Senin, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 11 April 2016 18:47 wib
7.404 views
Membaca Islam Rahmatan Lil Alamin dalam Pandangan Penguasa
Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Awalnya Islam Rahmatan Lil Alamin (RLA) menjadi jargon yang disematkan oleh penguasa untuk kepentingan membangun Islam yang jauh dari kesan kekerasan. Yang dimaksud dengan kesan itu salah satunya adalah paham yang berkaitan dengan ajaran jihad dan khilafah. Persis dengan apa yang dikehendaki oleh Amerika agar tidak muncul kekuatan perlawanan atas dominasinya di berbagai negara. Secara masif istilah ini muncul disampaikan oleh Jokowi saat mengklaim dirinya sebagai penganut paham islam RLA.
Statement yang disampaikan pada saat menuju RI 1 itu di antara statement yang lebih populer dibanding dengan presiden RI saat itu -SBY-. Bahkan seruan ke beberapa pihak pun dilakukannya untuk propaganda. Di antaranya kepada institusi berpengaruh dunia dan menjadi kekuatan politik bernama Al Azhar-Mesir. Sebuah lembaga pendidikan dimana banyak putra putri Indonesia menempuh studi. Jokowi menghimbau agar Al Azhar mengajarkan kepada seluruh pelajar (mahasiswa) nya ajaran islam RLA. Langkah Jokowi ini pun didukung oleh OKI. Dan menjadi langkah bagian dari program deradikalisasi BNPT.
Apa saja sebenarnya substansi inti ajaran Islam RLA yang dimaksud oleh Jokowi. Apa motif sesungguhnya dibalik propaganda secara masif pada awalnya. Terus apa kaitannya dengan sosialisasi islam RLA belakangan yang dilakukan oleh salah satu ormas islam sebagai tema sentral kegiatannya tahun ini.
Islam RLA pada awalnya dilabelkan terhadap karakter-karakter ajaran islam yang membawa pengaruh kepada penganutnya penuh dengan sifat yang toleran, damai, sopan-santun, adaptif, wasath, moderat, tidak menghujat, dan sejenisnya. Karakter-karakter tersebut mendapati representasinya pada kelompok-kelompok islam tertentu. Terkesan seolah-olah identifikasi islam RLA mampu memetakan kelompok-kelompok islam yang mana sesuai dengan karakternya. Dan mana yang tidak sesuai.
Islam RLA di awal kemunculannya telah menjadi alat sebagaimana yang dimaksud oleh sebuah kaidah usul "kalimatul haqq bil iradatil baathil". Bukan hanya itu, yang lebih berbahaya adalah telah menjadi istilah adu domba dilegitimasi oleh nash-nash syara'. Seperti halnya penggalan ceramah biasanya disampaikan oleh para mubaligh lulusan program deradikalisasi diantaranya berbunyi:
"Kita harus bisa menyuarakan Islam RLA yakni Islam yang moderat bukan yang menghujat, Islam yang harmonis bukan yang radikalis, Islam yang manis bukan yang bengis, ...".
Sepintas pemaknaan Islam RLA itu menghipnotis orang dalam alam bawah sadarnya gambaran teduh ajaran islam. Tapi siapa sangka citra islam RLA yang dibangun sesungguhnya membawa misi penyesatan dan reduksi ajaran-ajaran Islam.
Alhasil Islam RLA awalnya oleh penguasa hanyalah kedok untuk membangun mindset khususnya kaum muslimin agar tidak sensitif terhadap cengkeraman kepentingan Amerika dan Barat melalui reduksi dan penyesatan terhadap ajaran-ajaran Islam khususnya jihad dan khilafah disertai dengan pendekatan adu domba antar berbagai kelompok Islam
Beda Indonesia beda pula dengan Mesir. Jokowi sebagai teman dialog dekat Al Sisi, sedikit banyak, terwarnai oleh temannya ini berkaitan dengan ajaran ini. Bagi Al Sisi, islam RLA telah menjadi konsep "self destructing strategy" bagi negara-negara Timteng seperti Mesir karena membunuh moderasi (Ikhwanul Muslimin) namun sebaliknya menyiramkan dan membangkitkan radikalisme (ISIS). Islam RLA menjadi konsep yang tidak jelas dan memiliki motif jahat. Di tangan presiden diktator -Al Sisi- maka dia menjadi alat untuk menindas para lawan politiknya, "at any cost" (berapapun biayanya).
Inilah makna sebenarnya Islam RLA untuk seorang "Fir'aun Mesir" yang secara brutal telah membunuh ribuan rakyat dibawah tatapan nanar mata dunia, membakar masjid yang dipenuhi ratusan demonstran, menghukum mati massal rakyatnya, memenjarakan ribuan lainnya tanpa proses hukum, menutup masjid dan membreidel 1400 lembaga kemanusiaan yang telah menolong. Begitulah motif jahat di balik propaganda islam RLA sebagaimana yang diungkap oleh pengamat Timteng, Ahmad Dzakirin.
