Selasa, 21 Jumadil Awwal 1446 H / 25 Juni 2013 18:27 wib
7.090 views
Orang Tua Murid Makin Menjerit
Selasa, 25/06/2013 14:05:24
HM Aru Syeiff Assadullah
Sejak era reformasi ini bergulir lebih sepuluh tahun terakhir ini, lahir pula “ritual” rutin tahunan, yang selalu berlangsung tiap kali tahun ajaran baru sekolah datang dan melintas, sekitar Juni dan Juli. Ritual dimaksud tak lain adalah “jeritan bersama” pada orang tua yang dibuat pusing tujuh keliling mencari biaya pendidikan, khususnya bagi anak-anaknya yang harus meneruskan pendidikan di perguruan tinggi atau anak-anak yang harus masuk ke perguruan swasta. Biaya pendidikan terus melambung tidak tertanggungkan. Seolah-olah fasilitas pendidikan, hanya diperuntukkan bagi orang berduit saja. Orang miskin---walau cerdas---tidak berhak melanjutkan sekolah, menuntut ilmu mencapai jenjang tertinggi.
Inilah buah reformasi yang ironis dan sangat menyakitkan. Salah satu amanat reformasi hakikatnya hanya memenuhi “pemaksaan” Barat yang ikut mengatur negeri ini di bidang ekonomi dan politik yang berimbas pula pada bidang pendidikan yang dipaksa bercorak kapitalistik. Rejim reformasi dengan sangat bangga selalu gembar-gembor kini sudah memenuhi undang-undang yakni menetapkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), di bidang pendidikan mencapai 20%. Tahun ini setelah APBN dilakukan koreksi dengan APBN-P (Perubahan), anggaran pendidikan tahun 2013-2014, mencapai 344 Trilyun rupiah. Sungguh luar biasa besarnya.
Jika anggaran begitu besarnya mengapa subsidi di perguruan tinggi negeri justru dicabut. Rupanya ini pemaksaan yang bercabang-cabang dari kesepakatan Washington Concensus. Karena dipaksa harus memberlakukan pasar bebas, maka pemerintah harus menerapkan peraturan yang sama kepada semua pelaku ekonomi (termasuk lembaga pendidikan yang juga dianggap sebagai institusi usaha-ekonomi). Subsidi pun dicabut, dan semua perguruan tinggi negeri diminta mencari sendiri biaya operasional perguruannya. Inilah pasalnya kenapa perguruan tinggi negeri pun berlomba-lomba mengutip biaya masuk bagi mahasiswa baru sangat tinggi. Jurusan favorit, seperti Fakultas Kedokteran UGM (Universitas Gajahmada) Yogyakarta, juga UI (Universitas Indonesia) Jakarta kabarnya mematok uang masuk mencapai ratusan juta rupiah.
Padahal masa depan bangsa Indonesia, niscaya bergantung bagaimana bangsa ini terus melahirkan generasi penerus yang “mumpuni” di masa datang. Semua ini sangat bergantung dunia pendidikan menyiapkan generasi masa depan itu. Penguasa bukan memahami hakikat tujuan menyiapkan generasi masa datang yang “mumpuni” tadi, tapi sibuk berceloteh telah berhasil menaikkan target anggaran pendidikan yang sudah memenuhi undang-undang yakni mencapai 20% dan melejit angkanya tahun ini menjadi 344 Trilyun rupiah. Dengan anggaran sebesar ini ternyata tidak mengubah masa depan dunia pendidikan yang makin cerah, justru sebaliknya kini muncul “ritual” bersama tadi.
Omong kosong jika pemerintah tidak melihat kenyataan adanya “ritual” tahunan dan “menjerit bersama” sebagian besar orang tua peserta didik di seluruh Indonesia. Orang tahu bersama di masa sebelum reformasi 15 tahun yang lalu, untuk masuk ke perguruan tinggi negeri membayar sangat murah. Semua keluarga layaknya mampu membayar persyaratan pembayaran masuk ke perguruan tinggi negeri, bahkan perguruan tinggi favorit seperti : UI, UGM, IPB, ITB, ITS, UNAIR dan seterusnya. Kenapa penguasa hanya sibuk membanggakan dirinya telah berhasil memenuhi anggaran pendidikan 20% yang memang sangat besar itu. Kenapa tidak mencari akal masalahnya, kini secara massal semua orang membiayai pendidikannya saja semakin tidak sanggup, karena semua sekolah didorong untuk berlaku komersial, bahkan kapitalistik. Jika rakyat Indonesia dalam kesulitan mendapatkan pendidikannya ini berlangsung dua dekade saja sudah bisa dibayangkan betapa sangat gelapnya masa depan bangsa dan Negara NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) ini. Soal serius ini, mutlak harus dihentikan. Caranya sangat mudah, yakni memberikan pendidikan semurah-murahnya dan bisa diberikan dengan cara menghidupkan kembali subsidi yang pernah ada. Jangan kita “dicekoki” oleh cara berpikir Barat bahwa pemberian subsidi dianggap tidak sehat dan konon akan menghancurkan perekonomian, seperti terjadi dalam kasus pemberian subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak). Pikiran Barat yang terus memaksa agar diterapkan model kapitalistis itu, ujungnya, tak lain karena mereka ingin merebut “pasar” pendidikan di Indonesia dan memaksa agar mereka boleh eksis membuka lembaga pendidikan di negeri ini.
