Sabtu, 14 Jumadil Awwal 1446 H / 13 Maret 2010 07:50 wib
1.897 views
David Kimche ; Mata-Mata Dahulu, Aktivis Perdamaian Kemudian
TEL AVIV (SuaraMedia News) – Seorang tokoh terkemuka Israel, David Kimche, baru saja meninggal dalam usia 82 tahun. Siapakah Kimche? Tak ada satu kata pun yang pas untuk menggambarkan profesi, karakter, maupun sikapnya. Sulit dikatakan, apakah ia tokoh yang berkepribadian “putih” atau “hitam”.
Ia adalah seorang diplomat. Ia juga seorang mata-mata yang licin, menyelusup keluar-masuk negara-negara – “pria berkopor” adalah julukannya. Ia memicu perang – ketika ia pergi dari sebuah negara, ia meninggalkan souvenir berupa perubahan politik di negara tersebut. Ia juga aktivis perdamaian yang mengupayakan Palestina dan Israel hidup berdampingan.
Kimche lahir di Inggris dari pasangan suami-istri Swiss. Ia sempat bekerja di badan intelijen Inggris selama masa Perang Dunia. Pada tahun 1946, Kimche beremigrasi ke Palestina. Ia pun terlibat dalam perang kemerdekaan pada tahun 1948. Kimche meraih gelar PhD dalam ilmu hubungan internasional dari Universitas Hebrew di Yerusalem.
Pada tahun 1953, Kimche bergabung dengan Mossad. Cerdas dan sopan, itulah kesan yang dimunculkan oleh Kimche. Kimche ditempatkan di Afrika dan Asia. Ia berkedok sebagai seorang pengusaha. Dapat dibilang, Kimche-lah yang membukakan pintu bagi Israel untuk memasuki Afrika. Kimche bertangung-jawab atas langkah Israel dalam bidang diplomatik dan militer di benua hitam tersebut sejak akhir 1950-an. Kimche-lah yang membesarkan Idi Amin. Kimche juga secara diam-diam mengunjungi para pemimpin Arab di Maroko dan Mesir.
Pada tahun 1955, tekanan Mesir mengakibatkan Isarel tak dapat berpartisipasi dalam sebuah perhelatan penting di Bandung – konferensi Gerakan Non-Blok. Kimche tidak tinggal diam. Bersama para koleganya, Kimche menggandeng negara-negara non-Barat yang berbatasan dengan Timur-Tengah. Ia membandingkan upaya Israel melawan imperialisme dengan upaya Afrika meraih kemerdekaan.
Sentimen dan idealisme bukanlah satu-satunya senjata Kimche. Kimche memboyong kaum pemberontak Mau Mau dari Kenya ke Israel guna memberi mereka pelatihan militer. Kimche mendirikan badan intelijen di seluruh pelosok Afrika. Kimche membantu Ghana memata-matai tetangganya, Mesir. Ia juga menempatkan stasiun penguping Mossad di tanduk Afrika. Sejumlah kudeta, termasuk pendongkelan Sultan Zanzibar dari tahtanya pada tahun 1964, diduga merupakan buah karya Kimche.
Kimche berhasil menjalin hubungan baik dengan para presiden Afrika, antara lain Félix Houphouët-Boigny dari pantai Gading, Ngarta Tombalbaye dari Chad, Ibrahim Babangida dari Nigeria, and Mengistu Haile Mariam dari Ethiopia. Hubungan baik itu memungkinkan Kimche untuk menempatkan ribuan pekerja kibbutz Israel untuk melaksanakan proyek-proyek medis, pertanian, dan lingkungan di seluruh Afrika. Ribuan pelajar Afrika pun menimba ilmu di insitusi-insitusi pendidikan Israel. Kerja-keras Kimche berbuah manis: Israel memenangkan blocking vote di PBB.
Walau demikian, Kimche akhirnya harus menelan kekecewaan – setelah Perang Tujuh Hari pada tahun 1967 dan Perang Yom Kippur pada tahun 1973, 34 negara Afrika memutuskan hubungan dengan Israel. Putus hubungan bukan akhir dari segalanya. Kimche tetap mempertahankan hubungan dengan Afrika meskipun melalui saluran-saluran tidak resmi. Hubungan tak resmi tersebut memberi keuntungan bagi Israel ketika muncul perubahan diplomatik pada tahun 1991.
