Ahad, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 18 September 2016 03:55 wib
5.490 views
Masuk Turbulensi, Siapkan Pengorbanan
Oleh : Arif Wicaksono (Pengamat Gerakan Sosial)
Sudah menjadi sunatulloh bahwa setiap perjuangan yang murni dan hakiki membutuhkan pengorbanan. Kebutuhan pengorbanan itu perlu persiapan. Mencakup dhahir dan bathin. Harta dan nyawa. Pikiran dan perasaan. Individu dan keluarga. Jasadiyah dan ruhiyah. Nafsiyah dan fikriyah. Intinya segala sesuatunya perlu disiapkan dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan.
Termasuk bagian terpenting dari kesungguhan adalah memahami bagaimana peta konstelasi medan perjuangan yang dihadapi. Abai ataupun kurang respek terhadap membangun kepekaan memahami medan perjuangan sama halnya dengan tiadanya kesungguhan dalam mempersiapkan perjuangan berikut menggapai keberhasilannya. Dalam konteks perjuangan pemikiran dan politik, memahami konstelasi medan perjuangan pemikiran dan politik menjadi hal yang pokok harus dikuasai oleh para pejuang. Terutama saat entitas para pejuang mengalami pembesaran tubuh dan penguatan opini. Dan sesuatu yang alamiah bahwa rekayasa perjuangan menegakkan kebenaran akan berhadapan secara vis a vis dengan rekayasa meredam bahkan menghadang perjuangan. Inilah yang harus dipahami oleh setiap pejuang jika terus ingin berjuang penuh keikhlasan untuk menggapai kemenangan yang menjadi pertolongan Alloh SWT.
Konstruksi Hukum sebagai Jerat Penghadang Perjuangan
Tidak bisa dipungkiri bahwa manuver politik oleh para pengambil kebijakan nampak secara bertahap tingkat represifitasnya. Meski tidak semua organ negara maupun kelompok masyarakat dilibatkan. Tetapi sangat terlihat sebagian besar masyarakat menjadi obyek dari pengelolaan isu politik yang dilakukan. Manuver politik itu diantaranya menggunakan pintu legislasi berupa menciptakan konstruksi hukum. Seperti halnya terjadi baru-baru ini atas sebuah ormas besar yang keberadaannya mengalami kecenderungan bisa melebihi keberadaan ormas-ormas besar yang lahir sebelumnya.
Selain NU dan Muhammadiyah, HTI tiba-tiba muncul menjadi sebuah ormas yang komit, lurus, independen, amanah, jujur, cerdas dan mandiri. Sesuatu yang dalam beberapa hal tidak dimiliki oleh ormas-ormas lain. Namun karena itulah, HTI menjadi sorotan bagi para penjajah politik, ekonomi, budaya, sosial serta segala sektor di negeri ini yang senantiasa berupaya mendikte kepentingannya. Dalam konstelasi peperangan menggunakan isu global, HTI terlihat memposisikan diri sebagai lawan berbagai kekuatan global dari arah timur dan barat. Baik berupa Korporasi Global maupun Negara Adi Daya. Siapa lagi kalau bukan diantaranya Amerika dan China. Ironisnya dengan posisi seperti itu, HTI mau tidak mau harus berhadapan dengan oknum para penguasa berbagai negara yang membebek pada kepentingan korporasi global dan negara adi daya. Membebek dengan mengikuti arahan sistem yang dibuat oleh para penjajah.
Manuver politik menghadang bahkan mengaborsi kekuatan perjuangan salah satunya menggunakan legal of frame (konstruksi hukum). Meski kemunculannya belakangan pasca lahirnya UU Terorisme tahun 2004, UU Ormas yang disahkan pada tahun 2013 telah lahir. Sejatinya pada proses awal kelahirannya konstruksi hukum UU Ormas diharapkan mampu menjadi mesin efektif yang dipergunakan sebagai penyeragaman gerak ormas sesuai dengan keinginan penguasa. Namun hal itu ibarat “tidak gayung bersambut”.
