Rabu, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 19 Mei 2010 10:10 wib
3.907 views
Kuliah Umum Sri Mulyani Penuh Sindiran Politik Indonesia
JAKARTA (Berita SuaraMedia) - Sri Mulyani mengutarakan alasannya mengundurkan diri sebagai Menteri Keuangan. Dia merasa dipojokkan sebagai pembantu pemerintah karena dirinya tidak lagi dikehendaki oleh lingkungan politik.
Menurut pengamat politik Lembaga Survei Indonesia (LSI) Burhan Muhtadi, pernyataan Sri Mulyani ini bisa dimaknai sebagai sindiran terhadap sistem politik yang tidak menghargai sistem meritokrasi.
"Ini sindiran. Dia menyindir sistem politik kita yang kurang menghargai sistem meritokrasi yang menghargai sesuai kemampuan," kata Burhan, Rabu (19/5/2010).
Pernyataan yang disampaikan Sri Mulyani tersebut secara langsung juga mengungkapkan kekecewaan dirinya terhadap sistem meritokrasi yang seharusnya diterapkan dalam pemerintahan, tetapi malah dikalahkan oleh kepentingan politik.
"Jadi dia menyayangkan kenapa sistem kita tidak mengikuti sistem meritokrasi tetapi malah mengikuti patron politik," ungkapnya.
Sebagai seorang birokrat tulen, wajar jika Sri Mulyani merasa kecewa dipinggirkan oleh kepentingan politik. Pemerintah seharusnya memberi perlindungan kepada dia.
Sri Mulyani tadi malam memaparkan alasan dirinya mundur sebagai pejabat publik. Ia merasa dipojokkan dalam panggung politik dimana saat ini sebagai pembantu pemerintah dirinya tidak lagi dikehendaki dalam sebuah sistem politik.
"Mengapa Sri Mulyani mundur dari Menteri Keuangan? Tentu ini sudah ada dalam kalkulasi, dimana saya anggap sumbangan dan kepentingan saya sebagai pejabat publik tidak lagi dikehendaki di dalam suatu sistem politik," ungkap Sri Mulyani dalam kuliah umum yang bertemakan Kebijakan Publik dan Etika Publik di Ballroom Ritz Carlton, Jakarta.
Sri Mulyani Indrawati juga mengungkapkan bahwa konsep etika dan pandangan tentang perlunya mencegah konflik kepentingan bagi pejabat publik di Indonesia masih sangat langka. Orang yang menegakkan etika itu malah dianggap sebagai orang aneh.
"Saat saya bekerja di IMF (Dana Moneter Internasional), kalau kita ragu soal norma-norma konflik kepentingan, kita bisa bertanya. Hasilnya adalah keputusan yang baik. Sehingga bekerja di lembaga seperti itu menjadi sangat mudah. Namun saat kembali ke Indonesia, saya sering menghadiri rapat tentang suatu kebijakan yang akan berimplikasi pada anggaran, baik belanja atau insentif, ternyata pihak yang ikut dalam kebijakan itu akan mendapatkan keuntungannya. Tidak ada rasa risih," ujar Seri Mulyani saat berbicara dalam 'Kuliah Umum tentang Kebijakan Publik dan Etika Publik' di Jakarta.
Sri Mulyani menuturkan, kalau kebetulan yang menjadi pejabat itu berlatar belakang pengusaha, dia bisa melepaskan bisnisnya. Namun, tetap saja ada banyak keluarganya yang menjalankan bisnis dia. "Lalu ketika dia membuat kebijakan, saya dibuat terpana atau bengong. Ada keputusan yang dibuat, lalu esok harinya yang mengimpor barang (atas dasar keputusan itu) adalah perusahaannya. Ini adalah suatu hal yang merupakan penyakit di zaman Orde Baru, namun dulu dibuat tertutup. Sekarang malah dibuat seolah telah dibuat dengan keputusan demokratis dan dengan check and balance, namun sebenarnya tanpa etika," ujarnya.
Sri Mulyani mengatakan, ia sering kali meminta keluar dari ruang rapat pejabat publik yang kebetulan menjadi komisaris pada perusahaan yang sedang dibahas dalam rapat tersebut. Sikap tegas itu justru dibalas dengan cibiran. "Ada satu saat saya membuat rapat, dan rapat ini jelas berhubungan dengan perusahaan. Kebetulan yang diundang adalah beberapa komisaris perusahaan itu. Saya minta yang terkait dan berafiliasi dengan yang dibicarakan silakan keluar. Mereka malah bilang, Mba Ani jangan sadis begitu," ujarnya.
