Ahad, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 3 Agutus 2014 04:02 wib
13.939 views
Euforia 'Presiden' Jokowi
Oleh : Abu Fikri (Aktivis Gerakan Revivalis Indonesia)
Euforia harapan perubahan besar Indonesia menjadi lebih baik seolah-olah bertumpu pada presiden baru Jokowi. Banyak kalangan seolah bermimpi Jokowi lah pencipta terobosan baru.
Di tengah kejenuhan masyarakat melihat profil para pemimpin/penguasa negeri ini yang senantiasa "jaim" (jaga image) tetapi faktanya korup. Salah satu diantara sebab kenapa para pemimpin/penguasa banyak yang korup adalah sistem koalisi politik yang dibangun SBY. Hampir bisa dipastikan bahwa semua kementrian terindikasi korupsi. Tinggal menunggu waktu saja kasusnya terkuak. SBY seolah mengisyaratkan bahwa kementrian menjadi kapling politik. Asal tidak sampai menyentuhnya. Semua melakukan permainannya sendiri. Dan resiko ditanggung sendiri-sendiri. Menunggu jadwal siapa yang apes. Kira-kira prinsip politik ini yang diterapkan selama 2 periode kekuasaan SBY.
Meski partai Demokrat pimpinan SBY sendiri telah membuat reklame "Katakan Tidak pada Korupsi". Ironisnya justru hampir semua politisi iklan itu tercokok kasus. Siapa lagi kalau bukan Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Angelina Sondak. Sebentar lagi Edie Baskoro (Ibas) putra SBY.
Banyaknya kasus korupsi di beberapa kementrian menjadi salah satu bukti terjadinya problem sistemik. Karena hampir semua kader parpol di dewan terkena kasus.
Dan naifnya kasus korupsi itu juga menimpa para tokoh beberapa parpol islam. Mulai dari LHI hingga Suryadarma Ali. Inilah buah karya strategi kabinet selama ini. Kemudian selalu saja mindset atas penyelesaian persoalan sistemik itu menggunakan pendekatan hilir. Tidak pendekatan hulu. Yakni sebuah pendekatan yang lebih menitikberatkan pada “law of enforcement”. Bukan lebih fokus pada mencari akar persoalan untuk kemudian dipecahkan. Pendekatan hulu adalah sebuah pendekatan untuk menemukan akar mendasar yang menyebabkan terjadinya problem sistemik. Karena problem sistemik yang terjadi sesungguhnya muncul akibat dari implementasi sistem tertentu (baca : Sistem Politik Demokrasi dan Sistem Ekonomi Kapitalis Liberal). Problem sistemik itu pada akhirnya hanya bisa dipecahkan dengan mencabut dan menggantinya dengan sistem baru yang mampu mencegah dan memecahkannya. Maka perlu keberanian politik para penguasa untuk melakukan perubahan mendasar dan komprehensif. Karena bangunan sistem itu selama ini ditopang oleh banyak pihak dengan beragam kepentingan. Terutama kepentingan Asing dan Aseng yang mencengkeram. Seandainya penguasa negeri ini berani melepaskan ketergantungan ekonomi. Diikuti dengan gerakan untuk mengendalikan dan meningkatkan produksi dalam negeri semua bidang terutama bidang ekonomi strategis yang menguasai hajat hidup rakyat. Kemudian ditopang dengan gerakan wajib menggunakan produksi dalam negeri untuk semua kebutuhan. Maka langkah ini menjadi sesuatu yang luar biasa.
Pertanyaannya kemudian adalah jenis sistem politik dan sistem ekonomi apa yang bisa menopang kebijakan itu. Mengingat banyaknya kontrak asing yang selama ini berjalan. Terutama kontrak-kontrak pengelolaan sumber daya alam strategis.
Maka tantangan sesungguhnya penguasa negeri ini ke depan dalam konteks memutus ketergantungan ekonomi untuk mewujudkan kemandirian dan kedaulatan bangsa diantaranya :
1) Mewujudkan dominasi produksi dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan sendiri,
2) Memutus kontrak karya pengelolaan sektor-sektor ekonomi strategis terutama pengelolaan sumber daya alam,
3) Moratorium hutang luar negeri sekaligus memutusnya,
4) Memberi ruang peran yang seluas-luasnya melalui kesempatan ekonomi terutama wirausaha sektor ekonomi strategis kepada penduduk pribumi non asing dan aseng. Di sisi lain membatasi kesempatan ekonomi penduduk non pribumi (asing dan aseng) hanya pada sektor ekonomi non strategis (suplemen). Penataan pemberian ruang peran masing-masing itu melalui pembuatan kerangka legislasi yang menjadi sandaran.
5) Penataan standardisasi pengelolaan kepemilikan secara proporsional. Antara kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilihan negara. Dan menempatkan kepemilikan bumi, air dan listrik sebagai kepemilikan umum yang harus dikelola oleh negara untuk sebesar-besar kepentingan rakyat.
