Sabtu, 3 Jumadil Awwal 1446 H / 28 Mei 2011 06:59 wib
9.864 views
Ustadz Ahmad Yani: Islam Tidak Kenal Eksklusivitas Kelompok
Jakarta (voa-islam) - Tak dipungkiri, problematika umat Islam dewasa ini, bahkan jauh sebelumnya, selalu berkutat pada sikap egoisme kelompok, fanatisme buta terhadap kelompoknya sendiri, dan merasa dirinya eksklusif. Akibat eksklusivitas kelompok inilah yang menyebabkan umat Islam terbelah, sehingga menjadi potensi untuk diadu domba oleh musuh Islam.
Dalam konteks kebangsaan dan kesukuan yang belum tentu sama keyakinannya, Islam mengajarkan untuk saling kenal-mengenal. Dalam Al Qur’an, bahkan disebutkan, Allah menciptakan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa untuk litaarrofu (saling mengenal). Dalam pandangan Allah, ternyata manusia yang paling mulia adalah yang paling taqwa.
Demikian bincang-bincang dengan Ketua Umum Khairu Ummah Ustadz Ahmad Yani yang dijumpai di sela-sela acara Seminar Nasional “Warning NII dan Radikalisme Beragama” di Jakarta, belum lama ini.
“Karena itu. Islam tidak mengenal eksklusivitas kelompok. Mulianya seseorang, bukan karena kulitnya putih, hitam, atau pun coklat, melainkan karena taqwanya,” kata Ustadz Yani, begitu ia akrab disapa.
Bicara eksistensi kelompok, sesungguhnya sudah ada sejak zaman Nabi saw, bahkan periode sebelumnya. Ada kelompok yang dilatarbelakangi oleh kedaerahan, ada orang Mekkah dan ada orang Madinah. Lalu orang Madinah berkelompok-kelompok lagi, ada suku Aus dan ada suku Hazrats. Sehingga tanpa menghilangkan identitas kelompoknya dan memotong akar sejarahnya, Rasulullah saw menyatukan mereka. Orang Mekkah disebut Muhajirin, sedangkan orang Madinah disebut Anshor.
Ketika sahabat hijrah ke Madinah, kaum muhajirin diterima baik dan mendapat perlakuan istimewa oleh kaum Anshor. Sejak itulah tidak boleh ada fanatisme kesukuan, kelompok, organisasi, termasuk pemikiran. Harus ada keterbukaan antar kelompok untuk saling komunikasi, menjalin kerjasama, dimulai dari pemikiran-pemikiran.
Ketika terjalin komunikasi, maka masing-masing kelompok seyogianya mencoba untuk saling memahami dan saling mengingatkan. Kuncinya, tidak emosional ketika menyikapi perbedaan-perbedaan yang ada. “Untuk itu, kelompok yang berbeda itu harus berangkat dari landasannya yang sama, dari akidah yang sama. Jika sudah terbentuk wihdatul akidah (kesatuan akidah), maka akan muncul wihdatul fikrah (kesatuan pemikiran).
Ustadz Yani memberi contoh, Nabi saw selalu bersikap lembut kepada semua pihak, termasuk suku Badui yang belum memahami Islam secara benar. Ketika ia melihat ada sebuah kekeliruan pada suatu kelompok, Nabi saw tidak bersikap emosional. Misalnya, saat orang Arab Badui memasuki masjid, lanjut buang air kecil di pekaranganya, Nabi tidak mengusirnya, tapi menasihatinya secara baik-baik. Itu yang membuat Islam menjadi mudah.
Saling Memahami
Ketika setiap kelompok umat Islam berpegang pada tali Allah yang berlandaskan wahyu, kemudian muncul penafsiran, maka masing-masing kelompok Islam itu harus menghormati penafsiran, selama yang ditafsirkan itu dijabarkan atas dasar kelimuan, bukan serampangan. Misalnya ada penafsiran kontekstual, ada tekstual. Diusahakan mencari titik temu saat menafsirkan suatu ayat.
Yang repot, orang hanya memahami secara harfiah, lalu mengkalim diri telah berpegang teguh pada wahyu. Ia merasa hanya dirinya sendiri yang bisa menafsrikan ayat. Ketika sudah mengklaim dirinya benar, lalu tidak mau mendengar pendapat kelompok lain. Itu namanya eksklusif. Ijtihad boleh saja berbeda, tapi tetap harus dibingkai dengan landasan Al Qur’an dan as-Sunnah.
“Suatu kelompok akan dilihat dari bagaimana sikap pemimpinnya. Mentang-mentang sudah mendaat gelar doktor, punya pengikut banyak, punya pendengar radio yang setia, tulisannya banyak dibaca orang, lalu cukup berjalan sendiri. Bukankah dalam Islam tidak boleh ada kesombongan, baik kesombongan intelektual maupun pemikiran, sehingga tidak mau mendengar pendapat orang lain,” ujarnya mengkritik.
Yang jelas, tidak ada dalil apapun yang membenarkan eksklusivitas kelompok. Kenapa tidak, seseorang dari kelompok NU berkhutbah di masjid Muhammadiyah, salafi atau sebaliknya. “Beda dikit, tetap harus dihormati. Sesungguhnya tidak ada yang rumit. Ini faktor kemauan saja,” tandasnya.
Menarik, apa yag dilakukan ulama terdahulu yang bersikap terbuka terhadap kemungkinan adanya pendapat lain. Ulama terdahulu, bahkan tidak gengsi untuk mencabut pendapatnya yang lama. Sebagaimana Imam Syafii pada sebuah istilah: qaul qadim dan qaul jadid (pendapatn lama dan pendapat baru. Tapi kadang kita tidak terbuka terhadap pemikiran dan penafsiran baru (bukan aliran baru) yang berkembang di zamannya.