Bahkan seolah-olah saling tuding di internal para pengambil kebijakan terjadi. Yakni atas konten UU Ormas yang sangat sulit digunakan sebagai referensi untuk membubarkan sebuah ormas. Sangat rumit dan melalui tahapan yang sangat panjang. Dan yang perlu diketahui adalah Mendagri tidak dalam kapasitas kewenangan itu. Bahkan kewenangan Menkum HAM hanya sebatas memberikan Surat Peringatan (SP) dengan alasan yang jelas pelanggaran hukumnya. Hanya pengadilan melalui proses pengadilan-lah yang berwenang untuk membubarkan ormas atau tidak. Inilah kegamangan yang menggelayuti para pengambil kebijakan hingga saat ini terus berupaya mencari celah hukum delik aduan pidana memperkarakan. Sebuah upaya konstan yang tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan politik dan ekonomi para korporsi global maupun negara adi daya melalui oknum-oknum yang bekerja dan dibayar oleh para tuan penjajah.
Upaya mencari delik aduan pidana memperkarakan itu juga nampak saat muncul statement di beberapa daerah yang keluar dan dipelintir oleh media tentang pelarangan kegiatan dakwah islam oleh HTI. Terutama yang terjadi pasca penanda tanganan MOU antara PBNU dengan Polri di Jawa Timur. Sebuah wilayah propinsi yang Polda-nya dipimpin oleh Anton Setiadji mantan Kapolda Sulselbar. Dan salah satu Kapolres-nya mantan Kapolres Luwu Timur (berada di wilayah Sulawesi Selatan) yang kini memimpin Polres Gresik, wilayah dimana berada terminal laut internasional Kalimereng yang dibangun sebagai bagian dari mega proyek Java Integrited Industry Port and Estate (JIIPE) berbiaya trilliun rupiah.
Sebuah mega proyek yang menyisakan dampak berbagai aspek mulai dari lingkungan, sosial, agama, budaya dan lain sebagainya. Sementara keuntungan ekonomi dari aspek PAD (Pendapatan Asli Daerah) dan tingkat serap tenaga kerja dari lokal daerah Gresik masih penuh tanda tanya. Upaya mencari delik aduan itu seperti mengindikasikan adanya target penghancuran ormas-ormas islam besar dengan pendekatan adu domba. Sebuah pola penjajahan yang selalu digunakan dari waktu ke waktu. Mulai dari jaman primitif hingga canggih. Kadang saking besarnya syahwat pesanan proyek yang dikerjakan hingga kelihatan kebodohannya membangun logika hukum yang tidak masuk akal. Misalnya bagaimana mungkin perda dibuat oleh kepala daerah an sich. Otoritas kewenangan institusi apa sebenarnya yang memiliki kekuatan memaksa kepala daerah hingga mengeluarkan sebuah aturan berupa perda. Meski pada akhirnya belakangan ditepis oleh Pakde Karwo sebagai Gubernur Jatim bahwa kewenangan pelarangan ormas adalah domain Mendagri.
Perda adalah produk legislasi yang harus diajukan dulu ke dalam prolegda. Dibuat oleh kepala daerah bersama dengan DPRD melalui kajian akademis, komprehensif dan sistematis yang diformulasikan dalam bentuk naskah akademik. Dan keberadaannya tidak boleh bertentangan dengan produk hukum di atasnya. Jika terus dipaksakan maka inilah fakta munculnya arogansi kekuasaan daerah buah hasil dari UU Otonomi Daerah yang tidak mereferensi pada konstitusi. Konstitusi pada akhirnya hanya diperlakukan sebagai pajangan kesepakatan. Dipakai jika dibutuhkan saja. Apalagi konstitusi saat ini sudah berhasil diliberalisasi melalui amandemen.
Jika intrik-intrik manuver politik dalam bentuk jerat hukum dengan membuat konstruksi hukum ini terus bermunculan maka pada hakekatnya negara ini sudah tidak memiliki martabat dan harga diri menentukan nasibnya. Negeri ini telah tergadaikan oleh dominasi kepentingan global menggunakan tangan-tangan oknum pejabat antek berikut kelompok masyarakat yang mau dibayar dan diberdaya untuk kepentingan sesaat. Ada apa sebenarnya dengan bangsa ini yang kebanyakan para pejabatnya tidak jujur dan cenderung korup. Tidak memiliki kepekaan dan ketajaman terhadap nasib dan persoalan rakyatnya. Senantiasa tidak segan mengeluarkan modal politik yang besar untuk meraup keuntungan ekonomi dan politik yang lebih besar pula. Tidak berdaya mempengaruhi apalagi merubah sistem. Semuanya menjadi korban. Dan seolah tiada pilihan lain kecuali menjadi deretan panjang korban dari permainan global. Meski sebenarnya mereka semua hanya diperalat dan mendapatkan keuntungan materi secuil jika dibandingkan dengan keuntungan yang berhasil dikeruk oleh para penjajah. Apalagi disibukkan dengan dibenturkan satu sama lain dalam percaturan politik lokal hingga nasional. Atas nama sebuah keniscayaan jaman.
