Senin, 27 Jumadil Akhir 1446 H / 4 Januari 2016 21:45 wib
8.534 views
Refleksi Tahun 2015: Indonesia Makin Liberal, Makin Terjajah (Bagian-3)
APBN 2016: Makin Kapitalis dan Memeras Rakyat
Pada awal semester kedua 2015, APBN 2016 telah disetujui oleh DPR dengan besaran anggaran belanja mencapai Rp 2.095,72 trliliun. Anggaran pendapatan direncanakan sebesar Rp 1.822,54 triliun dengan rencana defisit sebesar Rp 273,178 triliun atau 13,1 persen. APBN 2016 bertumpu pada pendapatan pajak dan cukai dengan total sebesar Rp 1.546,6 triliun atau 84,8 persen dari penerimaan APBN 2016. Pajak makin dijadikan sandaran penerimaan negara. Sebaliknya, penerimaan dari sumberdaya alam dan BUMN justru tidak dioptimalkan. Ini sungguh aneh!
Pasalnya, negeri ini memiliki kekayaan alam yang sangat besar dan BUMN yang jumlahnya 130 lebih. Namun, sumbangan penerimaan dari hasil kekayaan alam dan BUMN justru tidak dinaikkan. Peningkatan penerimaan pajak itu bermakna, beban bagi rakyat akan makin besar. Padahal selama ini beban rakyat sudah amat berat.
Di sisi lain, negeri ini memiliki kekayaan alam yang sangat besar. Misal, cadangan terbukti yang dikuasai Freeport saja total potensi pendapatannya bisa mendekati Rp 2.000 triliun. Ini baru dari satu tambang. Sayang, kekayaan yang besar itu bukannya dimaksimalkan untuk penerimaan negara dengan dikuasai dan dikelola langsung oleh negara, tetapi malah diserahkan kepada swasta bahkan asing.
Rakyat diharuskan menanggung pembiayaan negara—antara lain lewat pajak—yang makin berat, pada saat yang sama kekayaan sangat besar milik rakyat justru diserahkan kepada swasta/asing. Ini jelas pengkhianatan terhadap rakyat. Pengkhianatan itu secara sadar dilakukan oleh penguasa, para wakil rakyat dan politisi.
Selain mengandalkan pajak, APBN 2016 yang dianggarkan defisit Rp 273,178 triliun atau 13,1 persen, juga mengandalkan utang untuk menutupi defisit (kekurangan) itu, pemerintah merencanakan akan menarik utang melalui Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 326,3 triliun, utang dalam negeri Rp 3,3 triliun dan utang luar negeri Rp 72,84 triliun.
Hal itu hanya akan membuat negeri ini terjerat utang makin dalam. Semakin besar utang berarti makin besar bahaya bagi negeri ini. Pasalnya, selama ini utang luar negeri menjadi alat campur tangan dan kontrol pihak asing terhadap kebijakan pemerintah. Artinya, utang menjadi alat penjajahan asing, antara lain dengan mendiktekan UU di negeri ini sesuai keinginan mereka, bahkan sejak pembuatan draft-nya. Lahirlah banyak UU bercorak liberal yang lebih menguntungkan mereka dan merugikan rakyat.
Kabut Asap, Bencana yang Dibiarkan
Kabut asap telah menjadi musibah yang menimpa masyarakat dalam cakupan yang sangat luas di tahun 2015. Meliputi wilayah di 12 provinsi, dengan luas jutaan kilometer persegi. Yakni Sumatera Selatan, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan. Di Sumatera, kabut asap menyelimuti 80 persen wilayahnya. Kabut asap itu disebabkan oleh kebakaran yang menghanguskan puluhan ribu hektar hutan dan lahan. Kebakaran menghanguskan lebih dari 40.000 hektar lahan di Jambi. Sebanyak 33.000 hektar yang terbakar adalah lahan gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, luas area yang mengalami kebakaran di Kalimantan Tengah (Kalteng) mencapai 26.664 hektar.
