Sabtu, 20 Syawwal 1446 H / 6 November 2010 14:21 wib
4.338 views
Situs Yahudi Afsel Perangi Gelar "Israel Rezim Apartheid"

NEW YORK – Jajaran Dewan Deputi Yahudi Afrika Selatan baru-baru ini mendirikan proyek di internet melalui www.letstalkisrael.com, sebuah situs yang bertujuan untuk menghapus klaim yang menyebut Israel sebagai rezim apartheid.
Dalam sesi brifing Yahudi Afrika Selatan di kantor Kongres Yahudi Dunia di New York, direktur nasional Dewan Deputi Yahudi Afrika Selatan Wendy Kahn menggarisbawahi pentingnya proyek www.letstalkisrael.com. Ia menyebut analogi apartheid Israel sebagai sebuah hal yang keliru, khususnya bagi orang-orang yang menyaksikan sendiri apartheid.
"Bagi kami, mendengar perkataan Israel dalam kerangka apartheid kami amat mengganggu," kata Kahn. Ia menambahkan bahwa dirinya sendiri ingat pernah bersekolah di sekolah yang dipisah-pisah saat masih kecil. "Bagi kami di Afrika Selatan, (perbandingan) ini jauh lebih mengesalkan."
Situs tersebut, beserta buku elektronik dan presentasi video yang menyertainya, menyoroti mengenai masyarakat multibudaya dan demokratis di Israel dan secara sistematis menguraikan mengenai yang dituduhkan terhadap Israel dan kenyataan dari hukum apartheid Afrika Selatan.
"Ini bukan analogi yang berguna," kata Kahn. Ia menambahkan bahwa situs itu tidak hanya ditujukan kepada rakyat Afrika Selatan, namun di seluruh dunia.
Kahn menyebut komunitas Yahudi Afrika Selatan saat ini, yang diperkirakan berjumlah sekitar 70.000 orang, sebagai orang-orang yang "amat-amat terhubung dengan Israel, dan amat, amat terlibat dalam komunitas kami."
"Kami tidak pernah menyembunyikan Zionisme kami," kata Kahn. "Kami merasa amat bangga terhadap Zionisme kami."
Menurut Kahn, 71 persen Yahudi Afrika Selatan yang tinggal di Johannesburg, yang 22 persennya ada di Cape Town sementara sisanya tersebar dalam komunitas-komunitas yang lebih kecil. Lebih dari 80 persen Yahudi Afrika Selatan bersekolah di sekolah Yahudi, dan enam dari sepuluh Yahudi Afrika Selatan mengunjungi Israel dalam sepuluh tahun terakhir, kata Kahn.
Lima puluh empat persen Yahudi Afrika Selatan mengaku memiliki rasa keterikatan yang kuat terhadap Israel, sementara 33 persennya mengklaim memiliki keterikatan sedang terhadap Israel. Hanya satu persen yang mengaku berpandangan negatif terhadap Israel.
Kahn mengatakan, kelompok hak-hak sipil Yahudi diakomodasi di Afrika Selatan. Menurutnya, laporan kejadian anti-Semit, yang memuncak pada saat pembantaian Gaza pada akhir 2008 dan awal 2009, tidak berjumlah banyak.
Namun, menurut situs berita Israel, Jpost, akhir-akhir ini, garis pembatas antara anti-Zionisme dan anti-Semitisme semakin kabur.
Afrika Selatan dan Israel memiliki hubungan yang kuat. Meski awal tahun ini sempat diwarnai penarikan sementara Ismail Coovadia, duta besar Afrika Selatan untuk Israel, setelah pembantaian Freedom Flotilla menuju Gaza, 31 Mei lalu.
Kahn menyatakan, Afrika Selatan adalah satu-satunya negara selain Turki yang menarik keluar duta besarnya saat terjadi peristiwa itu.
Kahn mencontohkan ketegangan antara University of Johannesburg dan Universitas Ben-Gurion terkait kerja sama pemurnian air, seruan pemboikotan produk-produk Ahava dan advokasi Uskup Agung Desmond Tutu terhadap pemboikotan Opera Cape Town terhadap Israel sebagai contoh-contoh tindakan anti-Israel di Afrika Selatan.
