Kamis, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 27 Juni 2013 19:09 wib
13.466 views
Betapa Kacaunya KPK
Kamis, 27/06/2013 17:45:21
Amran Nasution
Dalam perkara impor daging sapi KPK seenaknya main sita mobil, rumah, uang, dan barang lainnya. Tindakan itu mempersulit pembangunan masjid dan rumah ibadah lainnya.
Korupsi kuota impor daging sapi sudah selesai diberkas KPK dan mulai Senin, 17 Juni 2013, perkara ini telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Kalau tak ada aral melintang dalam pekan-pekan mendatang, perkara yang antara lain mengadili Luthfi Hasan Ishaaq, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu, akan mulai disidangkan.
Berarti Luthfi adalah pemimpin partai politik kedua yang ditangkap dan dituduh terlibat korupsi. Sebelumnya di awal reformasi 1998, Kejaksaan Agung pernah menangkap dan menahan Akbar Tanjung yang menjabat Mensesneg dan Ketua Umum Golkar. Akbar dituduh terlibat korupsi dana Bulog. Tapi belakangan, Mahkamah Agung membebaskan Akbar karena tuduhan jaksa sama sekali tak terbukti.
Banyak yang menduga, penangkapan Akbar itu bermotif politis. Akbar adalah tokoh yang gigih dan berhasil mempertahankan Golkar dari tekanan isu reformasi yang waktu itu melanda Indonesia. Kegigihan Akbar tampaknya berhasil menyelamatkan Golkar dari tiupan angin topan reformasi.
Padahal seperti dibongkar koran The New York Times pada waktu itu, gerakan reformasi untuk menumbangkan Presiden Soeharto itu dibiayai pemerintah Amerika Serikat melalui US-AID, badan bantuan milik pemerintah Amerika Serikat. US-AID memberi bantuan 26 juta dollar Amerika Serikat. Kalau kurs waktu itu 1 dollar sama dengan Rp 10.000, berarti dana pemerintah Amerika Serikat yang diterima para tokoh LSM di sini mencapai Rp 260 milyar, suatu jumlah yang tak sedikit.
Menurut artikel di The New York Times, koran terkemuka Amerika Serikat itu, yang ditulis wartawan Tim Weiner, pemerintahan Presiden Bill Clinton bermain dua muka di Indonesia. Di satu pihak Clinton terus menyokong pemerintahan Presiden Soeharto. Tapi di pihak lain diam-diam ia dukung kelompok oposisi dengan harapan akan terjadi transisi menuju masyarakat demokratis di Indonesia (lihat The New York Times, 20 Mei 1998).
Dengan kata lain, pemerintahan Clinton di Washington membantu 26 juta dollar dengan tujuan untuk menjatuhkan pemerintahan yang sedang berkuasa di Indonesia.
Sebagian dari uang 26 juta dollar itu, misalnya, merupakan sumber utama untuk mendukung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang dipimpin Adnan Buyung Nasution, tokoh utama gerakan reformasi waktu itu, selain Amin Rais.
Atau seperti ditegaskan Sharon Cromer, Deputi Direktur US-AID, Amerika Serikat, pada waktu itu, dana itu untuk membantu para pembela hak-hak sipil memonitor isu-isu hak asasi manusia (HAM), memobilisasi pendapat umum (opini publik) dan memonitor pelanggaran hukum dan korupsi (KKN). Untuk itu duit 26 juta dollar dibagi-bagikan kepada sekitar 30 LSM Indonesia – termasuk YLBHI.
Kalau diperhatikan apa yang dilakukan US-AID untuk menjatuhkan Soeharto di tahun 1998, tak jauh beda dengan aksi badan intelijen Amerika Serikat CIA ketika menjatuhkan sebuah pemerintahan yang tak mereka sukai. Salah satu aksi CIA, misalnya, menjatuhkan Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddeq di tahun 1953.
BAHAYAKAN LEMBAGA SOSIAL KEAGAMAAN
Kembali pada kasus korupsi yang menimpa pimpinan PKS tadi, selain melimpahkan berkas perkara itu ke pengadilan, KPK mengembalikan sebuah mobil Toyota Fortuner. Sebelumnya, KPK menyita mobil itu beserta sejumlah mobil lainnya yang mereka katakan milik Luthfi dari kantor PKS di kawasan Jakarta Selatan.