Total nilai kerugian akibat bencana asap pada tahun 2015 belum bisa dihitung. Namun, berdasarkan data BNPB, kerugian pada tahun 1997 saja, yaitu mencapai 2,45 miliar dolar AS. Menurut Kepala BNPB Willem Rampangilei, kerugian akibat kebakaran lahan dan hutan serta bencana asap di Riau tahun 2014 lalu, berdasarkan kajian Bank Dunia, mencapai Rp 20 triliun.
Di Jambi saja—akibat pencemaran udara yang timbul oleh kabut asap, dampak ekologis, ekonomi, kerusakan tidak ternilai dan biaya pemulihan lingkungan—kerugian diperkirakan Rp 2,6 triliun. Nilai kerugian itu belum termasuk kerugian sektor ekonomi, pariwisata dan potensi yang hilang dari lumpuhnya penerbangan.
Bencana kabut asap juga telah menyebabkan bencana kesehatan massal. Sebanyak 25,6 juta jiwa terpapar asap, yaitu 22,6 juta jiwa di Sumatera dan 3 juta jiwa di Kalimantan. Puluhan ribu orang menderita sakit. Hingga 28/9, di Riau saja tercatat 44.871 jiwa terjangkit Infeksi Saluran Pernapasan Akut/ISPA. Jumlah itu masih mungkin akan bertambah. Jumlah itu belum ditambah total puluhan ribu kasus ISPA di Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan daerah lainnya.
Kebakaran lahan dan hutan yang cukup dahsyat sudah terjadi setidaknya sejak 1967. Sejak itu kebakaran lahan dan hutan terus berulang tiap tahun. Kebakaran lahan dan hutan sangat sulit atau bahkan mustahil diakhiri selama kapitalisme bercokol. Pasalnya, demi kepentingan ekonomi, jutaan hektar hutan dan lahan diberikan konsesinya kepada swasta. Lalu, demi efisiensi dalam pembukaan lahan, mereka membakar lahan tersebut. Inilah yang menjadi salah satu akar masalahnya. Bencana kebakaran hutan dan lahan hanya akan bisa diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam melalui dua pendekatan: pendekatan tasyrî’i (hukum) dan ijrâ’i (praktis).
Freeport: Simbol Penjajahan Kapitalisme di Indonesia
Di penghujung tahun 2015, PT Freeeport Indonesia menyulut kegaduhan politik di negara ini. Ini gara-gara Freeport yang tengah berusaha untuk memperpanjang kontraknya yang akan berakhir tahun 2021, menempuh berbagai cara, diantaranya lobi kepada para pejabat tinggi. Padahal jika mengacu pada PP Nomor 77/ 2014, Freeport baru bisa mengajukan perpanjangan tahun 2019. Namun bagi Freeport, tenggang waktu itu tidak segera memberikan kepastian investasi. Berbagai lobi dilakukan perusahaan itu. James R. Moffett, Chairman Freeport-McMoran, bahkan secara diam-diam menemui Jokowi. Akhirnya, Menteri ESDM, Sudirman Said, mengeluarkan surat yang memberikan ‘lampu hijau’ perpanjangan kontrak dengan PT Freeport Indonesia. Respon Menteri ESDM yang mendukung perpanjangan tersebut menuai perdebatan.
Opini publik yang menyudutkan posisi Freeport dan pemerintah dilawan oleh pemerintah yang diwakili Menteri ESDM yang bekerja sama dengan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Maroef Sjamsoeddin dengan melaporkan Ketua DPR, Setyo Novanto, ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Ia dilaporkan karena diduga telah mencatut nama presiden dan wakil presiden untuk meminta jatah saham ke Freeport. ‘Sinetron’ politik tersebut berhasil menyedot perhatian publik. Sebaliknya, kontroversi mengenai perpanjangan kontrak Freeport kembali pudar. Renegosiasi kontrak antara pemerintah dan Freeport secara diam-diam kembali dilanjutkan.
