Ahad, 12 Jumadil Awwal 1446 H / 18 April 2010 13:28 wib
2.209 views
''Perpecahan Sudan, Awal Bencana Bagi Afrika''
N’DJAMENA (SuaraMedia News) – Presiden Chad, Idriss Deby memperingatkan mengenai kemungkinan pecahnya Sudan dalam beberapa bulan sebelum pelaksanaan referendum yang dijadwalkan di Sudan Selatan untuk menentukan nasib orang-orang di kawasan tersebut, apakah berpisah atau tetap bersatu dengan Sudan. Menurut Deby, jika sampai terbelah, maka hal itu akan menjadi sebuah bencana bagi Afrika.
Pada bulan Januari 2011, Sudan Selatan dijadwalkan menggelar referendum dan memutuskan masa depannya. Hak tersebut tertuang dalam Kesepakatan Damai Menyeluruh (CPA) tahun 2005.
Akan tetapi, lebih dari dua dekade perang sipil dengan Sudan Utara membuat pilihan memisahkan diri kemungkinan akan diambil dalam referendum di selatan.
“”Kita memiliki wilayah utara dan selatan, sebagian Muslim dan sebagian Kristen. Jika kita menerima begitu saja disintegrasi Sudan lalu bagaimana cara menghadapi perpecahan lainnya?” kata Idriss Deby dalam wawancara dengan sebuah majalah Afrika..
“Saya katakan dengan lantang, saya menentang referendu
m ini dan juga kemungkinan adanya perpecahan,” tambahnya. “Apa Anda kira pemerintahan di Khartoum akan setuju begitu saja kehilangan wilayah selatan yang memiliki sumber minyak dan mineral.”
Seperti halnya Sudan, Chad juga memiliki banyak kelompok etnis dan religius, yang juga acapkali terlibat konflik berdarah.
Banyak negara-negara tetangga yang khawatir bahwa perpecahan Sudan akan mendorong sentimen separatis di negara mereka masing-masing.
Bulan lalu, para pemimpin enam negara anggota Inter-Governmental Authority om Development (IGAD) Afrika Timur yang bertemu di Nairobi untuk membahas penerapan CPA, mengeluarkan pernyataan untuk menangkal keinginan Sudan Selatan melakukan referendum, mereka mengatakan bahwa ketidakpastian di wilayah kaya minyak tersebut menjadi ancaman terhadap perdamaian dan keadaan ekonomi mereka sendiri.
Namun wakil presiden pertama Sudan dan presiden Sudan Selatan Salva Kiir menanggapi hal itu dengan mengatakan bahwa dirinya tidak akan berkompromi dan menunda pelaksanaan referendum 2011.
“Saya dengan senang hati mengatakan kepada kalian semua bahwa CPA sudah diterapkan secara penuh dan pada tanggal yang ditentukan, saya menghimbau kalian untuk menghormati pilihan rakyat Sudan Selatan dalam referendum 2011, katanya.
Gelombang kekerasan etnis di Sudan Selatan mengakibatkan lebih dari 2.500 orang tewas dan memaksa 350.000 orang meninggalkan kediaman mereka pada tahun 2009, menurut sebuah laporan dari sepuluh kelompok bantuan menjelang pelaksanaan referendum.
Bentrokan tersebut memantik kekhawatiran mengenai stabilitas Sudan Selatan pasca pemisahan diri. Kebencian berkepanjangan di kawasan tersebut sudah merebak, dipicu oleh masalah tanah dan ternak.
Partai penguasa, Partai Kongres Nasional (NCP) menegaskan kembali bahwa wilayah utara akan menghormati keputusan apapun yang dibuat selatan, namun mereka juga menekankan bahwa mereka menginginkan persatuan.
Sebelumnya, mantan Presiden AS Jimmy Carter mencatat masih ada banyak masalah logistik pada hari ketiga pemilihan umum Sudan. Carter berada di Sudan untuk mengawasi kecurangan dalam proses pemilihan umum, yang dijadwalkan berlangsung hingga hari Kamis.
Carter, yang memimpin tim pengawas pemilu Sudan beranggotakan 70 orang, senang karena proses pemilihan dilangsungkan selama lima hari, bukannya tiga hari.
“Memang ada masalah, tapi kami tengah berusaha membetulkannya, dan saya rasa Komisi Pemilihan Umum Nasional mengambil keputusan yang amat baik dengan memperpanjang masa pemilihan dan menambahkan dua hari. Menurut saya (tambahan dua hari) itu cukup,” kata Carter kepada para wartawan di Juba, ibu kota Sudan selatan.
“Pemilihan umum amat penting dalam menjaga perdamaian Sudan karena lokasi strategis Sudan dan pentingnya kesepakatan damai.”
Dia menambahkan, “Saya rasa, jika ada kekerasan di Sudan, hal itu bisa saja menyebar ke wilayah Afrika lainnya.” (dn/im/su/sm) www.suaramedia.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!