Sabtu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Maret 2016 14:35 wib
23.280 views
Bersabarlah Sampai Allah Memanggilmu Pulang
Oleh: Rohmat Saputra
HIDUP penuh dengan kata lawan. Disaat ada ketenangan, ada kalanya goncangan datang. Disaat ketentraman melimpah ruah, ada kalanya kegelisahan menghadang. Disaat merasa diri orang yang paling bahagia, ada kalanya merasa seperti orang yang paling sengsara.
Bila beranggapan bahwa hidup lebih tenang dan nyaman tanpa ujian, maka bagaimana orang terbaik dimuka bumi, yaitu para nabi, manusia pilihan dan mulia? Padahal ujian mereka berlipat-lipat dari manusia biasa.
Bila beranggapan bahwa hidup tanpa cobaan akan lancar-lancar saja, maka bagaimana kita mendapat pelajaran dan hikmah yang begitu besar? padahal itu semua dipungut dan dipetik dari musibah-musibah yang datang menerpa.
Dalam hal sabar, adalah sebuah cerminan hati seseorang. Semakin baik hatinya, otomatis sabarnya semakin menguat. Tidak ada istilah sabar ada batasnya, jika kualitas iman ditaraf meyakinkan. Sabar ada batasnya akan berlaku bagi manusia yang keimanannya masih jauh dibilang besar.
Nabi Nuh mendakwahi kaumnya selama 950 tahun. Ibrahim hendak dibakar oleh kaumnya. Luth dikhianati istrinya. Dan kaumnya pun berbuat serong. Ayyub diberi penyakit aneh, hingga kerabat, bahkan istrinyapun enggan mengurusnya. Zakariya dibunuh oleh kaumnya sendiri. Nabi isa dikejar-kejar hendak dibunuh oleh kaumnya. Nabi muhammad tertusuk panah dipipinya saat perang uhud. Begitu juga saat beliau berdakwah dihina tukang dukun dan orang gila. Serta ajaran Islam dianggap dongeng belaka.
Deretan ujian para nabi menguatkan iman mereka. Kenapa para nabi bisa bertahan? Karena iman mereka yang luas tak bertepi, dalam tak mendasar. Contoh apa lagi yang lebih baik dari pada orang yang selalu bersabar dalam hidup hingga akhir hayatnya?
Kata sabar memang sangat mudah terucap. Menasehati orang sangat gampang. Saat ada tetangga yang salah satu keluarganya meninggal, mudah sekali menasehati untuk bersabar. Namun tatkala diri pribadi mengalami sebagaimana tetangganya, barulah akan merasakan, apakah ucapannya lurus sebagaimana perilakunya saat ditimpa musibah?
Itu mudahnya sabar yang yang terucap pada mulut. Lebih susah dan berat saat diaplikasikan. Karena memang bukan hanya mengerahkan fisik, tapi juga kerelaan batin. Tidak berdarah, tapi menyakitkan. Lebih sakit dari tersayat pisau.
Maka wajar saja Allah menghadiahkan pahala besar bagi yang bersabar. Bahkan, pahala tergantung dari besar tidaknya sebuah ujian.
Dari Mush’ab bin Sa’id -seorang tabi’in- dari ayahnya, ia berkata,“Wahai Rasulullah, manusia manakah yang paling berat ujiannya?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallammenjawab,
“Para Nabi, kemudian yang semisalnya dan semisalnya lagi. Seseorang akan diuji sesuai dengan kondisi agamanya. Apabila agamanya begitu kuat (kokoh), maka semakin berat pula ujiannya. Apabila agamanya lemah, maka ia akan diuji sesuai dengan kualitas agamanya. Seorang hamba senantiasa akan mendapatkan cobaan hingga dia berjalan di muka bumi dalam keadaan bersih dari dosa.” [HR. Tirmidzi no. 2398, Ibnu Majah no. 4024, Ad Darimi no. 2783, Ahmad (1/185)].
Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib no. 3402 mengatakan bahwa hadits ini shahih.
Tidak hanya itu, Allah memberi ganjaran pahala tanpa batas.“Sesungguhnya orang-orang yang bersabar, ganjaran bagi mereka adalah tanpa hisab (tak terhingga).” (QS. Az Zumar: 10).
Tanda saat orang tertimpa musibah, dan ia mampu bersabar, adalah tidak keluar dari mulutnya keluh kesah, mengaduh, meratap, apalagi berteriak-teriak. Apa yang tergambar pada fisiknya, akan mencerminkan yang ada didalam hati.
Ibnu Qayyim berkata:
“Sabar adalah menahan diri dari menggerutu, menahan lisan dari mengeluh, dan menahan anggota badan dari menampar pipi, merobek-robek baju dan perbuatan tidak sabar selain keduanya.” Iddatush Shobirin." (Ibnu Qayyim Al Jauziyah, hal. 7, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, Beirut).
