Selasa, 12 Jumadil Awwal 1446 H / 22 Juni 2010 10:33 wib
2.161 views
''Banyaknya PNS Nakal Gara-Gara Aturan Pemerintah Tak Jelas''
JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Sistem kerja yang kurang jelas serta kurangnya pengawasan, menjadi pemicu munculnya pegawai negeri sipil yang nakal. Kondisi ini jelas berbeda dengan sistem yang ada di instansi-instansi swasta.
Menurut pengamat kepegawaian Universitas Indonesia Amy Yayuk Sri Rahayu, sistem yang mendukung seperti reward and punishment, tidak begitu berjalan di instansi pemerintah.
“Sebetulnya dari segi hukum aturan yang mengatur tidak begitu jelas. Seperti halnya pegawai swasta yang aturannya jelas. Misalnya mereka tidak hadir, implikasinya pada remunerasi atau insentif yang akan mereka terima,” ujar Amy, Selasa (22/6/2010).
Amy mencontohkan jika PNS membolos, tidak ada sanksi jelas yang diterima. Bahkan Amy menyebutkan jarang PNS yang dipecat.
"Aturan yang jalan sangat longgar. Kalau bolos apa sih sanksi yang harus diterima. Bahkan PNS yang dipecat, jarang sekali,” tutur dosen Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik UI ini.
Amy juga menyatakan banyak PNS yang ditempatkan pada posisi yang tidak sesuai dengan kemampuannya, sehingga kinerja yang diharapkan tidak tercapai.
“Banyak PNS tidak didasarkan pada kemampuan dan performence. Kinerja dalam pegawai negeri itu diukur DP3 (Daftar Penilaian Pegawai oleh Pimpinan). Indikator yang diatur itu kejujuran, loyalitas, dan kepemimpinan yang diukur dengan angka-angka, misalnya poin 9,5. Padahal itu tidak ada ukuran yang pasnya. Beda kalau di swasta, misalnya saya menyelesaikan surat-menyurat. Berapa surat yang saya selesaikan hari ini, akan ada penilaian yang jelas, sementara PNS itu tidak seperti itu. Itu sebabnya banyak terjadi penyimpangan tugas-tugas,” papar Amy.
Karena itu, Amy menegaskan bahwa aturan-aturan dalam PNS harus dielaborasi atau ditinjau kembali.
“Menurut saya aturannya harus dielaborasi, ditunjau kembali. PNS mau didisiplinkan, pemerintah harus mau mendisiplinkan,” tegasnya.
Upaya memperbaiki kesejahteraan pegawai juga memperhatikan kinerja yang diberikan. Ini bisa diberlakukan saat kenaikan pangkat setiap 4 tahun sekali.
“Ini mengacu aturan yang berbasis kinerja. Ada standard yang jelas untuk mengukur performance,” paparnya.
Amy kembali mencontohkan, sebagai dosen dia juga mendapat penilaian dari mahasiswa.
“Jika IDOM (penilaian mahasiswa), skornya di bawah 3 maka saya akan mendapat sanksi dari atasan karena nilainya minimal 3 untuk dosen. Kalau saya dapat skor di atas 3, maka saya akan mendapat penilaian yang baik,” katanya.
Meski demikian, Amy mengaku memahami kondisi pemerintah yang berupaya mengurangi pengangguran dengan merekrut pegawai.
“Mungkin secara psikologis, salah satu jalan mengurangi pengangguran. Lulusan universitas tidak tertampung di privat sector. Satu-satunya cara menjadi PNS. Tapi kriteria yang diminta tidak bagus, IPK minimal 2,75,” ungkapnya.
Namun dia menandaskan, hal ini tidak bisa dijadikan alasan bahwa perekrutan PNS, tidak memperhatikan sisi kualitas. Karena itu, pemerintah harus memperhatikan mekanisme untuk memperbaiki sistem kepegawaian.
