Rabu, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 10 Maret 2010 16:25 wib
22.826 views
Nabi Pun Tak Kuasa Memberi Hidayah
Oleh: Badrul Tamam
Nabi Muhammad adalah seorang manusia seperti yang lainnya. Ia butuh makan, minum, istirahat dan kebutuhan manusiawi lainnya. Hanya saja ia dipilih oleh Allah menjadi utusannya, diberikan wahyu untuk disampaikan kepada umat manusia.
Allah Ta'ala berfirman:
قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ أَنَّمَا إِلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ فَلْيَعْمَلْ عَمَلًا صَالِحًا وَلَا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا
"Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya." (QS. Al Kahfi: 110)
Syaikh As-sa'di menafsirkan ayat di atas sebagai berikut: "Katakanlah hai Muhammad kepada orang-orang kafir dan yang lainnya, bahwasanya aku manusia seperti kalian, aku bukan Tuhan. Aku tidak menjadi sekutu bagi Allah dalam kekuasaanya. Aku tidak mengetahui hal-hal yang ghaib dan tidak pula memiliki perbendaharaan Allah. Tetapi, aku adalah salah satu dari hamba Tuhanku. Aku dilebihkan daripada kamu sekalian dengan wahyu yang Allah turunkan kepadaku, agar aku menyampaikan kepada kalian bahwa Tuhanmu adalah Tuhan yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya, dan aku menyeru kalian kepada amal yang mendekatkan kepada-Nya agar kalian meraih pahala-Nya dan menyelamatkan kalian dari adzab-Nya." (Taisirul Karimir Rahman, Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As Sa'di, 489).
Hidayah adalah Hak Ilahi
Firman Allah Ta'ala:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al Qashash: 56)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata: "Allah berfirman kepada Rasul-Nya shallallahu 'alaihi wasallam, 'sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan hidayah kepada orang yang engkau cintai.' Maksudnya: itu bukan urusanmu. Tetapi, kewajibanmu hanya menyampaikan dan Allah akan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dia yang memiliki hikmah yang mendalam dan argumentasi yang kuat, sebagaimana firman Allah: "Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya." (QS. Al Baqarah: 272)
Dan juga firman-Nya: "Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman - walaupun kamu sangat menginginkannya-." (QS. Yuusuf: 103) Bahkan ayat ini lebih khusus daripada ayat yang lainnya. Maksudnya, Allah lah yang paling mengetahui orang yang berhak mendapat hidayah dari orang-orang yang tersesat. (Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, III/ 523).
Ayat ini sebagai bantahan terhadap para penyembah kuburan para Nabi dan shalihin yang mempercayai bahwa mereka mampu memberikan manfaat dan menimpakan madharat. Sehingga mereka diminta untuk memberikan ampunan dosa, menghilangkan kesusahan, memberikan petunjuk hati dan kepentingan duniawi dan ukhrawi lainnya. Dan meyakini bahwa mereka masih bisa melakukan sesuatu setelah meninggal dunia dengan karamah yang dimilikinya. Mereka beralasan dengan firman Allah "Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka." (QS. Az Zumar: 35)
Apabila seseorang mengerti maksud QS. Al Qashash: 56 dan kepada siapa diturunkan, akan jelas kebatilan dan kesesatan syirik mereka. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sebagai mahluk yang paling mulia, paling dekat dengan Allah dan memiliki kedudukan yang istimewa di sisi-nya, berharap dan berusaha keras agar pamannya Abu Thalib mendapatkan hidayah, baik ketika Abu Thalib masih hidup atau ketika menjelang wafatnya. Akan tetapi, beliau gagal dan tidak mampu memberikan hidayah kepadanya. Kemudian setelah dia wafat, beliau memintakan ampun untuknya tapi tidak dikabulkan sehingga Allah melarang hal itu.
Dari kisah ini ada keterangan yang amat jelas dan argumen yang terang bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tidak memiliki kemampuan untuk menimpakan madharat dan mendatangkan manfaat, tidak bisa memberikan hidayah dan menghalanginya. Urusan hidayah, seluruhnya ada di tangan Allah. Ia memberi petunjuk dan menyesatkan kepada siapa yang dikehendaki-Nya, menyiksa dan merahmati siapa yang dikehendaki-Nya, menghilangkan dan menimpakan musibah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, Dia lah yang Maha Pengampun dan Penyayang.
