Senin, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 7 November 2016 17:20 wib
9.659 views
Menyoal Balik Para Pejuang Pimpinan Beda Agama Terkait QS Al Maidah:51 dan MUI (Bagian-1)
Oleh: Zaqy Dafa (Pemerhati Pemikiran Islam)
Beberapa waktu terakhir ini QS. Al-Maidah: 51 dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) menjadi perbincangan yang sangat hangat di media. Pasalnya, masyarakat lagi-lagi diresahkan dengan pernyataan sumir dari Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama, yang mengatakan bahwa masyarakat tidak boleh dibodohi oleh Al-Maidah ayat 51 sehingga tidak mau memilih dirinya dalam Pilkada tahun 2017 mendatang.
Sontak ucapan Ahok tersebut mendapat kecaman dari umat Islam, hingga banyak sekali ormas Islam yang turun ke jalan untuk menuntut pihak kepolisian agar menindak Ahok di ranah hukum karena telah melecehkan Al-Quran dan menyulut konflik SARA. Setelah dimintai keterangan oleh kepolisian, MUI juga memutuskan bahwa Basuki Tjahaya Purnama telah melakukan penistaan agama karena melecehkan QS. Al-Maidah: 51.
Setelah keputusan itu dibuat dan Ahok kembali dipanggil pihak berwajib di meja hijau, tiba-tiba muncul pemberitaan yang begitu massif, isinya adalah kritik terhadap sikap MUI tersebut dan (lagi-lagi) kajian terhadap tafsir QS. Al-Maidah: 51. Saking emosinya pihak yang menentang keputusan MUI tersebut, hingga situs change.org membuat sebuah laman voting bertajuk “Petisi Bubarkan MUI” yang telah didukung oleh sekitar 15.000 vote. Tak ketinggalan, beberapa tokoh dan ‘tukang nulis’ berlomba-lomba menulis artikel tentang kecaman terhadap MUI dan penafsiran kembali QS. Al-Maidah: 51 yang mereka klaim sangat kaku dan tidak sesuai dengan Pancasila dan keindonesiaan.
Entah bagaimana, setelah Ahok diproses hukum oleh kepolisian, dukungan terhadap gubernur petahana ini tiba-tiba menjadi begitu santer, mereka tanpa kikuk dan malu menjelek-jelekkan serta membodoh-bodohkan lembaga nasional yang telah menaungi Syariah Islam dan kehidupan masyarakat Indonesia selama bertahun-tahun dengan berbagai argumentasi.
Oleh karena itu, tulisan ini akan mengulas dan menanggapi beberapa pernyataan dari para “pejuang pimpinan beda agama anti-MUI” ini, sehingga kita mampu menilai seberapa kadar kekuatan dan ketepatan argumentasi mereka hingga berani memberikan penafsiran terhadap QS. Al-Maidah: 51 dan menyerang MUI sebagai lembaga ulama Indonesia.
Menjaga Spesies Manusia
Berangkat dari pembahasan Maqashid al-Syari’ah, pejuang pimpinan beda agama mengarahkan agar umat Islam lebih mementingkan hifzh al-nafs (menjaga kelangsungan hidup) manusia, meskipun harus mengorbankan hukum yang berasal dari teks Al-Quran Hadits. Mereka menyatakan:
“Maka para ulama itu menyebutkan bahwa paling utama dari semua hal adalah menjaga nyawa manusia. Mereka katakan bahwa asas hukum Islam adalah menolak bahaya dan mudarat bagi manusia. Yang dimaksud manusia di sini tentu bukan sebagai individu tapi sebagai keseluruhan. Dengan demikian, teks atau konteks apa pun yang dapat dipahami sebagai menimpulkan bahaya atau mudarat bagi sebagian terbesar manusia maka wajib disingkirkan atau ditundukkan demi teks dan konteks yang mampu memberi manfaat dan maslahat yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin manusia.”