Kasus ini hanya memperlihatkan betapa cerobohnya cara kerja KPK, lembaga anti-korupsi yang selama ini dianggap ‘’hebat’’. Ternyata Toyota Fortuner itu milik Ahmad Rozi, pengacara yang juga kader PKS.
Dalam sebuah turnamen golf di Bandung beberapa waktu lalu, Rozi menang dan memperoleh hadiah itu. Oleh Rozi mobil itu diatas-namakan Sani, kabarnya seorang supir DPP PKS. Mobil itu pun jadi semacam milik umum di kantor PKS. Tapi para petugas KPK ketika datang ke kantor PKS ngotot menyita mobil itu. Tampaknya mereka hanya sekadar ingin pamer punya kuasa.
Tapi ada yang lebih parah dari kasus penyitaan mobil itu. Lihatlah bagaimana KPK menyita sejumlah rumah, mobil, perhiasan, atau uang kontan dari para saksi mau pun tersangka yang dituduh terlibat korupsi impor daging sapi.
KPK menyita mobil dan uang dari model cantik Vitalia Syesha atau dari sejumlah wanita lainnya yang ternyata punya hubungan dekat dengan Ahmad Fathanah, salah satu tersangka. Malah KPK pun menyita duit Rp 10 juta yang ditemukan bersama Maharani Suciono, mahasiswi Universitas Dr Mustopo.
Maharani berada di dalam kamar Hotel Le Meridien, di Jalan Sudirman, Jakarta, bersama Ahmad Fathanah, ketika KPK melakukan penggerebekan. Maharani mengaku uang itu memang berasal dari Ahmad Fathanah. Gampang ditebak sebenarnya mengapa Fathanah memberi wanita itu duit Rp 10 juta dan apa pula yang dilakukan Fathanah dan wanita itu berduaan di kamar hotel.
Ternyata menurut pakar hukum dari Universitas Padjajaran Bandung, Profesor Asep Warlan Yusuf, hadiah dan uang yang diberikan Ahmad Fathanah kepada sejumlah wanita itu bukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) seperti yang dituduhkan KPK selama ini (lihat Rakyat Merdeka, 3 Juni 2013, hal 9). ‘’Itu pemberian uang saja atau pembayaran atas jasa-jasa tertentu yang tak termasuk pencucian uang. Kalau pun ada prostitusi di baliknya itu bukan TPPU. Itu pidana lain dan bukan menjadi urusan KPK,’’ katanya.
Menurut Profesor Warlan, tindakan KPK menyita uang atau barang dari orang-orang yang menerima pemberian itu tanpa mengetahui asal-usul uang atau barang itu, bisa membahayakan lembaga-lembaga sosial, keagamaan, yayasan, dan sebagainya. ‘’Kan ada juga koruptor yang memberikan bantuan ke lembaga sosial atau lembaga keagamaan,’’ kata Profesor Warlan.
Profesor ini khawatir kalau lembaga-lembaga sosial keagamaan dikenakan TPPU – padahal mereka tak tahu asal-usul sumbangan – maka tak ada lagi orang yang mau mendirikan lembaga sosial, keagamaan, yayasan, dan semacamnya. ‘’Kalau seperti ini mestinya yang dikenakan kasus korupsi ya pelakunya saja. Penerima uang ‘’sedekah’’ tak wajib dikenakan TPPU,’’ katanya.
Profesor Warlan mempertanyakan apakah kalau ada koruptor membagi-bagikan sembako kepada masyarakat, KPK akan menyita sembako itu dari rumah-rumah penduduk? Kalau diikuti cara berpikir KPK ketika menyita uang atau barang dari para wanita yang dekat dengan Ahmad Fathanah maka menurut Profesor itu para penerima sumbangan Sembako dari koruptor pun bisa dikenakan pidana TPPU. Sungguh kacau cara berpikir KPK.
Kalau cara berpikir itu diikuti maka akhirnya tak ada orang yang mau menerima sumbangan Sembako atau sumbangan lainnya. Apalagi tak sedikit para pejabat yang menjadi ketua yayasan sosial atau ketua panitia pembangunan masjid. Kalau tiba-tiba pejabat itu terlibat korupsi apakah masjid atau rumah yatim yang dibangunnya harus disita pula oleh KPK?.
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!