Kamis, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 12 Januari 2012 11:08 wib
14.055 views
Demi Selamatkan Akidah Anak-anak dari Kristenisasi, Aku Rela Jadi TKW
SEBUT saja namaku Salma, bukan nama sebenarnya. Aku terlahir dari keluarga cukup, meski tak tergolong kaya-raya. Empat saudara yang kumiliki juga melimpahkan kasih sayang yang tulus.
Seperti wajarnya remaja-remaja kampung, selepas lulus SMA berusaha mencari lowongan kerja. Alhamdulillah, aku mendapat lowongan kerja dengan sangat mudah di sebuah pabrik plywood, meski aku harus bersedia ditugaskan ke pulau lain. Berat, namun tidak apalah, pikirku waktu itu.
Dengan bekal dan doa kedua orangtua, diantarlah aku dengan hujan airmata. Kebetulan nama perusahaannya juga familiar dan cukup bergengsi, sehingga kedua orangtua bisa sedikit terhibur, meskipun sebenarnya khawatir melepasku merantau ke kepulauan Sulawesi.
Pembawaan yang mudah bergaul, membuat aku cepat akrab dengan teman seprofesi yang rata-rata juga berasal dari Jawa, hanya sedikit saja orang Sulawesi yang bekerja dalam perusahaan ekspor kayu siap jadi tersebut. Suasana kerja yang kondusif, apalagi ditunjang dengan fasilitas tempat tinggal perusahaan yang lumayan strategis dan terjaga. Di antara teman-teman kerja, mayoritas masih lajang. Tumbuhlah aku di antara teman kerja yang rata-rata berusia sebaya denganku yang ketika itu usiaku delapan belas tahun. Dunia remaja, di mana-mana saja, penuh keindahan dan pesona. Aku pun juga mekar layaknya mereka, menjadi gadis yang mulai mengenal lawan jenis. Wajahku yang kata orang cukup cantik, menarik beberapa laki-laki mendatangi untuk menyatakan hasrat cintanya.
Selang beberapa bulan, aku mulai tertarik dengan seorang laki-laki yang menurutku punya aura tersendiri, sebut saja Mark (bukan nama sebenarnya). Usianya baru sembilan belas tahun, atau setahun lebih tua dariku. Mark bekerja di perusahaan yang sama denganku, hanya berbeda divisi.
Kurasakan kuntum-kuntum cinta bermekaran dalam dada. Hari demi hari, rasa sesak memenuhi kalbu. Betapa bahagianya hatiku ketika ia dengan sikap kedewasannya dalam mengungkapkan rasa cinta. Dunia menjadi milik kami berdua. Semua serba indah, tidak ada lagi resah, galau, gelisah, yang ada hanyalah rindu terhadapnya. Hatiku semakin berbunga-bunga ketika tahu ternyata laki-laki yang menjadi kekasihku ini menjadi incaran banyak gadis. Sang arjunaku berbadan tegap, sikapnya tegas dan berwibawa.
Berlalunya waktu, tidak ingin rasa ini sia-sia, maka kami merencanakan pernikahan. Enam bulan berpacaran sudah cukup bagi kami untuk saling mengenal. Maka dibuatlah rencana, aku menghubungi keluarga di Jawa, sedangkan Mark juga menghubungi keluarganya yang masih satu kabupaten dengan perusahaan plywood. Respon keluarga Mark biasa saja, namun tidak dengan keluargaku, ayah dan ibu menentang hebat, apalagi setelah tahu bahwa Mark beragama Kristen.
Dengan bijaksana kujelaskan bahwa Mark bersedia masuk Islam sebelum menikah. Keluargaku tidak percaya begitu saja, mereka memintaku untuk membawa Mark pulang ke Jawa dulu sebelum menikah. Entah karena hati ini sudah terbutakan oleh cinta atau memang aku yang terlalu lugu, aku nekad melangsungkan pernikahan dengan Mark, dengan pernikahan yang disaksikan keluarga Mark. Dan ketika menikah, Mark telah menyatakan masuk Islam.
Pernikahan ini indah awalnya, aku merasakan hidup tenang di samping suami. Dua bulan setelah menikah, aku mengandung anak pertama. Namun, aku terkejut dengan perubahan suamiku, dua bulan setelah menikah, sikapnya terhadapku berubah drastis dengan sikapnya ketika masih pacaran dulu. Ia menjadi laki-laki keras dan suka menghardik. Demi bakti pada suami tercinta, aku mampu bersabar, anak dalam kandungan menjadi motivasi melangkah dalam kesabaran. Airmata meleleh, menikah tanpa dihadiri satu kerabat pun, setelah menikah hidup di lingkungan Kristen. Setiap hari, dengungan lagu-lagu kristiani menyesakkan dada. Meski aku bukan muslimah taat, tetapi tidak akan pernah mau dikristenkan.
