Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 14 November 2016 14:25 wib
5.726 views
Rahmat Bagi Semesta NKRI dan Sentimen Irasional Agama di Dunia
Oleh: Rena Erlianisyah
Indonesia dalam Bhineka Tunggal Ika
Adalah sebuah takdir, Negara Indonesia dengan keberagaman penduduknya yang terdiri dari berbagai agama, suku, bangsa, dan bahasa hidup dalam satu atap bernama NKRI, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Adalah juga menjadi sebuah takdir, Indonesia bersama para pendahulunya diciptakan dengan berbagai keberagaman untuk bisa hidup saling berdampingan. Ini sebuah anugerah sekaligus tantangan besar!
Berbeda lantas harus hidup berdampingan, bukanlah hal yang mudah. Para pendahulu bangsa, yang telah memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia mewarisi keberagaman ini bukan untuk menjadi bencana, tetapi bagaimana para generasi pewarisnya menjaga nilai-nilai kesatuan bangsa. Para pendahulu yang kini kita sebut pahlawan bangsa itu berharap, generasi penerusnya sanggup menjaga keutuhan persaudaraan dalam kerangka keberagaman yang penuh kemajemukan.
Dibalik Cerita Sejarah Al Maidah
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim.” (QS. Al-Maidah: 51)
Sejak dulu, islam dan berbagai agama di belahan dunia lainnya menjadi ancaman bagi para pemeluk agama di luar islam di dunia. Merunut sejarah silamnya hingga kini, para kaum yahudi dan nasrani tak pernah berhenti mengekspresikan kebencian dan permusuhannya terhadap umat islam. Hanya saja ekspresi itu terbungkus dalam bentuk dan rupa yang rasional.
Sejak jaman ajali, sejarah kebencian-kebencian itu dibungkus lewat konflik perebutan wilayah Palestina, Suriah, Irak, dan berbagai konflik yang terjadi di Negara Timur Tengah. Ada juga yang dibungkus melalui iming-iming jabatan di parlemen maupun pemerintahan. Semua saling berlomba menjadi pengendali. Jika nilai-nilai rahmatan lil alamin yang digunakan, maka pengendali ada dalam koridor kebaikan, sebaliknya jika nilai-nilai kebencian dan permusuhan yang dikedepankan maka yang terjadi hanya ada saling adu domba, pelecehan, penindasan dan penghancuran suatu kaum. Ini masalah besar dan jika dipelihara di suatu negara sangat melunturkan nilai-nilai kebangsaan yang majemuk dan berbhineka.
Banyak miliaran manusia hidup terkatung-katung, penderitaan dan penindasan tanpa henti hingga hari ini. Konflik Palestina yang sering digaungkan tentang perebutan wilayah, sesungguhnya hanyalah untuk menutupi rasa kebencian dan permusuhan para kaum yahudi. Para kaum yahudi yang tak hanya berkebangsaan Israel, tetapi juga sudah menyebar di seluruh bagian dunia di muka bumi, baik wilayah negara yang lemah maupun negara kuat super power sekalipun.
Tak perlu ada lagi rasionalisasi dan akal sehat untuk memilih sebuah keputusan. Seperti kejadian baru-baru ini, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika yang jelas secara terang-terangan memusuhi dan memiliki agenda memberangus umat islam, tapi toh tidak berpengaruh kepada penduduk di negara adi daya itu yang katanya juga menyeruakan anti rasis dan anti diskiriminasi. Sungguh disana ada banyak sentimen agama, ekspresi kebencian dan permusuhan baik tersembunyi maupun terang-terangan.
Banyak sudah peran para kyai, para sayyid dan para santri yang berjasa dalam pembinaan patriotisme bangsa, melawan penjajahan dan berhasil membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia. Kalau bukan karena ajaran dan nilai-nilai yang mereka miliki, maka Indonesia Merdeka hari ini boleh jadi tidak akan pernah ada
Jika akar permusuhan yahudi terhadap islam ada pada tabiatnya, maka akar permusuhan Nasrani terhadap Islam bukan disebabkan oleh kesalahpahaman umat Islam terhadap agama itu, atau oleh karena luka lama Perang Salib. Ketidaksukaan mereka terhadap Islam lebih fundamental dari itu, yakni karena penolakan Al Qur’an secara tegas tentang penyaliban Nabi Isa dan konsep trinitas. Penolakan ini berarti juga pengingkaran serta pengabaian terhadap keyakinan yang selama ini dipegang erat oleh kaum Nasrani. Jadi akarnya terdapat di dalam Al Qur’an.
