Sabtu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 26 Februari 2011 13:00 wib
34.481 views
Menuduh Raden Patah Sumber Musibah, Permadi Seperti Fir'aun
Oleh: Badrul Tamam
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.
Komentar paranormal Permadi pada tayangan “Silet” di RCTI episode 7 November 2010, yang kental sentimen SARA terhadap Islam membuat panas telinga umat Islam sampai sekarang. Buktinya masih ada beberapa elemen umat yang meminta agar kasus tersebut dilaporkan kepada pihak berwajib. (Lihat: Tayangan Sentimen Sudutkan Islam, Polisi Harus Pidanakan 'Silet RCTI').
Dalam tayangan “Silet” episode 7 November 2010, Permadi menyebut letusan Gunung Merapi akibat dari dosa besar Raja Demak, Raden Patah. Di antara dosa besar itu, kata Permadi, adalah kedurhakaan Raden Patah memaksa ayahnya yang bernama Brawijaya V untuk pindah agama, juga kedurhakaan kepada negara dan kedurhakaan kepada agama.
“Pernyataan paranormal itu tentu mengandung unsur sentimen SARA. Raden Patah dan para wali beragama Islam, sementara Prabu Brawijaya V beragama Hindu. Raden Patah sebagai simbol kerajaan Islam seolah diposisikan sebagai pihak yang merusak, membawa bencana. Jelas, ini menyesatkan,” kata Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Slamet Effendy Yusuf, Ahad (20/2/2011)
Dampak dari penayangan program infotainment tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menerima 1.128 aduan dari masyarakat. Dan setelah dikaji, KPI menilai program infotainment “Silet” tersebut menyesatkan, mengandung unsur berita bohong dan meresahkan masyarakat.
Kesamaan Komentar Permadi Dengan Komentar Fir’aun
Komentar Permadi yang menuduh Raja Demak, Raden Patah yang mendakwahi orang tuanya agar masuk Islam sebagai sumber kesialan dan bencana erupsi Merapi tidak jauh berbeda dengan perkataan Fir’aun dan kaumnya. Allah menjelaskan, bahwa apabila datang kepada mereka kemakmuran dan rizki melimpah, mereka berkata: "Ini adalah karena (usaha) kami," (QS. Al-a’raf: 131). Mereka merasa bahwa semua kebaikan itu menjadi hak mereka, sehingga mereka tidak harus bersyukur kepada Allah.
Namun jika mereka ditimpa keburukan seperti paceklik dan gagal panen ataupun tertimpa musibah maka mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan orang-orang yang bersamanya. Mereka beranggapan bahwa semua keburukan tersebut disebabkan kedatangan Musa dan kaum Bani Israil yang mengikutinya dengan ajaran Islam yang turun dari langit. Lalu Allah membantahnya,
أَلَا إِنَّمَا طَائِرُهُمْ عِنْدَ اللَّهِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
“Ketahuilah, sesungguhnya kesialan mereka itu adalah ketetapan dari Allah, akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” (QS. Al-A’raf: 131)
Maksudnya bahwa semua itu terjadi dengan qadha dan qadar Allah Ta’ala. Allah-lah yang mentakdirkan dan menentukan semua itu. Bukan dikarenakan Musa dan pengikutnya, seperti yang mereka katakan. Karena hakikat kehadiran Musa dan pengikutnya yang beriman dan menyeru Fir’an dan kaumnya untuk beriman kepada Allah menjadi sebab datangnya keberkahan dan kebaikan. Sementara dosa dan kekufuran merekalah yang menjadi sebab semua keburukan itu. Tetapi mereka jahil dan tidak mengetahuinya, sehingga mereka mengatakan apa yang telah mereka katakan.