Teladan Urwah bin Zubair
Mari perhatikan, seorang manusia yang telah memiliki luasnya iman. Meski ia hidup jauh dari zaman nabi terakhir, tapi kesabarannya seolah tanpa batas.Adalah Urwah bin Zubair, salah seorang tabi’in yang diberi ujian bertumpuk-tumpuk. Masa itu ia hidup dipemerintahan Al-Walid bin Abdul Malik (khalifah keenam dari khalifah-khalifah Bani Umayyah, dan pada zamannya kekuasaan Islam pada puncak-puncaknya).
Saat itu kaki Urwah terkena tumor. Penyakit yang mampu menggerogoti tubuh dari dalam. Agar tidak menjalar pada tubuh yang lain, maka Kaki Urwah harus diamputasi. Dokter menyarankan meminum alhokol supaya nanti saat dimputasi tidak merasakan sakit.
Lantas urwah berkata, “Itu tidak mungkin.! Aku tidak akan menggunakan sesuatu yang haram terhadap kesembuhan yang aku harapkan”.
Sang dokter berkata, “kalau begitu aku akan membius Anda”.
Urwah berkata lagi, “Aku tidak ingin kalau ada satu dari anggota badanku yang diambil sedangkan aku tidak merasakan sakitnya. Aku hanya berharap pahala disisi Allah atas hal ini.”
Urwah hanya ingin satu permintaan saja. yaitu sholat saat kakinya diamputasi. Lantas kaki Urwah diamputasi tengah shalat berlangsung. Begitu khusyu’ shalatnya Urwah, sampai-sampai ia tidak merasakan apa-apa saat kakinya diamputasi.
Subhanallah. Tingkat kekhusyu’an seperti apa yang dimiliki seorang tabi’in ini hingga tak merasakan sedikitpun rasa sakit?
Sebelumnya Urwah sedang dirudung duka. Anaknya yang bernama muhammad meninggal. Berawal dari sang anak pertama itu hendak bermain bersama kudanya, tak disangka hewan itu menendangnya. Saat itu juga anaknya meninggal.
Al-Walid bin Abdul Malik menghibur Urwah atas musibah yang bertubi-tubi menimpanya. Urwah telah kehilangan anak, dan setelah itu, ia kehilangan kakinya.
Setelah kejadian itu, Urwah bertemu seorang buta dari bani ‘Abs. Orang buta itu bercerita, dahulu ia tidak buta dan memiliki banyak harta serta keluarga. Tidak ada yang lebih banyak harta dan keluarganya kecuali orang buta tersebut. Suatu ketika orang dari bani ‘Abs ini singgah disebuah lembah tempat tinggal kaumnya. Ditengah malam, tiba-tiba terjadi banjir besar. datangnya banjir itu menghanyutkan apa yang dia punya. Dari keluarga, harta dan tempat tinggalnya hilang.
Tidak ada yang tersisa kecuali seekor unta dan bayi yang tak jauh dari hewan itu. Saat dia hendak mendekati unta itu, ternyata ia takut dan menjauhi laki-laki tersebut. Ia mengejar hewan itu, hingga meninggalkan bayi yang ada didekatnya tadi. Namun terdengar teriakan dari sang bayi. Saat dilihat, ternyata kepala sang bayi sudah berada dimulut serigala. Hatinya begitu teriris melihat pemandangan itu. Ia sudah tidak bisa menolong bayi itu.
Lantas Ia mendekati unta yang dari tadi dikejarnya. Jarak antara dirinya dengan unta tersebut sudah dekat. Tapi anehnya hewan tersebut tiba-tiba memberontak lantas menendang kepala orang itu hingga buta, dan pelipisnya robek. Akhirnya orang itu sudah lengkap kehilangan. Kehilangan keluarga, harta dan matanya pada satu malam saja.
Demikianlah kisah yang penuh dengan kesabaran. Luasnya sabar menunjukkan besarnya iman. Iman bukan tumbuh dari banyaknya musibah yang menimpa. Musibah hanya sebagai penguat mental dan membentuk baja reaktif dalam hati. Tapi iman tumbuh dari seberapa taat dan patuh dalam menunaikan perintah Allah dan Nabinya.
Kemudian yakin dengan haqqul yakin, terhadap semua perkara keimanan, tanpa sedikitpun bercampur dengan keraguan. Disaat ujian datang bagi orang beriman, ujian merupakan bentuk lain dari kasih sayang Allah kepada hambanya. Lalu, sampai kapan terus bersabar? Sampai Allah bilang, “Tugasmu didunia sudah selesai, maka pulanglah!”.Wallahu a’lam bish shawab.*
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!