Dengan penghapusan subsidi itu, bagai mereka telah membuka jalan tol yang akan dilewati mereka setelah mereka membuka juga lembaga pendidikan di Indonesia. Begitu halnya pelaku bisnis minyak Barat juga menyongsong dihapuskannya subsidi BBM dengan membuka lebih dahulu pom-pom bensin di Indonesia. Hanya karena tarik-menarik subsidi BBM ini berlarut-larut, pom-pom bensin milik orang Bule itu---yang hanya diijinkan menjual Pertamax---keburu bangkrut karena tidak ada satu pun orang yang mau mengisi ke pom bensin asing itu.
Di era sebelum reformasi bergulir dengan anggaran pendidikan jauh lebih sedikit dibandingkan kini mencapai 344 Trilyun, pemerintahan Soeharto ketika itu dengan enteng bisa membiayai subsidi ke semua perguruan tinggi negeri yang ada. Kini dengan adanya anggaran 344 Trilyun itu niscaya lebih enteng lagi. Kenapa tidak, segera menempuh cara yang mudah ini---memberikan subsidi--- malah membiarkan rakyat Indonesia di dalam kegamangan tiap kali menghadapi masalah pendidikan anak-anak mereka. Mereka benar-benar terpojok oleh biaya pendidikan yang makin mahal di Indonesia. Mereka meringis, tiap kali mendengar pidato pejabat tinggi yang merasa sukses kini memiliki anggaran pendidikan yang sangat tinggi itu. Tapi besoknya masyarakat mendengar sekolah ini ambruk, sekolah di sana roboh. Kemarin Ujian Nasional (UN) pun ribut bukan main dan dikabarkan terindikasi korupsi perusahaan pencetaknya yang bernama Ghalia, tapi kini ribut-ribut korupsi UN itu sudah tidak terdengar lagi pengusutannya. Depdiknas bagai tak peduli protes rakyat yang tidak setuju, UN diterapkan terus dan hanya menghamburkan biaya dan tidak jelas untuk mendorong prestasi apa. Depdiknas “ngotot” UN harus terus digelar. Ada apa sikap “ngotot” seperti ini? Apa sekadar untuk menghamburkan anggaran yang kini luar biasa besar itu ?
Depdiknas pula yang ngotot hendak mengubah kurikulum yang ada diganti dengan Kurikulum 2013, mulai Juli 2013. Perdebatan setahun terakhir ini berakhir dengan pembatalan penerapan Kurikulum 2013, dan hanya diberlakukan kepada sekolah-sekolah berbasis internasional. Lho, sungguh aneh . Padahal sebelumnya Mendiknas Moh. Nuh, tegas-tegas menyatakan : Kurikulum 2013 ini penerapannya (Juli 2013) tidak bisa ditunda dan harus dimulai tahun ajaran ini, 2013. Jika kita menunda taruhannya besar terhadap masa depan generasi bangsa.” Nuh, menambahkan implementasi kurikulum 2013 penting, dan genting terkait bonus demografi pada 2010-2035. Generasi Muda Indonesia perlu disiapkan dalam kompetensi sikap, keterampilan dan pengetahuan (Kompas 2013). Sikap ngotot ini sungguh tidak sebanding dengan mudahnya kemudian dibatalkan. Jadi tidak salah adanya tuduhan pengajuan Kurikulum ini tidak lebih sekadar “mencari kesibukan” sekadar hendak menghambur-hamburkan anggaran pendidikan yang besar itu. Tentu hal ini akan menjadi kecelakaan yang jauh lebih besar, jika ternyata anggaran pendidikan yang sangat besar mencapai 344 Trilyun rupiah itu sekadar dijadikan “bancakan” sekadar mencari “kesibukan”, anggaran pun menguap dengan sia-sia, tapi sekolah-sekolah tetap ambruk di sana-sani, seluruh rakyat dihantam kesulitan mencari sekolah lanjutan karena biayanya makin tidak terjangkau.
Pada hemat penulis, adanya subsidi oleh Negara di bidang-bidang strategis yang menyangkut hajat bangsa terbesar, kiranya mutlak justru diadakan dan diberikan oleh Negara. Seperti di bidang pendidikan, mutlak harus diberikan, juga bidang transportasi massal seperti kereta api, harus diberikan (kini PJKA dihapuskan subsidinya karena diubah dari perusahahan negara menjadi perusahaan bisnis), begitu halnya PT Pos, seharusnya tetap diberikan subsidi, dan memberikan ongkos/perangko semurah-murahnya bagi produk barang cetakan, karena berguna mencerdaskan rakyat di pelosok wilayah di Indonesia. Kini ongkos perangko murah untuk barang cetakan disamakan dengan surat kilat khusus, akibatnya ongkos kirim sebuah majalah atau buku sangat mahal dan sangat menghambat kecerdasan bagi rakyat Indonesia yang bermukim di pulau terpencil. Inilah akibat negeri ini hanya mau dicocok hidungnya, mengikuti pemaksaan Barat atas dasar reformasi dalam segala bidang. Indonesia hendak dijadikan negeri yang kapitalistik. Harap maklum NKRI menuju negeri kapitalistik sejatinya tengah berlangsung. Itulah kata kucinya yang menjadi sebab semua kesulitan rakyat Indonesia. Wallahu a’lam bissawab!
Sebarkan informasi ini, semoga menjadi amal sholeh kita!