Dalam jamaah, makna sami’na waato’na harus dimaknai taat kepada Allah dan Rasulnya. Tidak ada ketaatan dalam urusan maksiat. Karena itu, harus dipilah lagi, mana yang prinsip dan mana tidak prinsip. Jangan karena sempit memahaminya, segala sesuatu jadi prinsip. Firqah-firqah itu muncul bisa karena pemikiran dan konsep yang berbeda di setiap organisasi. Tapi siapapun kelompoknya, alirannya selama dia punya landasan Qur’an dan hadits, harus dihormati.
Menuju Jamaatul MUslimin
Dikatakan Ustadz Ahmad Yani, istilah jamaah adalah tidak berjalan sendiri-sendiri, tapi berkelompok, baik dalam skala kecil maupun besar. Persoalannya adalah, kaum muslimin saat ini, seperti dikatakan para ulama, tidak ada jama’atul muslimin, dalam satu pimpinan. Yang ada adalah Jamaah minal muslimin (jamaah dari kalangan kaum uslimin).
Jamaah kecil itu ada imamnya sendiri. Nah, semestinya jamaah yang kecil mempermudah terwujudnya jamatul muslimin, selama tidak ada fanatisme kelompok secara berlebihan. Segala sesuatunya harus disikapi positif, ada persoalan diselesaikan dengan baik. Jangan karena ada masalah, lalu terjadi perpecahan. Ketika pecah, lalu bikin jamaah baru, sudah kecil ada lagi pecahannya. “Yang repot, jamaah yang kecil itu mengklaim sebagai kelompok yang besar, hanya karena jamaahnya ada dimana-mana dan punya jaringan internasional.”
Juga bukan berarti, seseorang yang keluar dari kelompoknya karena alasan tertentu, bukan berarti keluar dari jamaah. Jika orang itu masuk ke kelompok lain, yang masih dari kalangan kaum muslimin, itu sah-sah saja. Kecuali ia masuk kelompok yang landasan akidahnya tidak benar, apalagi sampai murtad.
Setiap diri dari umat Islam, tentu harus punya cita-cita mendirikan jamaatul muslimin. Tapi yang jelas, tidak bisa dipikul sendiri, dan jangan mengklaim kelompoknya sebagai jamaatul muslimin. Sebab, sekarang tidak bisa klaim mengklaim, karena ujung-ujungnya bisa saling kafir mengkafirkan. Karena itu, jadikan organisasi atau jamaah itu sebagai alat perjuangan.
Kata Ahmad Yani, ibarat menebang pohon, dibutuhkan banyak alat, seperti gergaji mesin, gergaji tangan, golok, dan cangkul. Masing-masing alat ini jangan suka mengecilkan satu sama lain. Gergaji mesin jangan merasa sombong, dan mentang-mentang besar. Karena untuk memototong daun dan ranting, diperlukan golok. Begitu juga cangkul punya peran untuk mencabut akar pohon yang akan ditelah ditebang. Masing-masing alat harus bekerjsama. Tidak ada yang merasa eksklusif.
Antara NU, Muhammadiyah, Persis, Hizbut Tahrir, Tabligh, Salafi harus saling membutuhkan, saling menghormati, dan bekerjasama. Syarat untuk mewujudkan jamaatul muslim, sehingga tidak terjadi eklusifitas kelompok, adalah diawali dengan ukhuwah, dan dilandasi oleh kerangka iman yang benar. Ungkapan mukmin itu bersaudara, bukanlah sekedar slogan atau konsep semata, tapi harus disertai dengan pembuktian.
Jika sudah beriman, lalu ketika mau bersaudara, maka masing-masing kelompok harus menanggalkan egoisme, kesombongan, fanatisme, dan cara berpikir yang sempit. Ukhuwah itu ada tahapannya, setelah taaruf, lalu ada takaful, kemudian taawun. “Karena itu, kelompok NU, Muhammadiyah, HTI, Salafi, Tabligh harus saling mengenal karakter organisasi dan sepak terjangnya masing-masing. Karena kita tidak bisa berjuang sendiria, sebab itu harus saling memahami,” jelasnya.
Secara individual, para sahabat Nabi saw itu saling memahami. Ketika Khalifah Abu Bakar Shiddiq berpidato: jika saya betul ikuti saya, jika salah luruskan. Umar lalu mencabut pedang seraya berkata, jika salah akan kuluruskan dengan pedang ini. Emosionalkah Abu Bakar? “TIdak. Karena ia kenal dan memahami gaya dan karakter sahabatnya Umar. Begitulah seharusnya setiap kelompok Islam harus saling kenal dan memahami.”
Ada sebagian berpendapat, jika sahabat nabi saja terjadi konflik, bahkan peperangan, bagaimana dengan umat setelah sahabat nabi. Kata Ahmad Yani, sejarah jangan dilihat dari perangnya, tapi bagaimana penyelesaiannya.
“Jangankan antar sahabat, antar suami – istri saja bisa rebut. Kalau pun cerai, kan bukan berarti terputus ikatan sesama mukmin. Tapi, sayangnya, jika sudah cerai, seringkali seseorang tidak kelihatan lagi takwanya. Jadi, bercerai jangan melepaskan seorang dari ketaqwaan. Karena itu tunjukkan ketaqwaan, untuk tetap bertanggungjawab terhadap mantan istri dan anak-anaknya,” papar ustadz memberi perumpamaan. ● Desastian
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!