Selasa, 6 Jumadil Awwal 1446 H / 4 Mei 2010 11:06 wib
3.722 views
Kebijakan Luar Negeri Amerika, Bantuan Bagi Al Qaeda?
WASHINGTON (Berita SuaraMedia) – Kebijakan luar negeri AS mendatangkan terorisme ke tanah Amerika, menghabiskan milyaran dolar uang pembayar pajak dan menghancurkan kebebasan mereka.
Sejak peristiwa 11 September, masyarakat Amerika telah memiliki kecenderungan menghancurkan untuk melihat Muslim sebagai monster yang berniat melahap eksperimen sosial mereka dalam kebebasan manusia dan peraturan yang populer. Alih-alih mendengarkan apa motif para teroris menyerang AS di dalam maupun di luar negeri, rakyat Amerika hanya mendengarkan sebuah narasi nyaman yang tersisa dari periode Bush, ”Mereka membenci kebebasan kita”.
Namun, keyakinan ini tidak lebih dari sebuah khayalan kolektif yang terus menjadi umpan bagi kebijakan luar negeri yang menghancurkan keamanan dalam negeri AS sendiri. Tidak ada yang lebih membuktikan hal itu daripada pemeriksaan terhadap motif tiga pria yang telah menusuk rasa keamanan Amerika dalam setahun terakhir.
Pada bulan September, otoritas federal menahan Najibullah Zazi (25) yang berencana melakukan bom bunuh diri di kereta api bawah tanah New York.
Imigran Afghan itu baru-baru ini mengaku bersalah telah bersekongkol untuk membunuh para komuter yang tidak bersalah. Menurut pemberitaan New York Times, Zazi merasionalisasikan motifnya membunuh orang-orang tak bersalah dengan cara seperti ini: ”Saya akan mengorbankan diri untuk menarik perhatian terhadap apa yang dilakukan militer AS terhadap warga sipil di Afghanistan dengan mengorbankan jiwa saya demi jiwa-jiwa yang lain.”
Dua bulan kemudian, Amerika terkejut ketika Mayor Nidal Hasan, seorang psikiater militer Muslim, menewaskan 13 orang – 12 tentara dan satu warga sipil – di pangkalan militer Fort Hood, Texas. Seperti Zazi, motif Hasan untuk membunuh rekan-rekan prajuritnya tampaknya muncul dari kengeriannya terhadap kebijakan luar negeri AS, sebuah kebijakan yang menjadi tanggung jawabnya untuk dijalankan. Dua tahun sebelum aksinya, Hasan dikatakan menceramahi para koleganya bahwa perang Amerika di Irak dan Afghanistan adalah sebuah serangan terhadap Islam. ”Semakin sulit bagi kaum Muslim di dalam militer untuk secara moral membenarkan diri bergabung dengan militer yang tampaknya terus memerangi sesama Muslim,” ujar Hasan dalam sebuah presentasi dengan PowerPoint.
Yang terakhir, pada hari Natal tahun lalu, Umar Farouk Abdulmutallab (23), pemuda kaya dari Nigeria, memasukkan bubuk peledak ke celana dalamnya dan berusaha meledakkan Northwest Flight 253 tujuan Detroit. Untungnya dia gagal. Setelah serangannya itu, National Public Radio menyelidiki kenapa anak seorang bankir terkemuka memilih jalan seorang pelaku bom bunuh diri. Salah satu alasannya, tampaknya, adalah perlakuan terhadap tahanan Muslim di Gitmo. Kemarahan yang memotivasi Abdulmutallab unik dalam kekerasannya tapi tidak dalam sentimennya. Banyak orang di Nigeria utara, jika bukan di Guantanamo-nya sendiri, juga berbicara tentang fakta kebijakan luar negeri AS, perang di Irak, Afghanistan, Timur Tengah, krisis Palestina - Israel, bagaimana mereka merasa bahwa AS tidak hanya menyerang kaum Muslim, tapi juga Muslim Nigeria.
Saatnya bagi rakyat Amerika untuk menyadari bahwa terorisme bunuh diri itu utamanya bukan produk dari fanatisme relijius, tapi sebuah respon logis terhadap imperialisme AS. ”Fakta utamanya adalah bahwa serangan -serangan itu tidak didorong oleh agama sebanyak tujuan strategisnya, yaitu untuk memaksa demokrasi modern menarik pasukan militernya dari teritori yang dipandang sebagai kampung halaman para teroris,” ujar Robert Papes, pakar teroris bunuh diri AS, kepada majalah The American Conservative tahun 2005. Agama, menurut penulis ” Dying to Win: The Logic of Suicide Terrorism” hanya menjadi faktor penyebab terorisme bunuh diri ketika kekuatan pendudukannya memeluk agama lain.
Tragisnya, Osama bin Laden bertaruh bahwa AS akan menyambut umpannya dan membalas dendam. Dengan menginvasi dan menduduki negara-negara mayoritas Muslim, melemahkan peraturan hukum melalui detensi dan penyiksaan preventatif, dan melakukan pembunuhan dengan pesawat-pesawat tak berawak, AS membuktikan narasi Bin Laden tentang Perang Salib umat Kristen dan perang suci. Ini mewujudkan dua tujuan penting untuk Al Qaeda : menghasilkan lebih banyak pejuang jihad dan melemahkan secara ekonomi serta militer hegemon terhebat dalam sejarah.
Siklus timbal balik positif dari imperialisme dan jihadisme meninggalkan Amerika dalam keadaan lebih miskin, kurang aman, dan lebih ketakutan. Namun alih-alih menggali akarnya, Amerika terus mengatasi gejalanya. Rencana Zazi menarik seruan dari Kongres untuk peningkatan anggaran keamanan transportasi massal. Pembunuhan Hasan mendorong Pentagon mengembangkan kebijakan untuk mengidentifikasi dan menangani eksremisme kekerasan. Bom celana dalam Abdulmutallab mengarah pada penerapan pemindai badan penuh yang disebut ”penggeledahan telanjang virtual” oleh para kritikus.
Hampir sembilan tahun setelah 11 September, AS telah menghabiskan hampir satu trilyun dolar untuk melakukan perang melawan terorisme di luar negeri dan ratusan milyar dolar untuk keamanan dalam negeri. Sebagai balasannya, para pembayar pajak terus membahayakan masa depan perekonomian mereka untuk keuntungan imperium yang mendatangkan perang ke tanah Amerika sembari secara simultan melahap kebebasan rakyat.
Namun, AS memiliki sebuah cara yang mudah dan bermoral untuk mencabut akarnya dan membuat negaranya lebih aman. AS harus segera mulai menarik kerajaannya dengan menarik diri dari Afghanistan dan Irak, menutup pangkalan militernya di seluruh dunia, dan memulangkan tentaranya. Itu akan membantu mengurangi daya pikat narasi yang menjerat para pejuang jihad seperti Abdulmutallab, Hasan, dan Zazi. Ketiga pria ini tidak terlahir sebagai pejuang jihad, mereka dibentuk. Ironi yang tragis adalah bahwa AS membantu Al Qaeda melakukannya.
Dan karena itu, AS menghabiskan lebih banyak untuk keamanan namun malah semakin merasa tidak aman. (rin/gd) www.suaramedia.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!