Euforia harapan perubahan besar atas kepemimpinan Jokowi sesungguhnya sangat berlebihan. Karena hampir bisa dipastikan tidak akan mampu memutus ketergantungan ekonomi seperti di atas. Selain itu kekuasaan presiden bersama wakilnya dan kabinet telah banyak direduksi oleh kewenangan lembaga tinggi negara lain dalam sistem ketatanegaraan negeri ini. Ada MK, BPK, KPK, PPATK, MA, dan DPR.
Meski komitmen Jokowi untuk merealisasikan kabinet kerja yang profesional akan benar-benar diwujudkan. Tetapi yang menjadi catatan pentingnya adalah seberapa Jokowi bisa melepaskan diri dari desakan kepentingan politik parpol yang mengusung dan mendukungnya. Jika melihat ongkos politik yang telah dikeluarkan baik di pileg maupun pilpres. Hal ini bisa dilihat dari simbol-simbol menjelang pelantikan sosoknya dibayang-bayangi oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada di baliknya. Misalnya buka bersama di rumah Chairul Tanjung, kediaman Megawati dan lain-lain. Belum lagi pengaruh orang-orang yang ada di belakangnya seperti Luhut Panjaitan, Hendro Priyono, James T Riyadi dan lain sebagainya.
Selain persoalan potensi korupsi sistemik dan sulitnya melepaskan ketergantungan ekonomi, keabsahan pilpres kemarin juga masih belum sepenuhnya jelas. Meski resmi sudah gugatan hasil pilpres yang penuh salah redaksi oleh kubu Prabowo-Hatta ke MK. Di antara bayang-bayang real count versi TNI Polri yang disampaikan oleh Umar Abduh diunggah di You tube. Dimana Prabowo-Hatta dinyatakan unggul dengan perolehan suara sejumlah 54 persen. Salah satu alasan dugaan kenapa perhitungan real count versi TNI Polri itu tidak bisa diterima karena tidak dibubuhi oleh tanda tangan saksi dan KPU. Dan khawatir disinyalir sebagai bentuk dukungan primordial sesama militer. Kita memahami juga bahwa tradisi manipulasi suara memiliki akar kultur historis dengan perjalanan pemilu di negeri ini. Jaman Soeharto adalah masa dimana militansi manipulasi suara dibentuk dan diinternalisasikan. Sebuah strategi yang dari pemilu ke pemilu di masa Orde Baru menentukan kemenangan Golkar sebagai idola parpol pada jamannya. Nampaknya militansi kultur manipulasi suara itu hinggap secara turun temurun hingga kini. Jika ini terus dibiarkan potensi krisis kepercayaan masyarakat yang masif terhadap KPU pada pileg kemarin. Ditambah hal yang sama pada pilpres baru-baru ini.
Wajar jika muncul label untuk negeri ini dari beberapa kalangan sebagai"the corruption state".
Akan menambah deretan panjang krisis kepercayaan masyarakat terhadap berbagai institusi negara. Mulai dari dewan rakyat, kabinet yang banyak melahirkan menteri korup, MK yang ketuanya korup, dan krisis kepercayaan terhadap sederetan lembaga negara lain yang tidak bisa dipisahkan dengan kasus dugaan korupsi. Wajar jika muncul label untuk negeri ini dari beberapa kalangan sebagai"the corruption state".
Dan buah hasil dari semua itu akan tercipta masyarakat yang pragmatis dan apatis secara solid. Cepat atau lambat jika kondisi ini dibiarkan maka bukan mustahil akan mendorong terjadinya revolusi kesadaran yang berujung pada momentum revolusi politik. Akan muncul kesadaran fakta bahwa siapapun presidennya tidak akan pernah menjamin terjadinya perubahan mendasar dan komprehensif. Karena sudah sedemikian menggurita perilaku korup dan ambisi kekuasaan mengidap di hampir semua pejabat publik negeri ini.
Solusi dari semua problem sistemik itu tidak lain adalah penerapan sistem yang memiliki kualifikasi paripurna. Bukan berasal dari manusia yang penuh dengan relatifitas dan arogansi kekuasaan. Melainkan sistem yang bersumber dari keyakinan mayoritas bangsa ini. Sistem apalagi kalau bukan sistem islam. Sistem berasal dari Illahi yang sudah pasti mampu memecahkan persoalan kehidupan manusia. Namun problemnya adalah phobia islam, krisis ukuwah islamiyah dan fanatisme demokrasi. Selama kaum muslimin mengikuti cara pandang orang Yahudi dan Nasrani dalam memandang islam. Selama tidak terwujud jalinan silaturahim antar berbagai elemen umat islam dalam kerangka ukuwah islamiyah.
Dan selama kaum muslimin terjebak secara buta dengan dogma kemusyrikan sistem thogut demokrasi. Maka potensi kebangkitan umat islam untuk merubah nasibnya keluar dari keterpurukan tidak akan pernah terwujud. Dibutuhkan formulasi dan kombinasi aktivitas dakwah dan jihad untuk mewujudkan kebangkitan umat. Karena kedua aktifitas inilah sesungguhnya yang menjadi pilar penopang kejayaan islam. Islam yang memuat ajaran syariah dan khilafah.
Wallahu a'lam bis shawab.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!