Kalau Nabi memiliki kuasa untuk memberikan hidayah, mengampuni dosa dan menghilangkan kesusahan, pastilah, Abu Thalib adalah orang yang paling berhak akan hal itu karena jasanya tehadap pengasuhan beliau, sewaktu masih berumur delapan tahun sampai sekitar tahun kedelapan dari kenabian. (Taisirul 'Azizil Hamid, hal. 298-299)
Macam-macam hidayah
Hidayah yang dinyatakan Nabi tidak dapat memberikannya adalah hidayah taufik dan menerima kebenaran. Karena hidayah ini ada di tangan Allah dan Dia-lah yang berkuasa atas hal itu. Adapun hidayah yang disebutkan dalam firman Allah Ta'ala:
"Dan sesungguhnya kamu benar- benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus." (QS. Asy Syura: 52) adalah hidayah petunjuk dan keterangan, karena beliau adalah yang manjelaskan apa yang berasal dari Allah dan menunjukkan kepada agama dan syariat-Nya. (Fathul Majid, hal. 283)
Hidayah taufiq adalah hak Allah Ta'ala
Hidayah masuk Islam hanyalah di tangan Allah saja, tiada seorang pun yang dapat menjadikan seseorang menempuh jalan kebenaran ini kecuali dengan kehendak-Nya. Maka hidayah hanya dimintakan kepada-Nya.
Diriwayatkan dalam Shahih Al Bukhari, dari Ibnul Musayyab, bahwa bapaknya berkata: "Tatkala Abu Thalib akan meninggal dunia, datanglah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kepadanya dan pada saat itu 'Abdullah bin Abu Umayyah dan Abu jahal berada di sisinya, maka beliau bersabda kepadanya:
يا عم قل لاإله إلا الله كلمة أحاج لك بها عند الله
"Wahai pamanku! Ucapkanlah La Ilaha Illallah, suatu kalimat yang dapat aku jadikan bukti untuk (membela)-mu di hadapan Allah." Tetapi disambut oleh Abu Umayyah dan Abu jahal: "Apakah kamu membenci agama Abdul Muthalib?" Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengulangi sabdanya lagi, akan tetapi mereka berdua pun mengulang kata-katanya itu. Maka akhir kata yang diucapkannya, bahwa dia masih tetap pada agama Abdul Muthalib dan enggan mengucapkan La ilaha Illallah. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh aku akan memintakan ampunan untukmu selama aku tidak dilarang." Lalu Allah 'Azza wa Jalla menurunkan firman-Nya:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
"Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)." (QS. At Taubah: 113)
Dan mengenai Abu Thalib, Allah menurunkan firman-nya:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
"Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk." (QS. Al Qashash: 56)
Sebaliknya, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak berhak menghukumi seseorang, bahwa dia pasti tidak akan mendapatkan hidayah kecuali berdasarkan wahyu Allah Ta'ala.
Diriwayatkan dari sahabat Anas bin Malik rahimahullah, ia berkata: "Nabi pernah terluka pada waktu perang uhud, sehingga dua giginya tanggal. Lalu beliau bersabda: 'Bagaiman bisa akan beruntung suatu kaum yang melukai Nabinya?' Lalu turunlah ayat:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ
"Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu." (QS. Ali Imran: 128).
Dan dalam riwayat yang lain beliau mendoakan keburukan kepada Sufwan bin Umayyah, Suhail bin Amru dan Harits bin Hisyam." (HR. Imam Bukhari, Nasai, Ahmad dan Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa orang-orang musyrik yang ikut dalam perang Uhud tidak akan masuk Islam karena kebodohan dan pembangkangan mereka terhadap beliau yang sudah melewati batas, bahkan beliau melaknat beberapa anggota mereka.
Kemudian Allah yang Maha Mengetahui dan Penguasa segala-galanya yang memiliki hak mencipta, memerintah dan memutuskan segala urusan di dunia dan akhirat menyatakan bahwa kekuasaan hanya milik-Nya, memberikan hidayah dan menyesatan ada di tangan-Nya, apa yang Dia berikan tiada yang bisa menghalangi dan apa yang ia tahan tiada yang dapat memberikannya. Kemudian Allah memberikan hidayah kepada mereka, sehingga mereka masuk Islam dan menjadi pasukan Islam pilihan dan melalui mereka Allah menaklukkan dunia ini dan memberi petunjuk kepada umat manusia.
Apakah bagi orang yang berakal akan meyakini bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan yang lainnya mengetahui perkara ghaib di dunia ini? Dan Apakah orang yang berakal akan meminta pertolongan dan keselamatan kepada selain Allah? Dan meminta dihilangkan kesulitan-kesulitannya kepada selain-Nya. (Mudzakaratul Hadits An Nabawi, Syaikh Rabi' bin Hadi AlMadkhali, hal. 26)
Hal ini merupakan bukti kewajiban bertauhid kepada Allah. Karena apabila Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai mahluk termulia dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah, tidak dapat memberi hidayah bagi siapa yang beliau inginkan. Maka, tiada sembahan yang haq kecuali Allah, yang memberi hidayah bagi siapa saja yang Dia kehendaki. (Kitab al-Tauhid (tarjamah), Syaikh Muhammad At Tamimi, hal. 102). [PurWD/voa-islam.com]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!