Jum'at, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Juli 2016 16:03 wib
8.453 views
Menyoal Satu Kata: 'Terorisme'
Oleh: Umar Syarifudin (Praktisi Politik)
Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, menegaskan, aksi teror yang dilakukan oleh kelompok teroris bukan merupakan kriminal biasa, melainkan kejahatan negara.
"Kita tidak ingin didikte teroris," tegasnya pada pengarahan sekitar 1.000 prajurit dan perwira TNI/Polri, Rabu (20/7) malam. Gatot dan Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian hadir di Palu untuk memberikan dorongan moral dan semangat kepada prajurit TNI dan Polri dalam melaksanakan tugas mengejar kelompok sipil bersenjata di Poso. Panglima TNI dan Kapolri melihat jenazah Santoso dan Mukhtar yang tertembak pada Senin (18/7) petang oleh Satgas Operasi Tinombala di hutan Poso (republika.co.id).
Terkait dengan Operasi Tonimbala, sebagaimana yang dimuat republika.co.id bahwa Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia Jimly Asshiddiqie meminta pemerintah menghentikan Operasi Tinombala. Terlebih Santoso telah dipastikan tewas dalam baku tembak beberapa hari lalu. "Rakyat Poso butuh ketenangan lahir batin. Masyarakat butuh hidup normal dalam aspek ekonomi dan lainnya dan yang lebih penting lagi, masyarakat Poso tidak ingin daerahnya dilabeli basis teroris terus-menerus," katanya, Rabu (20/7).
Jika benar korban tewas tersebut adalah Santoso, menurut Harits, maka akan sangat berpengaruh signifikan pada eksistensi kelompok sipil bersenjata tersebut. “Santoso adalah simbol dan sekaligus simpul perlawanan mereka di belantara hutan Poso selama ini. Sisa-sisa kelompok Santoso sangat mungkin terdiaspora; memudar menyerahkan diri atau melakukan aksi nekat balasan secara sporadis,” jelasnya. Namun, sambungnya, meski banyak pihak berharap tidak ada lagi ‘Santoso’ baru. Bukan tidak mungkin tetap akan ada kesengajaan pihak tertentu yang membranding ‘Santoso’ baru. “Agar drama war on terrorism terus berjalan kontinyu,” tukas Direktur Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) ini. (hidayatullah.com 19/7)
Amerika dan Terorisme
Meski tidak ada definisi yang disepakati dan diterima oleh semua, tapi disepakati bahwa terorisme adalah tindakan pidana yang tak biasa dan harus diperangi secara global. Saat ini opini dan praktek kontra terorisme secara global, yang berlaku adalah kekuatan otot dan pengaruh.
Dalam arti negara-negara besar mendektekan kampanye dan aksi kontra terorisme menurut versinya yang tentu lebih mengabdi kepentingan negara besar itu. Akibatnya yang terjadi malah terorisme negara, dan mengakibatkan ketidakadilan dan kezaliman secara luas pada tingkat global.
Washington menolak untuk bekerja dengan serius dalam rangka merumuskan definisi yang jelas tentang terorisme, sebab takut hal itu justru menjadi senjata makan tuan atas apa yang dilakukan pasukannya di seluruh dunia, serta takut membahayakan eksistensi Israil yang melakukan aksi-aksi terorisme negara setiap hari.
Pasukan AS memasuki (menjajah) Afghanistan dengan memakai baju NATO. Dan saat ini sedang mempersiapkan untuk keluar dari Afghanistan dengan tetap menancapkan pengaruhnya pada penguasa lokal, serta tidak mencegah kemungkinan gerakan Taliban kembali ke Kabul.
Pasukan AS menduduki Irak dengan dalih pemberantasan terorisme dari sumbernya. Sementara hasilnya justru meningkatnya gelombang terorisme, serta kegagalan Amerika untuk membangun demokrasi, keamanan dan stabilitas. Banyak penelitian dan kajian yang menuduh Washington sebagai pihak yang menciptakan terorisme di dunia, sebagai bentuk pembenaran atas setiap intervensi yang dilakukan di sana sini.
Sebuah jajak pendapat tahun 2011 yang dilakukan oleh Pusat Studi Arab-Eropa yang berkantor pusat di Paris menyimpulkan bahwa AS adalah biang kerok terorisme global. Dari 86,4% responden berpendapat bahwa AS belum mencapai keberhasilan apapun dalam perang melawan terorisme setelah 10 tahun peristiwa September. Sebab menurut mereka bahwa AS sendiri adalah biang kerok dari terorisme global yang didirikan dan disebarkan oleh berbagai perang yang dilakukannya. Sementara para tokoh terorisme yang didukung dan dilindungi Amerika akan dihabisi setelah perannya selesai dan berakhir.
