juga memberitakan berita yang tak jauh berbeda. Koran Australia itu menulis judul “Jakarta Protest: Violence on the Streets as Hardline Muslims demands Cristians Governor Ahok be Jailed“ atau “Demonstrasi Jakarta: Kekerasan di Jalanan ketika Muslim Garis Meras Menuntut Gubernur Kristen Ahok Dipenjara“. Jumlah peserta aksi pun mereka sebut hanya 150 ribu orang.
CNN juga menulis ribuan demonstran bergerak di Jakarta untuk menuntut apa yang disebut media ini, Gubernur Jakarta yang dituduh menghina Muslim. 200 ribu orang peserta aksi mereka tulis untuk melengkapi berita mereka.
Sungguh tampak kebencian dan persengkokolan media-media tersebut untuk menyudutkan bahkan membuat seolah-olah kaum muslimin lah yang bersalah, bukan Ahok Si Penista Al-Qur’an. Jumlah peserta aksi yang luar biasa banyak pun dapat mereka tutupi tanpa rasa malu. Padahal siapapun yang menyaksikan aksi 411 dapat memprediksi jumlah peserta aksi yang hampir mendekati 1 juta orang!
Fitnah belum habis mereka tulis, media-media di kawasan ASEAN seperti Singapura dan Filipina bahkan mengaitkan aksi 411 dengan ISIS (Liputan6.com). Sungguh tampak kebencian dan persengkokolan media-media tersebut untuk menyudutkan bahkan membuat seolah-olah kaum muslimin lah yang bersalah, bukan Ahok Si Penista Al-Qur’an. Jumlah peserta aksi yang luar biasa banyak pun dapat mereka tutupi tanpa rasa malu. Padahal siapapun yang menyaksikan aksi 411 dapat memprediksi jumlah peserta aksi yang hampir mendekati 1 juta orang!
Media sekular merupakan corong demokrasi. Dalam sistem demokrasi yang identik dengan kebebasan dan hak bersuara, media dijadikan alat politik para penguasa. Politik media massa kerap digunakan untuk menghina Islam dan menzalimi kaum muslimin apalagi di masa-masa kampanye dan Pilkada. Kasus Ahok adalah contoh nyata bagaimana media memutar-balikan fakta untuk menutupi kesalahan Ahok. Sementara kebebasan kaum muslimin untuk membela kehormatan dan agamanya mereka larang. Mereka malah menyalahkan kaum muslimin yang menjadi korban sebenarnya pada kasus Ahok.
Standar ganda pun diberlakukan bagi kaum muslimin oleh penguasa. Lihatlah bagaimana perlakuan Presiden Jokowi ketika menyambut Aguan cs yang merupakan para pengemplang pajak di istananya untuk memuluskan UU Pengampunan Pajak. Atau lihatlah bagaimana perlakuannya menyambut dalang kerusuhan Tolikara dan para pelawak dengan ramah tamah dan tangan terbuka. Sungguh kontras dengan sikapnya yang ditunjukkan kepada para ulama yang mewakili ratusan ribu umat Islam, yang datang dengan damai meminta keadilan di hadapan penguasa. Para ulama, pewaris para Nabi ini justru mendapat perlakukan yang jauh berbeda. Presiden bersikap tak negarawan dan terkesan menghindar.
Ini mengundang kritikan dari Ketua Komunitas Tionghoa Antikorupsi (Komtak), Lieus Sungkharisma, menyayangkan sikap tak negarawan Jokowi yang terkesan menghindar menemui perwakilan demonstran di Istana Negara, Jumat (4/11) lalu. Menurut Lieus, Jokowi seharusnya bisa memahami betapa seriusnya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok, karena berpotensi merusak keutuhan bangsa.
“Pelawak aja diterima sama presiden di istana. Ini yang datang umat Islam dari seluruh Indonesia yang marah karena agamanya dihina, tapi malah tidak dilayani oleh presiden. Enggak bener ini Jokowi,” ucapnya.
Lieus menuturkan, umat Islam di Indonesia sudah begitu sabar menunggu kepastian hukum atas masalah dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Sayangnya, aparat penegak hukum malah terkesan lamban mengusut kasus tersebut (Republika.co.id).
Standar ganda dalam pengusutan kasus Ahok pun tak dapat ditutupi oleh Jokowi. Lihatlah Jokowi dengan sigap memerintahkan Kapolri untuk segera mengusut tuntas kasus pengeboman gereja di Samarinda yang baru-baru ini terjadi, sedangkan kasus Ahok terkesan lambat diusut. Padahal kasus Ahok bukanlah kasus yang sepele, jika penguasa tak serius dalam menangani kasus ini dapat berpotensi merusak keutuhan negara.
Kini pasca 411 terkesan ada upaya paksa dari penguasa untuk melindungi bahkan menyelamatkan Ahok Si Penistaan Al-Qur’an. Upaya ini terlihat dari safari politik yang dilakukan oleh Jokowi kepada para petinggi ormas Islam di Indonesia dan para ulama se-Jabar dan Banten. TNI-Polri pun tak luput dari safari politik Jokowi.
Gelar perkara terbuka yang diperintahkan Jokowi, justru dapat menjadi bumerang bagi kaum muslimin, karena berpotensi Ahok lepas dari hukum jika bukti tidak cukup kuat. Perintah Jokowi kepada Kapolri untuk menggelar perkara secara terbuka agar transparan dan tak ada syak wasangka dalam masyarakat, justru mengisyaratkan ada rekayasa untuk melindungi Si Penista Al-Qur’an. Jikalau pun Ahok dijadikan tersangka hukum sekuler yang diterapkan negeri ini pun pasti akan memberikan vonis yang ringan yang tak sesuai dengan perbuatannya.
Sungguh sudah jelas kezaliman yang ditampakkan penguasa dan media sekuler terhadap umat Islam. Kini tak ada lagi harapan bagi kaum muslimin untuk memperoleh keadilannya, karena keadilan sudah mati bagi kaum muslimin di negeri ini. Kini saatnya umat Islam bersatu dan bergerak mengganti sistem yang zalim ini dengan syariah Islam yang paripurna dalam bingkai Khilafah. Niscaya tiada lagi ketidakadilan dan kezaliman yang menimpat umat ini. Itulah kewajiban utama dan yang paling mendesak untuk kita perjuangkan saat ini. Allahu ‘alam bishshawwab. [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Ummu Naflah
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Wilayah Cikupa)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!