Selasa, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Juli 2016 22:06 wib
7.177 views
Tidak Ada Kata Netral Bagi Anda!
Oleh: Umar Syarifudin (Pengamat Politik Internasional)
Bisa dikatakan dengan sangat jelas bahwa koalisi neo-salibis pimpinan Amerika telah dibentuk untuk menghalangi kaum muslimin mereguk kemerdekaan serta menegakkan proyek al-Khilafah ar-Rasyidah yang agung di negeri muslim. Dan untuk menutupi dan demi tujuan-tujuannya, Amerika Serikat (AS) melibatkan boneka-boneka yang ditanamkan di berbagai negeri untuk mengokohkan diri mereka pada sebuah pengkhianatan internasional.
Mereka tenggelam di dalam darah kaum Muslimin dan memainkan peran busuk. Mereka mencoba membeli revolusi dengan dana politik untuk dijual kepada Barat dan Amerika. Berbagai negara telah berdiri bersama Amerika dan Barat dalam perangnya terhadap Islam, karena khawatir kebangkitan Islam politik menjungkalkan kursi kekuasaan para penguasa komparador.
Ingat, Monroe Doctrine (doktrin monroe) era 1823-an yang dianggap doktrin utama oleh Presiden ke-5, James Monroe. Intinya: “AS menganggap segala campur tangan pihak luar dalam urusan negara-negara di Benua Amerika sebagai (ancaman) bahaya terhadap keamanan dan keselamatan”.
Selanjutnya Monroe Doctrine disempurnakan menjadi doktrin preemtive strike oleh George W Bush dicanangkan tahun 2002-an, setahun pasca peristiwa World Trade Centre (WTC), 11 September 2001 di New York. Berbagai opini menyatakan, bahwa kasus WTC sebenarnya cuma “pemicu” dari grand strategy AS yang jauh-jauh hari disiapkan untuk mempublikasikan doktrin tersebut kepada khalayak global. Memang sempat terjadi kontroversi baik internal negeri apalagi di lingkungan eksternal. Oleh sebab menghadapi komunisme yang nyata, Paman Sam menerapkan containment stategy (strategi pembendungan), mengapa menghadapi teroris yang belum jelas lagi samar-samar menerapkan preemtive strike? Tapi Paman Sam tak peduli, ia jalan terus.
Menurut Samuel P Huntington, penasehat kawakan Gedung Putih yang membidani preemtive strike di buku The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order menyebut berbagai faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat pasca Perang Dingin, antara lain:
- Tumbuh cepatnya penduduk muslim
- Kebangkitan Islam memberi keyakinan umatnya akan tingginya dan keistimewaan nilai Islam dibanding Barat;
- Di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam. Hal ini memicu kemarahan kaum muslim;
- Porak-porandanya Uni Soviet telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dan Barat merasa sebagai ancaman;
- Meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.
Ya, inti kontroversial doktrin usulan Huntington bahwa dengan pertimbangan pembelaan diri —cukup melalui asumsi— suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain. “memukul lebih dulu sebelum dipukul”. Pertanyaan kritisnya: bagaimana jika asumsi tersebut direkayasa atau dibuat-buat sebagaimana stigma terhadap Sadam Hussein menyimpan senjata pemusnah massal, namun hingga Irak luluh lantak ternyata tidak terbukti? Inilah persoalannya. Seperti halnya doktrin monroe, agaknya preemtive strike pun lahir akibat phobia Barat terhadap Islam. Lalu dengan bermacam alasan, ia pun menebar sentimen keagamaan atas tragedi WTC melalui agitasi “perang melawan teroris” guna meraih dukungan internasional. Ketika propaganda bergeser (atau sengaja digeser) maknanya: bahwa teroris identik dengan Islam (militan) atau radikal, mungkin ini sasaran utamanya.
Muara berbagai doktrin dan strategi Amerika antara lain:
- Doktrin-doktrin AS itu lahir akibat phobia (rasa takut berlebihan tanpa dasar) terhadap “sesuatu” yang diasumsikan ancaman negara bahkan dipropaganda sebagai ancaman bagi perdamaian dunia;
- Operasional doktrin tersebut, akhirnya cenderung menjadi alat politik guna melakukan tindakan (intervensi) ke negara lain;
- Sebelum dimunculkan doktrin, dibuat dahulu isu, stigma atau dalih guna “pembenaran tindakan” yang akan, sedang dan telah diambil oleh AS;
- Target pencitraan (propaganda) terhadap negara target, ujungnya selalu invasi militer sebagai metode pamungkas;
- Hanya ada dua opsi atas operasional doktrin AS bagi negara-negara di dunia : “Bergabung Dengan Kami atau Anda adalah Musuh Kami”. Tidak ada kata netral, non blok dan/atau tidak memilih.