Sikap ngawur, mencari kambing hitam dan menyalah-nyalahkan wali Allah juga pernah ditunjukkan oleh penduduk negeri yang didatangi para rasul. Mereka melemparkan sebab nasib malang dan keburukan kepada para rasul tersebut yang datang mengajak beriman. Bahkan mereka mengancam agar dakwah dihentikan, “Sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami.” (QS. Yaasin: 18)
Kemudian para rasul membantah dakwaan mereka,
قَالُوا طَائِرُكُمْ مَعَكُمْ أَئِنْ ذُكِّرْتُمْ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ
“Para utusan itu berkata: "Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu mengancam kami)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas".” (QS. Yaasin: 19)
Bahwa kesialan, musibah dan keburukan yang menimpa penduduk yang ingkar tadi adalah berasal dari (disebabkan) diri dan perbuatan mereka sendiri. Yaitu kesyirikan dan sikap ingkar mereka terhadap kebenaran yang dibawa para rasul tersebut. Jika mereka diajak beriman dan bertakwa mereka malah menentang, menjauh, dan menyombongkan diri.
Sementara nasihat dan ajakan yang disampaikan para rasul tersebut membawa kebaikan dan kemashlahatan bagi mereka, jika mereka menyambut dan menerimanya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)
Sungguh ini merupakan keanehan yang luar biasa, kedatangan pada da’i (penyeru ke jalan Allah) untuk menyebarkan nikmat Allah dan memuliakan mereka dianggap sebagai biang keladi keburukan dan musibah. Padahal penolakan dan kesombongan mereka itulah yang menyebabkan musibah itu datang. Sebenarnya, jika dakwah Islam diterima maka akan membawa banyak keberkahan dan kebaikan, baik yang bersifat umum maupun khusus bagi person yang menyambutnya.
Sungguh ini merupakan keanehan yang luar biasa, kedatangan pada da’i (penyeru ke jalan Allah) untuk menyebarkan nikmat Allah dan memuliakan mereka dianggap sebagai biang keladi keburukan dan musibah.
Raja Demak Membawa Keberkahan dan Kebaikan
Dakwah Raden Patah, raja Demak, kepada orangtuanya merupakan sikap yang sementinya dilakukan seorang anak yang sayang kepada orang tuanya, seperti sikap Nabi Ibrahim kepada bapaknya. “Ingatlah ketika ia (Ibrahim) berkata kepada bapaknya: "Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikit pun?. Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus. Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan".” (QS. Maryam: 42-45)
Karena seorang muslim pasti meyakini bahwa surga hanya bisa dimasuki oleh jiwa yang muslim. Dan meninggal di luar Islam akan menyebabkan kekal di neraka.
Allah Ta’ala berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir baik harta mereka maupun anak-anak mereka, sekali-kali tidak dapat menolak adzab Allah dari mereka sedikit pun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS. Ali Imran: 116) dan ayat semakna dengan ini sangat banyak.
Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ إِلَّا نَفْسٌ مُسْلِمَةٌ
“Sesungguhnya tidak akan masuk surge kecuali jiwa yang beragama Islam.” (Muttafaq ‘Alaih)
Ini merupakan nash yang sangat jelas, bahwa orang yang mati di atas kekafiran tidak akan pernah sama sekali masuk surga. Dan nash ini berlaku atas keumumannya berdasarkan kesepakatan kaum muslimin (Lihat syarah Muslim li al-Nawawi, no. 326)
Sedangkan dakwah Islam yang diserukan akan membawa kebaikan bagi masyarakat, jika mereka menerima dan mengamalkannya. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
“Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf: 96)
Satu contoh yang sangat jelas telah disampaikan oleh Nabi Nuh kepada kaumnya, “Maka aku (Nuh) katakan kepada mereka: "Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?” (QS. Nuh: 10-13)