Sementara itu, Direktur III Ditjen Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Dr. Suhatmansyah sebelumnya mengatakan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terseret-seret dalam politik praktis pada Pemilukada karena tidak membaca dan memahami Undang-undang tentang pemerintahan daerah.
"Tak bisa dinafikan PNS terseret-seret dalam Pemilukada dalam mendukung pasangan tertentu karena belum semua betul-betul memahami UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah," kata Suhatmasyah di Padang, Senin.
Direktur III Kemendagri menyampaikan, dalam forum Work Shop "Pendidikan Politik Berbasis Jurnalistik Berorientasi Peningkatan Kesadaran Ketahanan Kembangsaan dalam Pemilukada" diselenggaran Mapilu-PWI di Padang.
Tampil sebagai pembicara yang dihadiri para wartawan dan redaktur media cetak dan elektronik di Sumbar itu, Akademisi dari Universitas Andalas (Unand), Prof. Dr. Bustanudin Agus, Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, Tarman Azzam, Ketua Mapilu-PWI, Hendra J Kede.
"PNS juga anggota masyarakat punya hak untuk menentukan pilihan, tapi Pemilukada dalam rangka mewujudkan pimpinan pemerintah, maka PNS perlu mempunyai etika dan moral," katanya.
Terkait, dalam UU dalam pegawai negeri sipil dan UU Nomor 32 tahun sudah ditegaskan tentang netralitas PNS dalam pemilu. Namun, faktanya belum terlaksana sebagai mana mestinya.
Bahkan, pada UU pemilu sekarang pemerintah tidak bisa ikut campur dalam penyelenggaraan pemilu karena KPU lembaga yang independen.
Jadi, katanya, disanalah bentuk netralitas pemerintah karena tidak bisa mengintervensi dalam penyelenggaraan pemilu, maupun Pemilukada.
Namun, tidak dipungkiri masih ada PNS yang terseret karena kepentingan calon kepala daerah pada Pemiluka karena tak memahami memahami, apalagi memiliki UU nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah.
"Andaikan dilakukan survei terhadap PNS di Sumbar, mungkin yang membaca UU tentang Pemerintah Daerah itu, hanya sekitar 20 persen dan lainnya tidak," katanya dan menambahkan, bahkan pernah dites wakil bupati, ternyata belum pernah membaca dan memahami, apalagi memilik UU 32 tersebut.
Justru itu, pada konteks pengusulan kandidat kepala daerah, dimana yang maju mereka adalah pejabat dan mantan pejabat dilingkungan provinsi Sumbar.
Dalam kompetisinya, tentu ingin mencari kemenangan dan mendapat banyak dukungan sehingga PNS yang tidak memahami kehidupan berpemerintahan ini sehingga termakan dengan iming-iming para calon.
Bahkan, kata Suhatmansyah, pernah kejadian di Surabaya, seorang calon mengancam "tak kalah saya terpilih nanti, anda akan non job" dan ini fenomena yang terjadi sekarang.
Oleh karenanya, Kemendagri sudah merencanakan ke depan bagaimana netralitasi PNS benar-benas bisa diwujudkan tetapi sekarang belum ada jaungkauan ke arah itu.
Sementara itu, diharapkan kepada Panwaslu yang pungsinya mengawasi tetapi belum mempunyai hak untuk melakukan eksekusi, bila terdapat pelanggaran dilapangan karena belum diatur dalam UU.
"Akhirnya laporan yang sampai kepada Panwaslu di tengah jalan sering terkena erosi-erosi. Panwaslu dilihat sekarang masih semacam macan ompong, bisa melihat dan tidak bisa menggigit," katanya.
Apalagi, tambahnya, kalau pimpinan PNS untuk melakukan eksekusi ada bawahannya yang terindikasi politik praktis tidaklah mudah karena regulasinya belum sampai ke sana. (fn/ok/ant) www.suaramedia.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!