Hingga Karen Armstrong, mantan biarawati yang banyak menulis buku tentang Islam, Yahudi, dan Kristen menulis dalam bukunya, "Orang-orang Eropa mudah menyerang Islam, walaupun mereka hanya tahu sedikit tentang Islam."
Tidak banyak orang Nasrani yang mengerti bahwa di antara rukun iman dalam Islam adalah meyakini kenabian Isa as serta kitab yang dibawanya, dan bahwa Nabi Isa as itu bukan Tuhan atau anak Tuhan. Jika kitab Injil yang asli dapat dibaca pada hari ini tentu tidak ada pertentangan dengan Al Qur’an.
Kaum orientalis tidak mungkin bisa menoleransi dengan menerima kebenaran Al Qur’an. Karena di dalam Al Qur’an banyak sekali kecaman-kecaman terhadap doktrin-doktrin atau pokok-pokok keyakinan Nasrani. Misalnya pada surah Al-Maaidah ayat 17, Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya Allah itu ialah Al Masih putera Maryam." Begitu juga dalam surah Al-Maaidah: 72, 73; Al-Maaidah: 73; An-Nisaa': 157, dan berbagai ayat lainnya.
Kandungan Al Quran yang mengecam ajaran Yahudi dan Nasrani seperti itu telah dan akan menuai reaksi balik dari mereka sendiri sepanjang masa. Image buruk terus dilanjutkan, hingga Snouck Hurgronje (1857-1936) pernah mengatakan: “Pada zaman skeptik kita ini, sangat sedikit sekali yang lepas dari kritik, dan suatu hari nanti kita mungkin akan mengharapkan untuk mendengar bahwa Muhammad tidak pernah ada”. Snouck Hurgronje datang ke Aceh dengan meng-aku sebagai mualaf yang bernama Abdul Ghafar.
Pemikiran Snouck dituangkan dalam sebuah artikel pada tahun 1930 yang ditulis oleh Klimovich dengan judul, “Did Muhammad ever exist?”. Dalam artikel tersebut Klimovich menggiring pada suatu penyimpulan bahwa semua sumber informasi tentang kehidupan Muhammad adalah buatan belaka. Jelas terlihat sekali bahwa orientalis klasik maupun kontemporer mempunyai kebencian yang sama terhadap Islam. Hanya mungkin berbeda dari cara dan stra-teginya saja. Namun pada intinya mereka menolak kenabian Muhammad saw dan kebenaran Al Qur’an.
Maha benar Allah dengan segala firman-Nya yang menyatakan bahwa orang Kristen dan Yahudi tidak akan berhenti hingga Muslim mengikuti millah mereka (QS 2: 120). Di surah yang lain Allah SWT berfirman: “…Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyi-kan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (Qs. Ali Imran: 118).
Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. (QS. 5:82)
Rahmat untuk Semesta Alam di NKRI
Ketika Yahudi dan Nasrani memiliki alasannya sendiri untuk membenci dan menebarkan permusuhan, islam hadir dengan menawarkan perdamaian dan kasih sayangnya. Bahwa konsep rahamatan lil alamin adalah tentang kesanggupan menebarkan perdamaian, kasih sayang, cinta, pengertian dan persatuan bagi seluruh umat manusia. Ini fakta, bukan rasis. Sejarah tak pernah berbohong. Dari sejarah kita bisa menerka dan mempelajari arah. Dan dari sejarah, sungguh tidak ada alasan bagi sekelompok orang yang memiliki konsep perahmatan lil alamin memberikan kepercayaan kepada mereka dalam bentuk ‘teman setia’, apapun konteksnya.
Terkait dengan pelarangan umat islam memilih pemimpin dari kalangan non islam, jelas bahwa itu adalah anjuran untuk kebaikan umat islam sendiri. Bagaimana tidak, ketika islam sendiri justru memilih pemimpin dari kalangan non islam, maka kebencian dan permusuhan dari kalangan mereka akan semakin terbuka lebar. Ini adalah fakta sejarah. Bukan sebuah opini sejarah ataupun penyesatan sejarah. Selamanya, kaum yahudi dan nasrani tidak akan pernah berhenti menebarkan kebencian dan permusuhan kepada manusia yang ditakdirkan untuk menebarkan perdamaian, kesejahteraan dan kasih sayang kepada sesama umat manusia lainnya.