Sebagai seorang kepala deputi Mossad, Kimche bertanggung-jawab atas rekruitmen petugas dan pelatihan agen. Kinerja Kimche di Mossad menarik perhatian Yitzhak Shamir yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri. Shamir pun meminang Kimche untuk dijadikan direktur jenderal di departemennya pada tahun 1980.
Sebagai pejabat kementerian luar negeri, Kimche mempersenjatai klan Maronit di Libanon yang terpecah oleh perang sipil pada 1970-an. Ia berperan dalam keluarnya Yasser Arafat dari Beirut pada tahun 1982. Ia mensuplai Honduras, El-Salvador, dan Guatemala dengan senjata-senjata yang diambil dari PLO pada tahun 1983.
Rencana besar Kimche mulai goyah pada bulan September 1982. Saat itu, presiden Libanon yang berasal dari klan Maronit yang baru saja berkuasa, Bashir Gemayel, tewas terbunuh. Segera setelah itu, muncul pembunuhan besar-besaran di Sabra dan Chatilla. Kimche segera menegosiasikan perjanjian damai dengan Libanon. AS menjadi penengah dalam negosiasi ini. Pada bulan Mei 1983, sebuah perjanjian damai ditanda-tangani. Tahun berikutnya, Beirut mundur dari kesepakatan damai tersebut.
Pada tahun 1985, Kimche memberitahu penasehat keamanan nasional AS, Robert McFarlane, bahwa unsur-unsur moderat di Iran mungkin dapat membantu pembebasan orang-orang AS yang ditawan di Libanon. Guna mendukung proses ini, Israel setuju untuk menjual senjata kepada Ayatolah Khomeini di Iran. Tindakan ini menghasilkan keuntungan yang memungkinkan Israel mensponsori gerilyawan Kontra dukungan CIA di Nikaragua.
Mulanya, semua berjalan lancar: Iran mendapatkan ratusan misil anti tank dan salah seorang sandera, Pendeta Benjamin Weir, berhasil dibebaskan. Namun, jalan tak selamanya mulus: Pengiriman senjata berikutnya diwarnai carut-marut. Seorang sandera lain, agen CIA, William Buckley, tewas. Kesalahan ditimpakan pada Kimche. Ada pula masalah lain: Jonathan Pollard, sorang opsir angkatan laut AS, ditangkap pada 1985 dengan tuduhan memata-matai AS. Pollard adalah “orang” Kimche.
Pada tahun 1987, Kimche meninggalkan kementerian dalam negeri. Ia menjalankan usaha, namun tetap memainkan peran publik. Pada tahun 1997, Kimche menjadi co-founder kelompok Kopenhagen, sebuah aliansi internasional untuk perdamaian Arab-Israel. Pada tahun 1998, Kimche memprotes perlambatan proses perdamaian oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu. Ia menyorot para pemimpin Israel yang memperlakukan warga Arab secara tidak adil. Secara spesifik, Kimche memprotes Ariel Sharon.
Pada tahun 2003, Kimche terlibat dalam kampanye untuk mendorong Israel mundur dari daerah pendudukan. Pada akhir tahun tersebut, Kimche menjadi “arsitek” kunci bagi pembangunan Kesepakatan Jenewa (Geneva Accord), sebuah inisiatif damai tidak resmi antara Palestina dan Israel. Kimche mengepalai Global Forum, sebuah institute berbasis di Zurich yang menangani isu globalisasi.
Kimche juga menjadi presiden Israel Council for Foreign Relations. Kimche menulis sejumlah buku, diantaranya adalah “The Six-Day War: Prologue and Aftermath” yang ditulis pada tahun 1971 dan “The Last Option: The Quest for Peace in the Middle East” yang ditulis apda tahun 1988 dan di perbaharui pada 1992. Hingga akhir hayatnya, Kimche percaya bahwa orang-orang Palestina dan orang-orang Israel dapat hidup berdampingan. Almarhum meninggalkan seorang istri dan empat orang anak. (es/gd) www.suaramedia.com
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!