Rabu, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 19 Agutus 2015 21:24 wib
7.343 views
Kemerdekaan Semu Dibawah Bayang-Bayang Neoliberalisme dan Neoimperialisme (bagian-2)
Oleh: Indra Fakhruddin (Pengamat Sosial Politik di Al Amri Institute)
Sahabat VOA-Islam...
Contoh seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis sebagai para pengemban Kapitalisme; Uni Soviet (dulu) dengan Sosialismenya; atau Khilafah Islamiyah yang mengemban ideologi Islam. Sedangkan negara tidak ideologis sangat nampak tidak memiliki kepentingan ideologi ketika melakukan hubungan politik luar negeri. Negara ini cenderung statis defensif hanya memikirkan kepentingan internal negaranya. Contoh seperti Indonesia dan negeri-negeri muslim lainnya. Realitasnya negara yang tidak ideologis menjadi objek penetrasi ideologi negara ideologis. Pola-pola semacam ini merupakan suatu yang berjalan secara alami terjadi dalam konstelasi internasional.
Kerangka Politik Luar Negeri
Untuk dapat memahami politik luar negeri secara komprehensif, setidaknya ada beberapa unsur dasar politik luar negeri yang harus diketahui, yaitu fikrah (ide dasar) , thariqah (metode operasional), khittah siyasiyah (garis/strategi politik) dan uslub siyasi (taktik politik). Semua ini merupakan unsur yang harus diketahui agar kita dapat memahami kerangka politik luar negeri dari suatu negara, khususnya negara pembawa ideologi.
Memahami politik luar negeri (as-siyasah al-kharijiyyah), merupakan satu kewajiban penting atas kaum Muslim. Dan perlu kaum muslim perlu memahami konstelasi politik di Dunia Islam dan sekaligus konstelasi politik internasional (al-mawqif ad-duwali). Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan kerangka konstelasi politik luar negeri ini dalam kitabnya Mafahim Siyasiyyah Ii Hizb at-Tahrir.
Pertama kali hendaklah dipahami pengertian fikrah (ide) dan thariqah (metode)—dalam konteks pembahasan politik luar negeri; juga pengertian khiththah siyâsiyah (rancangan politik) dan uslub siyâsi (strategi politik) berikut karakternya masing - masing.
Fikrah politik luar negeri adalah ide dasar yang menjadi asas suatu negara dalam membangun interaksinya dengan negara lain. Thariqah politik luar negeri adalah metode operasional yang ditempuh oleh suatu negara untuk menerapkan fikrah-nya dalam politik luar negeri. Khiththah siyasiyah (rancangan politik) adalah suatu strategi umum (siyâsah ‘ammah) yang dirancang untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang dituntut oleh fikrah atau thariqah . Uslub siyasi (strategi politik) adalah suatu strategi khusus (siyasah khâshah) mengenai satu bagian dan suatu strategi umum yang akan membantu mewujudkan atau memantapkan rancangan politik (khiththah siyasiyah).
Fikrah dan thariqah bersifat tetap dan tak berubah walaupun terjadi perubahan atau pergantian para pemimpin politik yang memimpin suatu negara. Sebaliknya, khiththah siyasiyah dan uslub siyasi bersifat tidak tetap dan dapat berubah sesuai tuntutan kebutuhan dan keadaan. Namun demikian, khiththah siyasiyah relatif lebih tetap dibandingkan dengan uslub siyasi. Dengan kata lain, walaupun keduanya dapat berubah, perubahan khiththah siyâsiyah lebih jarang terjadi daripada uslub siyâsi.
Selama 70 tahun Indonesia merdeka ancaman penjajahan gaya baru yaitu Neoliberalisme dan Neoimperialisme semakin menguat hegemoninya
Pembahasan fikrah dan thariqah politik luar negeri hanya berlaku untuk negara-negara yang menganut ideologis. Sedangkan negara yang tidak ideologis seperti Indonesia, dianggap tidak mempunyai fikrah dan thariqah dalam politik luar negerinya. Negara-negara ini hanya perlu dipahami aspek khiththah siyasiyah dan uslub siyasi-nya saja.
Apa yang menjadi fikrah dan thariqah dan masing-masing negara pengemban ideologi Sosialisme, Kapitalisme, dan Islam? Fikrah dari negara penganut Sosialisme adalah menyebarkan sosialisme ke seluruh dunia. Fikrah ini bersifat tetap dan tidak berubah meskipun terjadi pergantian pucuk pimpinan di negara-negara sosialis. Sedangkan thariqah untuk mewujudkan fikrah tersebut adalah dengan mewujudkan berbagai konflik di tengah-tengah masyarakat.