“Dalam kaitan dengan tafsir Al-Maidah 51, teks dan konteks harus tunduk pada 5 prinsip agama yang telah dirumuskan oleh para ulama tersebut, sehingga apa saja tafsir yang dapat menimbulkan bahaya bagi kelima hal yang paling wajib dijaga itu harus ditundukkan dan dinomorduakan atas tafsir yang mampu menjaga kelangsungan kelimanya. Tafsir tekstual dan kontekstual yang mampu menjaga kelangsungan dan kemaslahatan spesies manusia (bangsa) lebih diutamakan daripada tafsir teks dan konteks yang merusaknya.” (islamindonesia.id)
Pernyataan diatas tentu aneh. Di satu sisi pejuang pimpinan beda agama ini mengakui 5 prinsip agama yang biasanya disebut Maqashid al-Syari’ah atau al-Kulliyyat al-Khams, akan tetapi mengajak orang untuk menjaga nyawa manusia meski dengan menggugurkan hukum dari Al-Quran. Sepertinya ada inkonsistensi dalam cara berfikirnya.
Pakar hukum Islam kenamaan dari universitas al-Azhar, Syaikh Ibrahim al-Baijuri menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai hifzh al-din (perlindungan agama) adalah mempertahankan hukum-hukum Tuhan, menjaga dari kekufuran, serta rusaknya hukum halal dan haram
Pakar hukum Islam kenamaan dari universitas al-Azhar, Syaikh Ibrahim al-Baijuri menjelaskan bahwa yang dimaksud sebagai hifzh al-din (perlindungan agama) adalah mempertahankan hukum-hukum Tuhan, menjaga dari kekufuran, serta rusaknya hukum halal dan haram. Dari tujuan inilah maka diwajibkan memerangi kafir harbi dan kaum murtad. Sedangkan dari tujuan hifzh al-nafs (perlindungan nyawa) maka disyari’ahkan hukum pidana qishash bagi pembunuh dan perusak organ tubuh manusia. (Syaikh Ibrahim al-Baijuri, Tuhfah al-Murid Syarh Jauharah al-Tauhid, hlm. 217)
Dari keterangan ulama diatas, terlihat bahwa perlindungan hukum dan ajaran Islam menjadi prioritas utama dalam agama Islam meskipun konsekuensinya adalah menghilangkan nyawa seseorang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa perlindungan terhadap agama lebih diutamakan daripada perlindungan terhadap nyawa.
Tentang QS. Al-Maidah: 51, sebenarnya apa yang penulis diatas maksud sebagai tafsir yang berbahaya dan memberikan mudharat? Kandungan QS. Al-Maidah: 51 baik secara eksplisit (manthuq sharih) maupun implisit (manthuq ghairu sharih dan mafhum) tidak pernah menganjurkan umat Islam untuk saling membunuh karena topiknya adalah masalah kepemimpinan. Lalu mengapa ayat ini dikaitkan dengan masalah perlindungan nyawa? Ada pemikiran yang tidak nyambung. Yang jelas, ayat ini mewajibkan umat Islam untuk tidak menjadikan kaum Yahudi Nasrani sebagai teman karib, apalagi sebagai pemimpin umat Islam.
Perbedaan Konteks
Sebagian pejuang pimpinan beda agama kembali mengangkat perbedaan konteks sebagai alasan untuk menolak larangan mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin umat Islam. Dia mengatakan bahwa kebijakan khalifah Umar bin Khatthab menolak non-Muslim masuk dalam jabatan pemerintahannya adalah karena bukan karena keharaman mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin, namun karena kesucian wilayah Madinah serta potensi bocornya rahasia potensi bocornya rahasia negara yang tengah melakukan ekspansi dakwah. (nu.or.id)
Yang menjadi masalah, benarkah memang kepemimpinan non-Muslim dilarang hanya karena itu saja? Jika demikian, mengapa khalifah Ali bin Abu Thalib juga menulis surat kepada gubernur Umar bin Maslamah yang isinya adalah peringatan kepadanya agar tidak mengangkat non-Muslim sebagai pejabat pemerintahan dengan dasar QS. Al-Maidah: 51 dan QS. Ali Imran: 118, padahal posisi pemerintahannya berada di Baghdad? (al-Ya’qubi, al-Tarikh, juz 1 hlm. 189) Khalifah Umar bin Abdul Aziz juga menulis peringatan yang sama kepada para gubernurnya? (Ibn Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, juz 2 hlm. 372)
Khalifah Imaduddin Zanki dari Dinasti Islam Turki juga memperingatkan agar tidak mengangkat non-Muslim sebagai bagian dari pemerintahan, padahal pusat pemerintahan sangat jauh dari Makkah dan Madinah? (al-Daulah al-Zankiyyah, hlm. 187) Alasan kesucian Madinah diatas jelas merupakan alasan yang mengada-ada dan kesannya dipaksakan. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!