Pada ringkasnya, bahwa dakwah Islam apabila diterima akan membawa keberkahan dan kemakmuran. Sebaliknya, jika diingkari dan didustakan maka yang akan terjadi adalah keburukan dan musibah. Maka keburukan dan musibah tersebut bukan karena dakwah, tapi karena kemaksiatan kepada Allah dan keingkaran terhadap ajaran-ajaran-Nya.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan apa musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Al-Syuura: 30)
‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu mengatakan,
مَا نُزِّلَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِذَنْبٍ وَلاَ رُفِعَ بَلاَءٌ إِلاَّ بِتَوْبَةٍ
“Tidaklah musibah tersebut turun melainkan karena dosa. Oleh karena itu, tidaklah bisa musibah tersebut hilang melainkan dengan taubat.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Di antara akibat dari berbuat dosa adalah menghilangkan nikmat dan akibat dosa adalah mendatangkan bencana (musibah). Oleh karena itu, hilangnya suatu nikmat dari seorang hamba adalah karena dosa. Begitu pula datangnya berbagai musibah juga disebabkan oleh dosa.” (Al Jawabul Kaafi, hal. 87)
Ibnu Rojab Al Hambali rahimahullah mengatakan, “Tidaklah disandarkan suatu kejelekan (kerusakan) melainkan pada dosa karena semua musibah, itu semua disebabkan karena dosa.” (Latha’if Ma’arif, hal. 75)
. . . dakwah Islam apabila diterima akan membawa keberkahan dan kemakmuran. Sebaliknya, jika diingkari dan didustakan maka yang akan terjadi adalah keburukan dan musibah.
Sesungguhnya sikap jujur mengakui banyaknya penyimpangan dari syariat Allah di negeri ini adalah yang terbaik. Sehingga tumbuh keinginan bertaubat dan memperbaiki diri. Karena dengan taubat seberapa besar dosa akan bisa dimaafkan, dan bencana akan bisa dihindarkan. Karena itu Allah perintahkan setelah menasihatkan agar jangan berputus asa dari rahmat-Nya,
وَأَنِيبُوا إِلَى رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ () وَاتَّبِعُوا أَحْسَنَ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ مِنْ رَبِّكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ بَغْتَةً وَأَنْتُمْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang adzab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi). Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang adzab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya.” (QS. Al-Zumar: 54-55)
. . . sikap jujur mengakui banyaknya penyimpangan dari syariat Allah di negeri ini adalah yang terbaik. Sehingga tumbuh keinginan bertaubat dan memperbaiki diri.
Penutup
Tuduhan paranormal Permadi bahwa Raja Demak, Raden Patah merupakan penyebab terjadinya musibah letusan Gunung Merapi, karena telah mendakwahi ayahnya untuk masuk Islam, adalah tuduhan yang tidak berdasar. “Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’am: 116)
Tuduhan yang dilontarkan itu tidaklah berbeda subtansi dengan tuduhan Fir’aun kepada Musa dan tuduhan kaum yang ingkar kepada para rasul yang diutus kepada mereka. Hal itu muncul karena kurangnya iman kepada takdir Allah dan kejahilan akan sebab-sebab yang mengundang musibah, yaitu kemaksiatan, kekufuran dan kesyirikan.
Sesungguhnya Al-Qur’an sudah benyak menerangkan tentang kaum-kaum yang dibinasakan karena dosa-dosa dan keingkaran mereka, sedangkan mereka masih juga menyombongkan diri. Maka marilah menjadi manusia yang cerdas, sehingga bisa mengabil pelajaran dari kejadian-kejadian yang telah berlalu. Secepatnya kita kembali kepada Al-Qur’an dan menjadikannya sebagai imam dan tuntunan. Jangan lagi Al-Qur’an di taruh di belakang punggung dan mengambil ajaran-ajaran yang keburukannya lebih banyak daripada kebaikannya. Hadanallah wa iyyakum ajma’in!! (PurWD/voa-islam.com)
Tulisan Terkait:
1. Pelajaran dari Gempa Sumbar: 'Surau dah Runtuh'
2. Nasehat Ulama Dalam Menghadapi Musibah
3. Nikmat dan Musibah Terbesar Menurut Islam
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!