Selasa, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Maret 2013 09:01 wib
11.103 views
Ir. Nana Mintarti: Etos Kerja Seorang Amil Bukan Di Belakang Meja
JAKARTA (voa-islam.com) - Seorang amil yang profesional idealnya tidak sebatas pegawai yang bekerja, tapi juga bermental aktivis atau penggiat. Ketika kerangkanya dakwah, maka ia tidak hitung-hitungan dalam bekerja. Sebagai pekerja sosial, jangan pernah berpikir, apa yang dilakukannya adalah diluar jam kerja. Mental amil seperti ini tidak akan bisa mengentaskan kemiskinan.
Demikian dikatakan Ir. Nana Mintarti, MP (Direktur Indonesia Magnificence of Zakat /IMZ) kepada voa-islam disela-sela seminar Filantropi Islam Asia Tenggara di Gedung Menara 165, Jakarta.
"Idealnya, Lembaga Zakat, Pemerintah dan Masyarakat sipil bersinergis untuk membantu kaum yang tak berpunya. Ketiga pilar itu merupakan jaringan pengaman sosial yang diharapkan saling bahu membahu," kata Nana.
Harus diakui, Pemerintah memiliki daya jangkau yang terbatas, tidak sampai ke grassroot (akar rumput). Sedangkan NGO lebih memahami hal itu. Karenanya, pemerintah yang punya uang dan kekuasaan hendaknya bersinergis dengan lembaga zakat.
Menurut Nana, seorang penggiat social seyogianya bekerja dengan hati, dan sepenuh waktu. Ini persoalan value (nilai-nilai) dan keimanan seseorang ketika melakukan aktivitas sosial. Tentu saja, lembaga zakat harus peka dengan lingkungan sekitarnya. Dalam kaitan itu, peran seorang amil hendaknya memiliki etos kerja ketika bekerja di lembaga zakat.
“Dia bukan hanya pegawai, tapi juga harus bermental aktivis aau penggiat. Ketika kerangkanya dakwah, maka ia tidak hitung-hitungan dalam bekerja. Sebagai pekerja sosial, jangan pernah berpikir, apa yang dilakukannya adalah diluar jam kerja. Mental amil seperti ini tidak akan bisa mengentaskan kemiskinan,” ungkap Nana.
Lebih jauh, Nana menyayangkan, jika lembaga zakat masih mengutamakan program yang sifatnya charity. Seharusnya seorang amil yang aktivis, mampu menyusun program dan mengidentifikasi masalah, serta mengetahui kebutuhan masyarakat, juga sekaligus melakukan monitoring.
“Seorang amil yang tangkas, harusnya mampu memberi bantuan secara cepat dan tanggap darurat. Tak perlu birokrasi yang jelimet. Sangat disesalkan, jika mentalitas amil sering di belakang meja, dan tidak mengetahui masalah. Amil seperti ini harus ditarbiyah agar lebih peka dan tanggap. Atau bahasa lainnya, corporate culture.”
Angka Kemiskinan
Menurut Nana, mengutip data dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan data Bank Dunia (World Bank), Indonesia adalah salah satu dari 5 negara Muslim termiskin di dunia. Jika data versi BPS menyebutkan, jumlah orang miskin di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 29,88 juta. Sedangkan versi Bank Dunia jauh lebih besar lagi, yakni mencapai 102,45 juta.
Bicara pengentas kemiskinan di Indonesia, setiap tahun pemerintah Indonesia mengalokasikan dana yang besar untuk mengurangi kemiskinan, dari Rp.43 triliun (2006) menjadi Rp. 50 triliun (2011), namun angka kemiskinan tidak mengalami perubahan berarti. “Alokasi tersebut besarannya tidak tetap dan sangat bergantung pada pemegang kekuasaan.”
Nana Mintarti menegaskan, untuk melihat pengaruh zakat terhadap pengentasan kemiskinan secara nasional di Indonesia merupakan suatu hal yang cukup sulit. Belum tersedianya data dan informasi zakat secara nasional merupakan salah satu penyebab sulitnya dilakukan analisa ini secara mendetail. Diakui, pengelolaan zakat saat ini masih cenderung dilakukan sendiri-sendiri oleh berbagai pihak terkait.
Pada tahun 2009, Pemerintah Indonesia mengalokasikan Rp.43 trilyun untuk program-program pemberantasan kemiskinan. Sedangkan dana ZIS yang terkumpul kurang lebih 1,2 triliun. Artinya, jika seluruh dana ZIS yang terkumpul dialokasikan pada pengentasan kemiskinan, hal ini baru meng-cover 2,7% dari total kebutuhan.
“Dampak positif zakat terhadap pengentasan kemiskinan dan distribusi pendapatan akan meningkat signifikan jika didukung dan disinergikan dengan pengelolaan dana-dana Filantropi Islam yang lain, seperti dana Wakaf, dana Haji dan Qurban,” jelas Nana.
Lalu kenapa zakat kurang efektif dalam pengentasan kemiskinan? Dikatakan Nana, minimnya dana zakat yang dikumpulkan dan disalurkan untuk pengentasan kemiskinan, antara lain karena rendahnya kesadaran wajib zakat (muzakki) dalam membayar zakat dan kurangnya kepercayaan public kepada lembaga zakat.
Rendahnya efektifitas pendayaagunaan dana zakat oleh OPZ, antara lain karena: lemahnya kapasitas kelembagaan OPZ dalam mengimplementasikan program-programnya. Ditambah, kurangnya perilaku asnaf yang kurang suportif dalam mengoptimalkan manfaat dari bantuan zakat yang mereka terima.
Dengan keterbatasan dana zakat, diperlukan strategi pendistribusian yang tepat agar zakat menjadi efektif. Tiga isu penting untuk meningkatkan efektifitas pendayagunaan zakat adalah: Prioritas dalam distribusi zakat, bentuk pola (model) pendistribusian zakat yang sesuai, dan menyesuiakan dengan kondisi local dan kebutuhan masyarakat lokal tentang pemberdayaan ekonomi masyarakat terkini.
Dalam sebuah surveinya, rata-rata pendapatan penerimaan zakat meningkat setelah memperoleh bantuan zakat dari OPZ; jurang kemiskinan semakin menyempit yaitu, dari Rp. 326.501,9 menjadi Rp. 318.846,2.
“Waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan rumah tangga miskin dari kemiskinan diperlukan waktu 7 tahun. Namun dengan pendistribusian zakat oleh OPZ, waktu tersebut dapat dipercepat 1,9 tahun menjadi 5,1 tahun. ADS
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!