Mengapa operasi Central Intellegence Agency (CIA), Amerika Serikat (AS) tatkala menggusur Salvador Allende di Chilie (1973) bersandi "Operasi Jakarta"? Apakah sekedar tiruan pola, atau modusnya identik ketika CIA menggusur Bung Karno dekade 1965-an tempo hari? Niscaya ada link up atas kedua peristiwa tersebut kendati secara fisik terpisahkan oleh ruang dan waktu.
Statement Alan Weinstein (1991), salah satu pendiri National Endowment for Democracy (NED): “banyak dari apa yang kita (NED) kerjakan, secara diam-diam dilakukan 25 tahun lalu oleh CIA” . Retorika lagi: bukankah Musim Semi Arab, yakni aksi-aksi massa non kekerasan di Jalur Sutera merupakan hasil kerja NED melalui salah satu anak organisasi yang bertitel Central Applied Non Violence Action and Stategic (CANVAS); apakah gerakan NED identik dengan operasi CIA?
Teori Deep Stoat: “If you would understand world geopolitic today, follow the oil”. Ya, jika ingin memahami geopolitik dunia hari ini, ikuti aliran minyak. Asumsi berikutnya setelah mencermati berbagai konflik di banyak belahan dunia, yakni: bahwa mapping konflik dari kolonialisasi yang dikembangkan Barat, hampir dipastikan segaris/satu route bahkan pararel dengan jalur-jalur SDA terutama bagi wilayah (negara) yang memiliki potensi besar atas minyak, emas dan gas alam.
Asumsi ini jelas tersirat makna, apakah konflik-konflik yang terjadi di “jalur basah” sengaja dibuat oleh para adidaya terkait kepentingan geopolitik selaras kajian Deep Stoat, memang tergantung seberapa tajam pisau dan sejauh mana analisa insight (menyelam) dalam rangka mencermati konflik di permukaan. Lihatlah ethnic cleansing di Rohingya, atau konflik di berbagai wilayah ‘basah’ berujung relokasi penduduk (‘terusir’) yang hidup di atasnya.
Sampai hari ini, terkuak pointers bahwa Sabah – Philipina - Kalimantan Utara (Kaltara) disebut Hot Triangel dan diplot sebagai daerah yang memiliki potensi minyak dan gas alam yang melimpah ruah. Dan tampaknya Ambalat masuk pada plot tersebut. Layak diwaspadai dikemudian hari adalah, selain ancaman ambisi Inggris terhadap Ambalat semata-mata karena what lies beneath the surface (apa yang terkandung di bawah permukaan) pulau dimaksud, juga adanya hipotesa bahwa pemekaran Kaltara ialah langkah permulaan dari modus kolonialisasi memindah konflik Moro, atau konflik Sabah ke Kaltara.
Ingat pola kolonialisme baik asimetris (non militer) maupun simetris (militer) yang sering dimainkan oleh Barat. Urut-urutannya, pasca ditebar isu aktual bakal timbul tema, baru setelah itu skema kolonial muncul belakangan. Dan lazimnya skema kolonialisasi dimanapun ujungnya adalah: "penguasaan pilar ekonomi dan pencaplokan SDA". Perang Irak (2003) misalnya, setelah ditebar isu senjata pemusnah massal, dilanjut dengan tema “invasi militer” oleh Paman Sam dan sekutu, sedang skema yang terlihat adalah kapling-kapling SDA oleh negara yang terlibat invasi militer ke Negeri 1001 Malam. Ini pola simetris. Sedangkan model asimetris biasanya lebih soft lagi halus. Misal disebar dahulu isu flu burung di sebuah wilayah (negara), maka tema yang akan dimunculkan daging mahal atau daging langka, kemudian skema yang ditancapkan ialah jerat impor bagi negara target.
Contoh paling populer barangkali Arab Spring di Jalur Sutera. Tatkala Wikileaks dulu sukses menyebar isu terkait kemiskinan, korupsi, pemimpin tirani, dan lainnya maka tema yang diangkat adalah gerakan massa non kekerasan menentang rezim berkuasa, sedang skemanya adalah tata ulang elit dimana aksi massa mampu membuat lengser Ben Ali di Tunisia, Abdullah di Yaman dan Mobarak di Mesir. Pola inilah yang menurut Brooks, meniru gerakan reformasi di Indonesia dekade Mei 1998.
