Selasa, 24 Jumadil Awwal 1446 H / 3 Agutus 2010 11:41 wib
4.263 views
Minuman Keras, Air Kehidupan Yahudi Picu Perdebatan
TEL AVIV (Berita SuaraMedia) – Menenggak minuman dingin di hari yang amat panas tentu menyegarkan bagi banyak orang. Tapi, lain lagi pada hari Minggu (1/8) malam lalu di sebuah bar bernama Theodor di Herzliya, pemandangan yang terlihat di bar tersebut tidak biasa karena terlihat hampir ada 40 orang Yahudi sekuler laki-laki dan perempuan yang meminum “air kehidupan” dari kitab suci.
Mereka terlihat bersenang-senang. Acara tersebut digagas oleh organisasi nirlaba Israel Education, yang untuk ketiga kalinya melakukan hal itu dan mencoba mengungkapkan apa yang dilakukan kelompok tersebut saat mengajarkan isi kitab suci di sekolah-sekolah umum.
Organisasi tersebut melakukan hal ini dengan dasar aspirasi untuk mengajak sejumlah akademisi muda minum alkohol untuk menjadi seorang pengajar kitab suci dalam sebuah program Seminari Kibbutz yang tengah dikerjakan.
Dengan menggunakan kutukan terkenal Bilam terhadap Israel yang bermetamorfosis menjadi “sekelompok orang berkumpul sendiri dan tidak dikenali di antara negara-negara,” hal itu menjadi titik permulaan yang kontroversial. Pemimpin Israel Education, Oren Yehi-Shalom membuka kelas selama dua jam dan berisi diskusi mengenai pentingnya revolusi nilai-nilai dan tradisi monoteistik di sekitar fokus utama, yakni ayat-ayat kitab suci.
Organisasi nirlaba tersebut, yang bertujuan melindungi dan mempromosikan kualitas pendidikan humanis sekuler dalam sistem pendidikan nasional Israel berkeinginan untuk membuktikan bahwa ada masa depan untuk kebudayaan Israel “yang bisa dilihat dari teks kuno yang ditulis para pendahulu kita,” kata Yehi-Shalom.
“Beberapa puluh tahun terakhir, ada semacam perasaan bahwa mayoritas sekuler di Israel tengah dihadapkan pada krisis identitas yang dalam,” terang Yehi-Shalom. “Banyak yang mencari alternatif untuk menghubungkan diri dengan Israel, yang memang bukan tempat mudah untuk ditinggali. Di tengah pencarian identitas, kita lupa bahwa ‘negara’ ini didirikan berdasarkan nilai-nilai Yudaisme sekuler,” tambahnya.
“Organisasi kami ingin mengembalikan kitab suci kepada (warga Israel) sekuler, oleh karena itu kami menggelar program unik untuk para pengajar kitab suci dan menyelenggarakan malam-malam seperti itu untuk mengajarkan budaya Yahudi,” katanya.
Yehi-Shalom tidak khawatir bahwa situasi informal akan memengaruhi tingkat pembelajaran dan sesuai dengan stigma yang dilekatkan kepada orang-orang sekuler yang tidak bisa menawarkan apa pun kecuali budaya bar.
“Sebuah bar sama seperti komputer atau televisi,” katanya. “(Bar) bisa saja berbahaya, atau menyenangkan. Di dunia sekuler saya, dengan pria pada pusatnya, ada semacam keyakinan bahwa orang-orang akan mempromosikan penggunaan bar yang benar dan berguna.”
“Tidak semua orang sekuler pergi ke bar untuk berbuat cabul, meski sebagian orang mengira demikian,” kata Yehi-Shalom. “Hal-hal penting bisa diperdebatkan dengan cara yang berkualitas. Selain itu, para peserta di sini adalah orang-orang dewasa yang sudah tahu benar batasan-batasan yang ada.”
Salah satunya adalah Meir Arnon, ketua perusahaan Israel, Masonite, yang memproduksi pintu dan berbagai komponen pintu, serta Volta, perusahaan batu baterai yang mendukung tujuan-tujuan pendidikan Israel.
Seorang perempuan muda yang hadir menjelaskan bahwa dirinya datang ke sana karena mengaku menjadi “lebih dekat dengan sumber-sumber Yahudi kami.”
Pada akhir studi Torah, lampu pun diredupkan dan musik dari grup musik the Doors terdengar dari pengeras suara. Kelompok-kelompok kecil terbentuk dan membahas apa yang baru mereka pelajari dengan antusias, begitu juga dengan cara yang mungkin mereka lakukan untuk mempromosikan Torah, warisan terbesar yang juga diklaim sebagian pihak sebagai kitab rekayasa Yahudi.
“Hal ini adalah landasan membaca kitab suci,” kata Yehi-Shalom. “Kami akan meneruskan tradisi menemukan jalan dan menjadikan kitab suci sebagai aset budaya. Saya merasa bahwa orang-orang sekuler menganggap Yudaisme sebagai budaya, bukan hanya kerangka firman, seperti halnya literatur Yahudi lain yang ditulis oleh sekte-sekte tertentu, seperti Talmud.
“Kami tidak menganggap kitab suci sebagai buku instruksi, melainkan sebuah inspirasi yang bisa mengajarkan kepada semua tentang diri kita, budaya kita, dipandang dari pilihan-puluhan dan perdebatan para nenek moyang kita,” paparnya. (dn/jp) www.suaramedia.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!