Sikap pemerintah tersebut seakan menutup mata atas berbagai kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan itu baik dari aspek ekonomi, kemanusiaan, dan lingkungan. Pemerintah yang semestinya membela kepentingan negara dan rakyat justru lebih membela kepentingan perusahaan itu.
Berdasarkan Laporan Tahunan Freeport McMoran Tahun 2014, cadangan bijih terbukti PT Freeport Indonesia sebesar 2,5 miliar dengan potensi kandungan emas sebesar 800 ton dan kandungan tembaga sebanyak 13,2 juta ton. Besarnya cadangan itu, menempatkan Grasberg sebagai lokasi dengan cadangan emas terbesar dunia dan cadangan tembaga yang masuk dalam 10 besar dunia. Pada tahun 2014, perusahaan itu menghasilkan 288 ribu ton tembaga dan 32 ton emas dari rata-rata produksi bijih (ore) perhari sebanyak 120,500 ton.
Jika produksi itu diasumsikan tetap, maka perusahaan itu butuh 57 tahun lagi atau hingga tahun 2072 untuk menghabiskan cadangan terbukti saat ini. Namun, Freeport McMoran, dalam presentasinya kepada para investor mengklaim bahwa perusahaan itu memiliki bahan mineral (mineralized material) yang cukup sebesar dan belum dikonversi menjadi cadangan terbukti. Artinya cadangan mineral terbukti yang dikuasai perusahaan itu berpotensi untuk terus bertambah.
Sayangnya, besarnya cadangan dan pendapatan perusahaan itu, tidak banyak dinikmati oleh penduduk Indonesia. Selain pajak, royalti yang dibayarkan perusahaan itu kepada pemerintah sangat kecil. Pada tahun 2014, nilainya hanya Rp 1,5 triliun atau 3,3 persen dari total pendapatannya yang mencapai Rp 47 triliun. Cadangan yang melimpah dan biaya yang murah tersebut, menjadi alasan mengapa Freeport sangat berambisi untuk terus memperpanjang kontraknya. Kerugian yang ditimbulkan oleh kehadiran Freeport sejatinya bukan hanya masalah ekonomi, namun juga aspek kemanusian dan lingkungan.
Meski Freeport kerap membangkang terhadap regulasi pemerintah di sektor pertambangan seperti UU No. 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara telah mengatur pembatasan luas lahan pertambangan, kewajiban divestasi saham hingga keharusan melakukan pemurnian produk dalam negeri, pemerintah tetap saja bersikap lunak kepada Freeport. Sejumlah peraturan turunan dari UU Minerba, baik dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri (Permen) berkali-kali direvisi hanya untuk mengakomodasi kepentingan Freeport dan perusahaan pertambangan raksasa lainnya seperti Newmont.
Berdasarkan dokumen-dokumen diplomatik pemerintah Amerika Serikat, Bradle R Simpson (2008) dalam bukunya Economist With Guns mengungkapkan bagaimana peran pemerintah AS dalam memfasilitasi masuknya investor-investor AS termasuk Freeport ke Indonesia.
Freeport merupakan simbol bagaimana kuatnya penjajahan dalam bentuk investasi dalam mengeruk kekayaan alam negeri ini. Eksistensi Freeport juga menjadi cermin betapa lemahnya pemerintah di hadapan korporasi asing terutama yang dibekingi negara-negara besar seperti Amerika Serikat. Permufakatan jahat mereka untuk melanggengkan eksistensi perusahaan-perusahaan asing demi mendapatkan rente ekonomi menjadi bukti pengkhiatanan pemerintah terhadap rakyat. Bersambung. [syahid/voa-islam.com]
Penulis: Luthfi Affandi (Humas HTI Jabar)
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!