Konteks dinaikkan sebentar untuk mengantar topik. Ya, bahwa adanya “arus kecil” atau semacam isu bertitel sengketa perbatasan yang kini berserak di Laut Cina Selatan, bukanlah faktor tunggal yang tiba-tiba, namun semata-mata karena dorongan “arus besar” yang berupa geopolitical shift atau pergeseran geopolitik global dari Jalur Sutera (Timur Tengah, Asia Tengah dan Afrika Utara) berpindah ke Laut Cina Selatan pada umumnya dan Asia Tenggara khususnya. GFI mengendus bahwa “arus besar” itu berupa:
1. Selain AS tengah berproses membangun sistem pertahanan rudal di Asia guna melawan manuver Korea Utara dan Cina tentunya, ia juga menyatakan memperluas militernya di Asia Tenggara dan Samudera Hindia, termasuk peningkatan kerja sama dengan Australia dan penempatan kapal-kapal perang di Singapura, Philipina dll. Dan sungguh mengejutkan ialah pergeseran 60% armada tempurnya ke Asia Pasifik;
2. Paman Sam mendukung pembentukan ASEAN Security Community pada 2015, dan terkait dengan isu Laut China Selatan, dan melalui Menhan Leon Panetta, menganjurkan agar ASEAN melakukan “tindakan seragam” sekaligus menyusun kerangka aksi yang memiliki kekuatan hukum;
3. Kompleksitas pertikaian wilayah di Laut China Selatan, disinyalir bukan sebatas klaim kepemilikan pulau-pulau, melainkan ada “persoalan lain”, artinya selain diantaranya hak berdaulat atas Landas Kontinen dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), penggunaan teknologi baru terkait exploitasi dan explorasi minyak dan gas bumi oleh negara tertentu, yang utama sejatinya faktor geostrategy possition dan potensi SDA pulau-pulau yang disengketakan;
4. Ketegangan antara negara-negara di kawasan tersebut secara politis cenderung meningkat karena miskinnya win-win solution. Urgensi geografis Laut China Selatan yang cukup vital dalam pergeseran geopolitik global, memungkinkan terus terkendalanya upaya penyelesaian sengketa, bahkan diduga keras bahwa isu konflik teritorial itu akan menjadi trigger dalam benturan militer secara terbuka, dan lain-lain.
Sekilas telah diulas di atas, bahwa pola kolonialisme dimanapun, senantiasa menempatkan isu-isu sebagai langkah awal memasuki daerah sasaran, baru kemudian disusul tema gerakan dan skema sebagai tujuan pokok. Ketika isu yang ditebar ialah sengketa perbatasan, maka boleh ditebak bahwa tema-tema yang bakal diangkat niscaya Konflik Perbatasan, baik intrastate (konflik internal negeri) maupun bersifat interstate (antar negara) dan lainnya.
Melihat perkembangan konstelasi politik baik tingkat nasional, regional dan global yang semakin memanas, maka terkait isu yang berkembang di kawasan hendaknya rakyat Indonesia mewaspadai isu-isu di perbatasan terutama wilayah “konflik” dan/atau “rawan konflik”, atau daerah-daerah yang belum selesai proses kebangsaannya pasca gejolak politik di masa lalu.
Skenario Papua pun sebenarnya bisa ditebak, artinya ketika isu yang ditebar ialah kemiskinan, atau pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) oleh aparat, dll maka menjadi keniscayaan bahwa tema yang diangkat ialah: "Hadirnya pasukan asing ke Papua, atau referendum?". Tinggal pilih. Demikian pula Aceh pasca perjanjian Helsinki, kini mulai ditabur “isu bendera” yang tidak sesuai nafas kebangsaan. Tengok nanti temanya apa. Demikian juga Kaltara, Ambalat, dll yang masuk lingkup Hot Triangle karena potensi minyak yang luar biasa, mutlak harus diwaspadai.
Pada akhirnya, bangsa ini membutuhkan bukan sekedar political will tetapi political action dalam rangka melakukan kontra isu maupun kontra tema secara konseptual baik simetris maupun asimetris sejak kolonialisasi muncul di tataran hilir. Melenyapkan tatanan sekuler-kapitalis dan menyumbat segala celah imperialisme menjadi kebutuhan bersama. Kaum muslim jangan larut dalam lingkaran isu dan tema yang dimainkan oleh pihak luar, sementara skema kolonialisme yang berupa penguasaan ekonomi dan pencaplokan berbagai SDA oleh asing justru kian mengakar namun tidak ada gugatan sama sekali oleh anak segenap bangsa, karena elitnya sibuk di koridor (hilir) isu-isu dan tema.
Amerika sejauh ini telah gagal meraih kemenangan atas Islam, yang dia perangi proyek peradabannya, di bawah kedok memerangi terorisme. Posisi Amerika hampir tumbang dari posisinya sebagai negara adidaya di dunia disebabkan krisis finansial yang menimpanya akibat perang terhadap Islam. Bagaimana dengan Uni Eropa, Rusia, Cina dan Inggris? Sama saja.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!