Kondisi Mesir jika dicerminkan dengan Indonesia maka tidak berbeda jauh. Berapa banyak kemiskinan dan kebodohan melanda negeri zamrud khatuliswa ini disebabkan oleh tekanan struktural. Yakni disebabkan berbagai kebijakan negara yang zalim dan menindas rakyat. Liberalisasi semua sektor akibat dari beragam produk kebijakan negara melanda. Kultur korup di semua jenjang masyarakat terutama birokrasi, eksekutif dan legislatif menggurita. Dekadensi moral, rusaknya tatanan sosial kemasyarakatan menjadi realita. Beban kehidupan ekonomi masyarakat yang semakin menderita. Kehidupan sosial dan budaya sudah jauh dari norma-norma agama.
Di sisi lain bukan hanya kerusakan akibat liberalisasi semua sektor akibat kebijakan negara, melalui Densus 88, negara telah menjadi mesin penjagal manusia. Tidak kurang 121 orang meninggal tanpa melalui proses pengadilan dalam kaitan dugaan terorisme. Ke depan jika jadi disahkan agenda revisi UU Anti Terorisme berapa orang lagi yang akan meninggal akibat "abuse of power" Densus 88 sesuai dengan amanah revisi. Sementara negara digerogoti kewibawaan dan kedaulatannya dengan mengeleminasi segala bentuk keberdayaan. Mulai dari keberdayaan ekonomi, politik, hingga pertahanan negara.
Ketidakberdayaan ekonomi ditunjukkan salah satunya dengan ketidakberdayaan kedaulatan energi. Pembaharuan UU Migas pasca judicial review di bawah koordinasi Muhammadiyah menyisakan pekerjaan sulitnya mengembalikan pengelolaan migas kepada BUMN sebagai representasi negara. Antara membentuk BUMN baru atau menyerahkan kepada Pertamina.
SKK Migas disinyalir tidak berdaya menghadapi konsesi Oil Internasional Company oleh karena batasan dari implementasi undang-undang yang ada. Tarik ulur membuat rumusan pembaharuan UU Migas tak berujung untuk segera merealisasikan kedaulatan energi. Sementara secara bersamaan sumber daya alam khususnya migas dieksploitasi secara dominan oleh Oil International Company tiada henti. Khususnya oleh banyak perusahaan-perusahaan Amerika.
Di bidang pertahanan negara, munculnya Peraturan Presiden (Perpres) 58 Tahun 2015 tentang Kementrian Pertahanan dan Perpres 97 Tahun 2015 tentang Kebijakan Umum Pertahanan Negara Tahun 2015-2019 yang ditanda tangani Presiden Joko Widodo telah menganulir kewenangan Kementrian Pertahanan sebagai perumus kebijakan dalam bidang pertahanan. Dan tugas Kemenhan adalah koordinator untuk menghadapi ancaman militer dan non militer. Namun sekarang Perpres itu merubah tugas Kemenhan hanya menjadi lembaga operasional.
Ini semua adalah keberhasilan Lembaga Konsultan pertahanan dari Amerika Serikat, DIRI (Defense Institution Reform Initiative) yang masuk ke dalam Kemhan RI. Lebih jauh implikasi dari implementasi Perpres ini adalah potensi benturan antara Kemenhan dengan Panglima TNI tentang operasi militer. Meski Perpres ini, sejak awal ditentang oleh BAIS dan TNI, namun tetap dibela oleh Kemenhan, Sekab dan Kemenpan yang juga membela lembaga konsultan Amerika bernama DIRI itu.
Di bidang politik ditunjukkan oleh dorongan salah satu prolegnas 2016 berupa revisi UU Terorisme (UU No 15 Tahun 2003). Sebagaimana disampaikan oleh Luhut Binsar Panjaitan, berdasarkan informasi dari intelijen Inggris, Amerika, dan sejumlah negara sahabat bahwa Indonesia menjadi sasaran paham terorisme dan radikalisme diantaranya paham khilafah yang akan mengancam keamanan dan perekonomian Indonesia sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah.
Oleh karenanya menurut Luhut, DPRI RI harus segera mengesahkan revisi UU Terorisme sebagai regulasi yang akan mencegah berkembangnya paham tersebut. Statement Luhut tersebut dilontarkan di tengah masifnya desakan untuk mengevaluasi kinerja Densus 88 dan BNPT pasca kematian Siyono yang penuh dengan kejanggalan. Dan desakan pembubarannya karena kebijakan-kebijakan Densus 88 dan BNPT selama ini disinyalir banyak didikte oleh kepentingan-kepentingan Amerika.
Alhasil Islam RLA awalnya oleh penguasa hanyalah kedok untuk membangun mindset khususnya kaum muslimin agar tidak sensitif terhadap cengkeraman kepentingan Amerika dan Barat melalui reduksi dan penyesatan terhadap ajaran-ajaran Islam khususnya jihad dan khilafah disertai dengan pendekatan adu domba antar berbagai kelompok Islam. Dan kepentingan ekonomi Amerika dan barat berbentuk imperialisme baru di berbagai wilayah dan sektor dengan menggunakan kombinasi kekuatan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan intelijen, tidak akan pernah berubah.
Hal ini sangat berbeda dengan karakter Islam RLA yang dikampanyekan secara masif oleh salah satu ormas Islam di Indonesia belakangan. Yakni Islam Rahmatan Lil Alamin yang memuat misi ukhuwah, dakwah, syaria’t, jihad dan khilafah yang mampu mewujudkan keberkahan dan kerahmatan untuk manusia sebagaimana misi Islam diturunkan sebagai dien penyempurna kehidupan manusia. Wallahu a'lam bis showab. [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!