Situasi kultur politik dan sikap pejabat publik yang seperti itu membuat Sri Mulyani resah. Apalagi proses politik hingga terpilihnya pimpinan daerah atau pimpinan tertinggi republik di awal oleh proses yang sangat menguras biaya sangat tinggi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa untuk menjadi pejabat publik di daerah pun membutuhkan biaya tinggi.
"Tentu ini menjadi keresahan bahwa dalam ruang publik, masyarakat yang seharusnya menjadi ultimate share holder kekuasaaan, yang memilih CEO di Republik ini, dan memilih yang dia minta untuk mengawasi CEO-nya. Harus dihadapi kenyataan bahwa pemilihan itu di awal di hulunya dengan proses yang membutuhkan biaya yang luar biasa. Termasuk Presiden. Bahkan kalkulasi return on investment pun tidak masuk," tuturnya.
Jabatan Direktur Pelaksana Bank Dunia yang segera diemban, membuat Sri Mulyani Indrawati harus melepas posisinya sebagai Menteri Keuangan. Sri Mulyani justru mengaku merasa menang.
"Menang di sini saya definisikan tidak didikte lagi oleh orang-orang yang tidak menginginkan keberadaan saya di sini," katanya saat memberikan kuliah umum bertajuk 'Kebijakan Publik dan Etika Publik' di Hotel Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta.
Sri Mulyani merasa keberadaannya sebagai Menteri Keuangan tidak lagi dikehendaki sistem politik. Ia merasa segala pemikiran dan tindakannya tak lagi mendapat tanggapan positif.
Pernyataan Sri Mulyani itu merujuk pada kasus Rp6,7 triliun dana talangan kepada Bank Century yang membelitnya. Kasus itu melahirkan munculnya desakan dari parlemen supaya dia dinonaktifkan sebagai Menteri Keuangan.
Sri Mulyani segera terbang ke Washington untuk menduduki kursi Direktur Pelaksana Bank Dunia yang berkantor di Washington DC, Amerika Serikat. Ia mulai aktif bekerja di lembaga internasional ini per 1 Juni 2010.
Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dirinya tidak pernah mengkhianti kebenaran dalam menghadapi segala permasalahan yang selalu ia hadapi selama lima tahun menjabat sebagai pejabat publik.
"Saya berhasil dan menang, selama saya tidak menghianati kebenaran, selama saya tidak mengingkari nurani, dan selama saya terus menjaga harkat dan martabat diri saya, maka disitulah saya menang," tegasnya.
Ia juga mengatakan perihal pengunduran dirinya sebagai menteri keuangan untuk menerima jabatan direktur pelaksana Bank Dunia, disebabkan oleh realitas dan tekanan politik yang dihadapinya.
"Kalau pada hari ini ada yang menyesalkan, menangisi Sri Mulyani memutuskan mundur dari menkeu, tentu ini adalah kalkulasi sebagai sumbangan saya sebagai pejabat publik. Tidak lagi dikehendaki dalam suatu sistem politik kartel, dari suatu kepentingan itu (yang) begitu sangat dominan dan nyata," paparnya.
Untuk itu, ia juga menceritakan kondisi politik saat ini yang tidak memungkinkan dirinya untuk terus hadir dan bekerja dalam situasi tidak kondusif.
"Dimana sistem politik tidak lagi menghendaki atau tidak memungkinkan suatu etika publik tidak bisa dimunculkan maka membuat orang seperti saya tidak mungkin untuk eksis. Karena ketika saya berjanji sebagai pejabat publik, saya berjanji pada diri sendiri saya tidak ingin membuat orang menjadi korup. Sungguh painfull (menyakitkan) sekali. Saya tidak pernah meneteskan air mata untuk menegakkan prinsip itu," ujarnya.
Sri Mulyani yang berasal dari kalangan akademisi dan profesional sebelum menjabat sebagai menteri keuangan, menyatakan dengan pengalamannya di kabinet akhirnya menjadi mengerti dengan proses politik yang terjadi, hingga saat dia memutuskan menerima tawaran Bank Dunia.
"Saya bukan dari parpol, bukan politisi. Tapi bukan `nggak` mengerti proses politik. Kita punya perasaan bergumul, resah, menghadapi realita. Jangan-jangan orang ingin berbuat baik tapi malah frustasi. Banyak orang-orang diajak kompromi, dan kadang dihibur untuk menyenangkan beberapa orang," katanya.
Ia menyayangkan terjadinya kasus penyelamatan Bank Century yang membuat analogi mengenai dirinya tentang penghakiman yang telah terjadi.
"Saya bertanya apakah proses politik membolehkan seseorang untuk dihakimi bahkan tanpa pengadilan," tuturnya. (fn/dt/km/vs/ant) www.suaramedia.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!