Dengan berbagai kebhinekaan tunggal ika dan kemajemukan yang dibingkai dalam lingkaran NKRI, ini menjadi persoalan orang-orang yang ingin tetap membersamai serta menjaga keutuhan NKRI. Pertanyaannya sekarang, apakah mungkin orang-orang yang memiliki ekspresi kebencian dan permusuhan dijadikan kepercayaan untuk menjaga keutuhan NKRI? Sementara ada sekelompok orang dengan nilai-nilainya mengajarkan persatuan kesatuan seerta mati-matian menjaga keutuhan NKRI, sedangkan kita tidak bisa menafikan bahwa di NKRI ini ada sekelompok orang lainnya yang memelihara perasaan kebencian dan permusuhan. Bagaimana kelak konsep rahamatan lil alamin dibenturkan dengan sebuah kebencian dan permusuhan? Ini menjadi tanggung jawab bersama anak bangsa, yang hingga hari ini barangkali belum menemukan jawabannya. Maka, ini menjadi tantangan bersama anak bangsa semuanya. Kelak, akan menjadi apa Indonesia kedepannya dengan kehadiran kedua nilai yang berseberangan itu?
Sejarah Umat Islam Bangkitkan Nasionalisme di Indonesia
Tentu kita tidak pernah lupa kepada Bung Tomo, Cut Nyak Dien, Kapitan Pattimura dan berbagai pahlawan Indonesia lainnya yang sangat berjasa terhadap kemerdekaan Negara Indonesia. Bung Tomo dengan teriakkan takbirnya, berhasil mengobarkan semangat perlawanan kepada penjajah ketika itu. Selain itu ada Abdul Hamid, putra Sultan Hamengkubuwono ke-III, dikenal sebagai pangeran Dipenogoro, yang juga seorang santri penganut Thariqah di Pesantren Gontor kepunyaan KH. Hasan Basri. Keberaniannya dalam berperang melawan penjajah Belanda selama 5 tahun, 1825-1830 M, membuat Belanda resah menghadapi perang Diponegoro. Dalam kurun 5 tahun itu, uang kas Hindia Belanda habis, bahkan punya banyak hutang luar negeri.
Dulu ada tokoh pendidikan nasional bernama Danudirja Setiabudi yang dikenal dengan nama Douwes Dekker. Saat itu ia adalah seorang Belanda yang dikirim ke Indonesia untuk merusak bangsa Indonesia. Namun ketika Douwes Dekker berhubungan dengan para kyai dan santri, yang semula ingin merusak justru bergabung dengan pergerakan bangsa Indonesia. Bahkan kadang-kadang Douwes Dekker, semangat kebangsaannya melebihi bangsa asli Indonesia sendiri. Dalam salah satu bukunya, ia pernah menuliskan bahwa “Kalau tidak ada kyai dan pondok pesantren, maka patriotisme bangsa Indonesia sudah hancur berantakan.”
H. Mohammad Hatta, wakil presiden pertama Republik Indonesia, putra Ustadz Kiai Haji Jamil, Guru Thariqah Naqsyabandiyyah Kholidiyyah juga menjadi orang pertama di garda terdepan melawan penjajahan. Lalu ada Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryaningrat), berperan dalam membangkitkan semangat nasionalisme melawan penjajahan, seorang santri yang kemudian oleh pemerintah diangkat menjadi Bapak Pendidikan Nasional dengan kalimatnya yakni Ing Ngarso Sun Tulodo,Ing Madyo Mangun Karso, dan Tut Wuri Handayani. Terakhir Sayyid Husein al-Mutahhar, seorang cucu nabi pencipta lagu syukur yang sering dikumandangkan di sekolah-sekolah dasar dulu.
Banyak sudah peran para kyai, para sayyid dan para santri yang berjasa dalam pembinaan patriotisme bangsa, melawan penjajahan dan berhasil membangkitkan semangat nasionalisme Indonesia. Kalau bukan karena ajaran dan nilai-nilai yang mereka miliki, maka Indonesia Merdeka hari ini boleh jadi tidak akan pernah ada. Seperti kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo, dengan bangganya mengatakan bahwa Umat Islam adalah benteng terakhir NKRI. Merdeka! [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!