Sementara 8,2% responden menyakini bahwa dunia belum sepakat dengan satu definisi terkait terorisme. Lalu, bagaimana bisa sepakat untuk menghilangkannya. Adapun 5,4% responden mengatakan bahwa meskipun ada keberhasilan dalam menghilangkan sumber-sumber terorisme, namun ideologi teroris masih tertanam kuat dalam otak kelompok yang mereka sebut sebagai “pasien yang dapat dilepaskan pada suatu hari”.
Akhirnya pusat studi tersebut menyimpulkan bahwa AS telah menghabiskan sekitar 3-4 triliun dolar untuk pemberantasan terorisme tanpa mampu mencapai tujuannya karena berbagai kesalahan yang dilakukan sendiri. Washington telah mencampur adukan antara Islam dan aktivis Islam, akibatnya Amerika semakin memiliki banyak musuh di dunia. Amerika melancarkan kampanye media yang dibayar di tingkat global. Sehingga kesalahan kampanyenya ini menimpa orang-orang yang tidak bersalah dan kaum Muslim. Juga membakar perasaan mayoritas orang Barat hingga berubah menjadi kelompok rasisme.
Ingat!
Ingat, sejak peledakan WTC tahun 2001 Bush mendefinisikan teroris sebagai pihak-pihak yang menentang kebijakan AS. “Either you are with us or with terrorists (Anda bersama kami ataukah bersama para teroris),” ujar Bush. Di Indonesia, saat sedang rame menentang banyak kepentingan AS, sebagai contoh soal kepemilikan saham freeport, dan isu di tahun-tahun sebelumnya tentang isu pengambilalihan (nasionalisasi) aset-aset publik yang nota bene dikuasa AS seperti Migas, tambang, dll. Umat Islam dan organisasi Islamlah yang menyuarakan kepentingan rakyat tersebut. Tidak aneh, isu terorisme diangkat kembali.
Pemberantasan terorisme secara kontinyu dan komprehensif serta menangani dan mengantisipasi faktor-faktor persemaiannya memang harus dilakukan. Hanya, ada perbedaan dalam merumuskan faktor-faktor sebagai persemaian terorisme. Tidak fair jika faktor persemaian terorisme dibatasi hanya faktor gerakan radikal. Sebab, ada faktor lain yang ikut andil dalam memunculkan terorisme. Seperti, faktor ketimpangan ekonomi, faktor kezaliman politik luar negeri negara-negara hegemonik (adanya terorisme yang dilakukan negara atau state terrorism), faktor rendahnya pemahaman terhadap Islam, serta faktor operasi intelijen untuk stigmatisasi dan monsterisasi Islam serta kaum muslimin.
Faktor rendahnya pemahaman terhadap Islam (dlo’fusy syadid fil fahmil Islam) adalah akar utama munculnya terorisme. Sedholim apapun penguasa dan semelarat apa pun seseorang, dengan pemahaman Islam yang kaffah, tentu tidak akan mau melakukan tindakan teror. Begitu pula, secanggih apa pun, sebuah operasi intelijen tidak akan dapat menjebak, membujuk, atau memprovokasi seorang muslim untuk melakukan tindak teror. Dengan kesahihan dan komprehensivitas pemahaman Islam, terorisme justru tidak akan dapat hidup. Sebab, di antara muatan dakwah yang komprehensif mengajarkan, syariah mengharamkan tindakan teror atau menakut-nakuti penduduk sipil. Pelaku teror diancam dengan hukuman mati.
Untuk itu umat Islam harus selalu cermat dalam menerima berbagai informasi terkait kepentingan Islam dan umatnya. Sangat penting umat Islam menyadari bahwa isu terorisme adalah alat yang digunakan oleh AS dan sekutunya untuk membungkam Islam. Harus terus menjalin persatuan dan kesatuan antar berbagai komponen umat Islam sehingga tidak terpecah dengan adanya propaganda dan fitnah terorisme tersebut. Mari terus istiqomah berjuang menegakkan syariat Islam dan menyatukan umat dalam khilafah melalui metode yang dicontohkan Nabi SAW: fikriyah (pemikiran), siyasiyah (politik) dan ghoiru ‘unfiyah (tanpa kekerasan). Dengan Khilafah umat Islam memiliki kekuatan politik untuk melindungi kepentingan umat dan memenangkan perang propaganda ini. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!