Meski diwarnai kejadian-kejadian itu, Kahn mengaku tetap optimis mengenai masa depan Yahudi Afrika Selatan dan hubungan antara Afrika Selatan dan Israel.
Tapi, sejatinya Israel punya peranan dalam apartheid. Hubungan antara Israel dan apartheid dilakukan melalui kesepakatan-kesepakatan rahasia dan penyembunyian informasi yang dilakukan dengan kedok kesepakatan pertambangan.
Namun, Israel selalu langsung membantah memiliki hubungan militer dengan pemerintahan apartheid Afrika Selatan dan menyebutnya tidak lebih dari kepentingan untuk bertahan dan membantah ada kedekatan ideologis.
Tapi, seperti yang dituliskan dalam buku Sasha Polakow Suransky yang bertajuk The Unspoken Alliance, hubungan tersebut bukan hubungan biasa.
Selama bertahun-tahun setelah "menciptakan diri", Israel mengkritik apartheid dan tampaknya berusaha membangun aliansi dengan negara-negara Afrika yang baru merdeka pada 1960-an.
Tapi, setelah perang Yom Kippur tahun 1973, negara-negara Afrika memandang Israel sebagai kekuatan penjajah. Pemerintah Israel berusaha mencari sekutu-sekutu baru dan menemukan satu di Pretoria. Untuk permulaan, Afrika Selatan sudah menyediakan "kue kuning" yang penting untuk membuat senjata nuklir.
Pada 1976, hubungan itu semakin jauh. Begitu dalamnya, perdana menteri Afrika Selatan kala itu, John Vorster, tidak hanya berkunjung ke Israel, namun juga menemani dua pemimpin terpenting Israel, Yitzhak Rabin dan Shimon Peres, ke monumen Holocaust di Yerusalem terjajah.
Tapi, para pemimpin Israel sama sekali tidak terlihat terusik dengan fakta bahwa Vorster merupakan pendukung Hitler dan simpatisan Nazi.
Rabin memuji Vorster sebagai pembawa perdamaian dan dalam sebuah acara jamuan bersulang dan berkata, "Idealisme yang sama-sama dimiliki Israel dan Afrika Sekatab: Harapan untuk keadilan dan hidup berdampungan secara damai."
Beberapa bulan kemudian, buku tahunan pemerintah Afrika Selatan menyebut Afsel dan Israel memiliki satu kesamaan di atas segala hal, "Keduanya sama-sama berada di tengah dunia yang keras yang dihuni orang-orang berkulit gelap."
Setahun sebelumnya, Israel menawarkan menjual hulu ledak nuklir kepada Afrika Selatan.
"Para pemimpin Afrika Selatan amat menginginkan pertahanan nuklir, yang mereka yakini akan memaksa Barat melakukan campur tangan jika Pretoria tengah terancam, dan penawaran Israel membuat tujuan itu ada dalam jangkauan," tulis Polakow-Suransky dalam bukunya.
Kesepakatan tersebut memang tidak berlanjut, namun ada banyak kerja sama lain dalam pengembangan teknologi militer.
Pada akhir 1970-an, Afrika Selatan menjadi pelanggan senjata terbesar Israel.
Begitu dekatnya hubungan Afsel dan Israel, Polakow-Suransky menyebutkan bahwa pada pertengahan dekade 1970-an, Afsel mencabut peraturan yang seharusnya mengatur bagaimana "kue kuning" dipergunakan untuk menghindarkan pengembangbiakan nuklir.
Sebagai gantinya, Isreal mengirimkan 30 gram tritium kepada Afrika Selatan. Bahan itu memberikan tambahan daya ledak kepada senjata termonuklir. Jumlah 30 gram itu cukup banyak untuk membuat beberapa bom atom, yang pada akhirnya benar-benar dilakukan Afrika Selatan beberapa tahun berikutnya. [suaramedia/n/jp/gd]
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!