Selain UU Ormas, terdapat satu lagi yang dibuat agar menjadi jerat hukum yang mematikan -pesanan para tuan penjajah. Apalagi kalau bukan agenda revisi UU Terorisme yang telah dianggap tidak memadai lagi menjerat aksi terorisme. Konstruksi hukum jenis ini jika benar terjadi, meski tidak disasarkan untuk sebuah organisasi melainkan personal akan menjadi alat efektif untuk menjerat hukum seseorang dengan hanya alasan diduga terkait karena telah melakukan hate speech (ujaran kebencian). Revisi ini disinyalir akan meningkatkan abuse of power pada organ yang ditunjuk oleh UU tersebut –Densus 88- hingga secara mudah melakukan eksekusi-eksekusi atas nama undang-undang. Dengan kata lain undang-undang terorisme yang disahkan sesuai dengan konten revisi yang diajukan akan menjadi mesin legitimasi yang efektif untuk merepresif para pejuang islam yang ingin mesyi'arkan Islam kepada umat secara benar. Meski saat ini realitas yang berkembang bahwa semua fraksi dalam pansus revisi uu terorisme yang dipimpin oleh salah satu anggota DPR RI yang membuat goncang gedung DPR RI karena do'a yang disampaikan pada tanggal 16 Agustus 2016 kemarin itu menolak konten revisi yang diajukan pemerintah.
Jika dicermati secara obyektif dalam perspektif gerakan sosial, HTI memiliki karakter sebagai berikut : Pertama, sebagai sebuah gerakan dakwah islam yang berjuang dengan asas islam. Kedua, paham perjuangannya adalah islam. Sesuai dengan pasal 59 ayat 4 UU Ormas pada penjelasan pasal tersebut yang dimaksud paham bertentangan dengan Pancasila adalah Ateisme, Komunisme/Marxisme, dan Leninisme. Meski dalam draft UU Ormas sebelumnya dimasukkan juga Liberalisme dan Sekulerisme namun kemudian hilang tiba-tiba.
Ketiga, ide khilafah yang diperjuangkan adalah ide yang memuat prinsip-prinsip ajaran syariah, ukhuwah dan dakwah. Dengan konstruksi karakter gerakan seperti itu, nampaklah HTI lebih menonjol sebagai gerakan intelektual, politik dan senantiasa melalukan advokasi kebijakan negara dengan menawarkan usulan sistem tata kelola negara dan kehidupan. Melalui peduli dan hadir terhadap seluruh problem umat mulai daerah hingga pusat. Terus melakukan koreksi dan peringatan pada pengambil kebijakan agar kembali ke jalan yang benar.
Akhirnya sadarlah para pejuang islam bahwa momentum Idul Adha ini harusnya menjadi pemantik arti penting pengorbanan sesungguhnya. Masa-masa perjuangan saat ini telah masuk ke dalam era turbulensi sebagai sebuah konsekuensi. Tiada perjuangan yang tanpa pengorbanan. Berkorban secara serius menguasai peta konstelasi medan perjuangan di tengah belantara fitnah dan makar.
Sesungguhnya Alloh SWT telah berjanji memberikan imbalan yang besar terhadap segala perjuangan penuh pengorbanan. Sebagaimana contoh teladhan Nabiyulloh Ibrahim AS yang diperintahkan oleh Alloh SWT untuk menyembelih putranya Nabiyulloh Ismail AS yang sangat dicintainya. Sekedar menguji seberapa kecintaannya pada Alloh SWT dibanding dengan harta, nyawa, keluarga dan lain sebagainya. Semoga kita dimasukkan ke dalam golongan barisan pejuang islam yang siap berkorban pengikut Nabi Ibrahim AS.
Dan ingatlah Firman Alloh SWT:
“Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal” (QS. Al ‘Ankabuut 58). Wallahu a'lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!