Dengan kata lain, thariqah Sosialisme adalah mewujudkan perjuangan kelas, yang terjadi antara golongan-golongan dalam masyarakat, sebagai jalan untuk melahirkan masyarakat sosialis. Fikrah negara penganut Kapitalisme adalah menyebarkan Kapitalisme yang berpangkal pada ide pemisahan agama dan kehidupan (sekularisme) ke seluruh dunia. Thariqah-nya adalah melakukan penjajahan (imperialisme), yaitu pemaksaan dominasi militer, politik, budaya, dan ekonomi atas bangsa-bangsa yang dikuasai untuk dieksploitasi. Fikrah negara pengemban ideologi Islam (Khilafah Islamiyah) adalah menyebarkan ideologi Islam atau, dengan kata lain, mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Sedangkan thariqah-nya adalah dengan jihad fi sabilillah.
Fikrah dan thariqah dalam politik luar negeri seperti telah diuraikan selintas di atas, secara konkret terwujud dalam bentuk khiththah siyâsiyah dan uslub siyasi. Khiththah siyasiyah, sebagaimana telah diterangkan maksudnya, merupakan suatu rancangan politik yang bersifat umum untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang dituntut oleh fikrah atau thariqah dalam politik luar negeri. Sedangkan uslub siyasi merupakan strategi yang bersifat khusus yang menjadi bagian dari suatu rancangan politik yang bersifat umum, yang akan membantu mewujudkan atau memantapkan rancangan politik tersebut. Berikut beberapa contohnya yang pernah terjadi dalam sejarah.
Ancaman Neoliberalisme dan Neo imperialisme
Berbekal pemahaman tentang tipologi penjajahan serta kerangka politik luar negeri diatas. Indonesia ternyata masih termasuk sebagai negara yang belum kaffah disebut merdeka. Betul, negera-negara Barat kapitalis tidak lagi menjajah secara militer tetapi metode penjajahannya bermertamorfosa dalam bentuk penjajahan gaya baru (neoimperialisme) sebagai implikasi bentuk khiththah siyâsiyah dan uslub siyasi. Dampak bahayanya sama-sama sangat berbahaya bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Selama 70 tahun Indonesia merdeka ancaman penjajahan gaya baru yaitu Neoliberalisme dan Neoimperialisme semakin menguat hegemoninya. Kondisi ini diperparah oleh pemimpin yang juga sangat tunduk kepada kepentingan negara kapitalis. Era Presiden SBY kran liberalisasi sudah dibuka lebar-lebar. Kedekatan hubungan Amerika sebagai negara kapitalis dengan Indonesia memuluskan intrik neoliberalisme dan neoimperialisme. Bagaimana dengan era Jokowi? Nampaknya, indikasi ancaman itu lebih parah lagi .
Neoliberalisme adalah paham yang menghendaki pengurangan peran negara dalam ekonomi. Dalam pandangan neoliberalisme, negara dianggap sebagai penghambat utama penguasaan ekonomi oleh individu/korporat. Pengurangan peran negara dilakukan dengan privatisasi sektor publik, seperti migas, listrik, jalan tol dan lainnya; pencabutan subsidi komoditas strategis seperti migas, listrik, pupuk dan lainnya; penghilangan hak-hak istimewa BUMN melalui berbagai ketentuan dan perundang-undangan yang menyetarakan BUMN dengan usaha swasta. Jadi, neoliberalisme sesungguhnya merupakan upaya pelumpuhan negara, selangkah menuju corporate state (korporatokrasi). Ketika itu, negara dikendalikan oleh persekutuan jahat antara politikus dan pengusaha. Sehingga keputusan-keputusan politik tidak dibuat untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan korporat baik domestik maupun asing.
Ancaman neoliberalisme akan semakin besar dengan diberlakukannya MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) mulai tahun 2015 ini. MEA, sebagaimana blok pasar bebas lain, merupakan strategi kekuatan kapitalis global untuk meluaskan hegemoninya, khususnya di kawasan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Dalam pasar bebas, dihapus semua hambatan masuk (barrier to entry) baik tarif maupun non tarif seperti regulasi, penetapan kuota, subsidi, dan lainnya yang selama ini memang dibuat untuk melindungi produk dalam negeri. Jadi, MEA tak lain adalah pasar bebas yang akan membuka pasar negara-negara di kawasan ASEAN yang berpenduduk sekitar 600 juta bagi produk dan penanaman modal negara-negara kapitalis besar.
Keputusan rezim Jokowi-JK yang bergegas menaikkan harga BBM misalnya,adalah bukti kebijakan yang sangat sarat kepentingan asing. Meskipun kemudian diturunkan, namun tidak bisa menutupi maksud sesungguhnya dari kebijakan itu, yakni pemberlakuan liberalisasi migas secara total. Rezim Jokowi-JK mencabut subsidi BBM dan menetapkan harga sesuai dengan harga pasar. Inilah yang dimaui oleh perusahaan migas asing agar mereka bisa leluasa masuk di sektor niaga BBM. Ini bisnis yang luar biasa besar. Mereka mengambil minyak di Indonesia, lalu diolah dan dijual di Indonesia, tapi dengan harga internasional. Setiap tahun, perusahaan migas asing diperkirakan bisa meraup untung tak kurang dari Rp 150 triliun. Bersambung... [syahid/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!