Kamis, 13 Jumadil Awwal 1446 H / 24 Juni 2010 10:54 wib
3.186 views
''Tarian Tango'', Taktik Turki Hapus Islam Dari Pemerintahan
ANKARA (Berita SuaraMedia) – Beberapa minggu yang lalu, The Wall Street Journal menerbitkan sebuah artikel dengan judul yang menarik "Intrik Dalam Perang Sipil tak Berdarah Turki" (Intrigue in Turkey's bloodless civil war).
Artikel tersebut merujuk pada iklim "perang dingin" yang sedang berlangsung antara partai Islam Turki yang sedang berkuasa – Partai Keadilan dan Perkembangan (Justice dan Development Party – AKP) – dan masyarakat elit sekuler (laicist elite) lama negara tersebut yang menggambarkan diri mereka sendiri sebagai "Kemalists" dan berusaha untuk menjaga agama dan politik terpisah secara keseluruhan.
Namun itu hanyalah pertarungan terakhir dalam perang dingin antara politik Islam dan laisisme Turki yang bermula hampir 100 tahun lalu.
Memahami sejarah dua kubu tersebut dan hubungan mereka dengan kunci lain dalam menyelesaikan perang dingin Turki sehingga negara tersebut dapat membentuk perdamaian dengan sendirinya.
Perang dingin tersebut bermula ketika Republik Turki muncul dari debu-debu Kerajaan Ottoman. Mustafa Kemal Ataturk, pendiri Turki Modern, dengan segera meluncurkan "revolusi budaya".
Ia mempercayai bahwa Islam tidak memiliki tempat dalam urusan kenegaraan dan memulai dengan sebuah kampanye untuk memisahkan agama dengan negara. Ia menghapuskan sistme khalifah; menutup semua sekolah keagamaan, aturan dan undang-undang; mengganti hukum Islam dengan hukum sipil Swiss, perdagangan Jerman dan hukum komersial, dan hukum kriminal Italia; mengganti tulisan Arab dengan tulisan latin; memperkenalkan pendidikan wajib dan hak pilih wanita; dan melarang mempertunjukkan simbol-simbol keagamaan di institusi publik.
Namun revolusi budaya Ataturk adalah sebuah revousi "dari atas" dan tidak pernah meraih hati dan pikiran mayoritas.
Tindakan besar pertama antara politik Islam dan laisisme Turki terjadi selama masa emas Ataturk dengan kejadian Menemen pada 1930 ketika sebuah kelompok Sufi melakukan peberontakan. Pemberontakan tersebut dihentikan dan para penghasut peristiwa tersebut pada akhirnya terbunuh atau dipenjara oleh angkatan darat Turki.
Setelah kematian Ataturk pada 1938 dan pemilihan multi-partai pertama pada 1950, pemimpin politik dan yang segera menjadi Perdana Menteri, Adnan Menderes dan Partai Demokratik-nya memenangkan pentas, menyertakan Islam kembali ke dalam kehidupan publik dengan melegalkan bahasa Arab dan mengangkat pelarangan panggilan sholat. Bagaimana pun juga, angakatan darat Turki meluncurkan sebuah pemberontakan militer pada 1960, mengkliam diri mereka sendiri sebagai penjaga laisisme Kemalis, dan mengistirahatkan Menderes dari tugas karena melanggar konstitusi.
Politik Islam berada di bawah lagi, hanya untuk dimunculkan kembali dengan adanya pemilihan mantan Perdana Menteri Necmettin Erbakan dan Partai Kesejahteraan (Welfare Party – RP) pada 1996. Erbakan yang mempolitikkan masalah jilbab untuk pertama kalinya dan juga memajukan kerja sama lebih dekat dengan Negara-negara mayoritas Muslim. Bagaimana pun juga RP juga digulingkan oleh angkatan darat pada 1997 dan dilarang selama tahun berikutnya.
Meskipun dilarang, pada tahun 2001 sayap reformasi dari RP mencipatakan apa yang dulu menjadi sukses terbesar dari politik Islam di Turki. Perdana Menteri sekarang Recep Tayyip Erdogan dari AKP memenangkan mayoritas pemilihan suara pada pemilihan umum 2002 dan telah memerintah Negara tersebut sampai sekarang.
AKP telah membawa Turki menuju pintu loncatan Uni Eropa. Mempolitikkan agama dengan jilbab dan secara diam-diam mendorong transformasi konservatif masyarakat Turki melalui retorik dan pemikiran politiknya dan kebijakan-kebijakannya pada tingkat atas, menerjemahkan "takanan tetangga" menjadi secara meningkat religius pada tingkatan akar.
Delapan tahun kemudian, masyarakat Turki terbagi-bagi. Terdapat perjuangan yang berlangsung oleh pemerintah dan pendukungnya untuk mengambil alih media, polisi dan kehakiman lepas dari tangan para Kemalis, walaupun banyak bagian dari media Negara tersebut, termasuk harian Zaman, telah dikatakan pro-pemerintah.
Pada saat yang bersamaan, satu pihak tidak dapat gagal untuk memperhatikan sebuah perpindahan pada kebijakan luar negeri Turki, yang memfokuskan pada apa yang disebut dengan dunia Muslim dan memberi jarak sendiri dari sekutu lama Barat.
Namun untuk perkembangan yang dapat dipertahankan, Turki harus mengalamatkan perang dingin internal-nya tanpa membagi dua kubu sebagai pemenang dan pecundang.
Pada akhirnya, membutuhkan dua orang untuk melakukan tarian Tango. Elit Lasis Negara tersebut harus menyambut perbedaan pandangan dan sensitivitas keagamaan, dan aktivis politik Islam dipaksa mempercayai bahwa Islam adalah sebuah agama, bukan sebuah cara untuk menjalankan pemerintahan, dan Islam harus tetap berada dalam bidang privat.
Uni Eropa dan kriteria Copenhagen untuk kelayakan akses – yang memasukkan penghormatan untuk demokrasi, aturan hukum, kemanusiaan dan hak-hak minoritas, dan pasar ekonomi yang berfungsi – sepertinya adalah jalan terbaik untuk meyakinkan dua dunia Turki yang pada akhirnya bertemu sehingga negara tersebut dapat menciptakan perdamaian dengan sendirinya, melalui sebuah kerangka kerja sosio-politik yang dapat disepakatai oleh kedua kubu.
Untuk mencapai hal ini, Uni Eropa harus memainkan peran besar sebagai pencipta perdamaian, yang melibatkan sebuah tanggung jawab yang besar. Eropa adalah orkestra untuk memainkan tarian Tango tersebut. Dan agar tarian Tango tersebut dapat berlanjut, musik harus tetap dimainkan. (ppt/wp) www.suaramedia.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!