Sembilan bulan sudah usia kandungan ini, suami sama sekali tidak peduli, justru kemarahan sering terlontar. Mata ini terasa panas ketika tahu, ternyata suami yang aku banggakan itu kembali dalam agama lamanya, dia kembali pada agama Kristennya setelah menikah denganku.
Detik-detik itupun datang, anak pertamaku lahir, dengan ditemani kakak ipar (kakak perempuan suami yang telah masuk Islam setelah menikah dengan pria Muslim). Sementara suamiku memperlihatkan sikap semakin acuh tak acuh. Didera rasa pedih aku terus berjuang semampunya membesarkan anakku. Hanya Allah tempatku mengadu, semua telah terjadi, aku hanya mampu menangis dalam penyesalan.
Allah menitipkan lagi amanah tuk kedua kalinya, aku mengandung lagi ketika anak pertama berusia sepuluh bulan. Seiring dengan itu, sikap suami kian acuh. Dari pembicaraan keluarga suami, aku mendengar bahwa anak pertamaku akan dibaptis dalam waktu dekat. Bagai disambar petir ketika itu, tapi bagaimanapun aku tidka akan pernah mengizinkan anakku tumbuh menjadi wanita Kristen. Saat usia kandungan kedua memasuki empat bulan, aku bertengkar hebat dengan suami, aku bersikeras, bayiku tidak akan ku izinkan di baptis. Entah apa yang terpikir dalam benak suami, rupanya komitmenku membuatnya marah besar, sebuah pukulan keras mendarat ditubuhku, aku terpental jatuh. Astaghfirullah.
Khawatir dengan bayi dalam gendongan juga dalam kandungan, aku memilih sebuah keputusan nekad. Aku akan pulang ke Jawa beberapa hari sebelum bayiku dibaptis di gereja. Awalnya suami melarang keras, dengan sikap lembutku merayu agar diizinkan. Akhirnya diizinkan dan berjanji akan menyusul ke Jawa setelahnya. Aku sedikit terhibur, diantar kakak ipar yang muallaf, dengan menggendong bayi, dalam keadaan mengandung empat bulan, aku mendatangi pelabuhan, memesan tiket kapal laut menuju Surabaya. Hancur tapi lega. Hancur, karena setelah merantau, aku pulang kembali pada orang tua dalam membawa biduk pernikahanku yang kandas. Lega, karena aku bisa lepas dari cengkeraman kristenisasi yang menghimpitku tiap hari.
Waktu berputar begitu cepat, anak keduaku lahir tanpa disaksikan sang ayah. Surat terus kukirimkan, tapi hanya sedikit saja balasan, kadang yang membalas seorang perempuan yang mengaku sebagai pacarnya. Kepedihan ini menindih batin, tetapi harapanku tidak pernah kandas. Aku berjualan makanan ringan untuk menyambung hidup di Jawa, numpang di rumah orangtua. Surat-surat itu terus ku tulis, meski jawaban tidak pernah kudapatkan.
Empat tahun kemudian, anakku harus sekolah, membutuhkan biaya besar. Anak pertama berusia empat tahun, yang kedua berusia tiga tahun. Saat itu aku berpikir, kembali pada suami tetapi dalam ancaman kristenisasi, atau bertahan di Jawa agar anak-anak akidahnya selamat? Tetapi, untuk ijazah SMA sepertiku, apa yang bisa kulakukan? Melamar kerja? Sangat susah, apalagi keadaan bangsa terus memburuk, kondisi ekonomi tidak berpihak pada rakyat kecil.
Akhirnya aku nekad melamar menjadi TKW dengan tujuan Hong Kong. Awal di PJTKI aku menangis tiap hari, teringat anak-anak yang kutitipkan pada orangtua. Waktu seakan berhenti berputar, lambat menjalani hari. Menunggu job yang tidak kunjung kuperoleh. Dengan rasa rapuh, terus ku pompa semangat, aku harus bangkit demi anak-anak.
Saat ini, aku telah delapan tahun menjadi TKW di Hong Kong, biarpun banyak orang mencibir sebagai tenaga kerja rendah dan tidak berstatus, asalkan anak-anakku tetap hidup dan akidahnya tetap Islam.
Alhamdulillah, di Hong Hong hidayah menyapaku. Aku pun telah berjilbab dan terus memperdalam Islam disela waktu kerja. Aku optimis melangkah membesarkan kedua anakku dalam akidah Islam. Sementara Mark, bekas suamiku, telah menikah lagi dengan wanita Kristen. Anak pertamaku telah berumur tujuh belas tahun, dan yang kedua berumur enam belas tahun. Aku bahagia menjadi single parent, inilah jalan yang Allah anugerahkan, aku memilih menjadi TKW demi akidah anak-anakku dari incaran kristenisasi. [seperti dituturkan pada Yulianna PS]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!